Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk memilih dan menentukan langkah strategi politik praktis tanpa membawa institusi. Sebab, keputusan yang dihasilkan suatu institusi harus ditentukan melalui tahapan mekanisme organisasi.
"Akan lebih baik kalau serikat pekerja secara institusi bersikap netral, sehingga mampu memberikan kritik keras terhadap pemerintahan baru nanti jika kebijakannya tidak sesuai dengan keinginan dan aspirasi pekerja," kata Presiden KPI Hanafi Rustandi di Jakarta, Selasa (6/5) menanggapi sikap konfederasi serikat pekerja yang mendukung capres tertentu dalam peringatan May Day yang lalu.
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Moh. Said Iqbal mendeklarasikan dukungan terhadap Prabowo Subianto, capres dari Partai Gerindra. Sedang KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang dipimpin Andi Gani Nena Wea mendukung Joko Widodo, capres dari PDI Perjuangan.
Dalam konteks ini, KPI menegaskan tetap netral dan tidak akan latah mendukung capres tertentu. Sikap KPI tetap tegas, siapa pun yang akan menjadi presiden nanti harus mampu meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja, termasuk pelaut.
Dia mengingatkan, ada satu tuntutan KPI dan para pelaut Indonesia yang belum direalisasikan oleh pemerintahan SBY, yakni ratifikasi Konvensi Pekerja Martitim atau Maritime Labour Convention/MLC. Konvensi ini harus diratifikasi oleh pemerintahan baru nanti.
MLC yang ditetapkan dalam sidang ILO (International Labour Organization) tahun 2006 di Jenewa, menurut Hanafi, telah diberlakukan di seluruh dunia sejak 20 Agustus 2013. Konsekuensinya, semua kapal beserta crew dari negara yang belum meratifikasi MLC akan mendapat sanksi internasional.
Kapal yang tidak memenuhi ketentuan standar MLC dilarang berlayar. Perusahaan pelayaran atau pemilik kapal di luar negeri juga mengancam tidak akan merekrut kru dari negara yang belum meratifikasi MLC.
"Pemerintah harus serius memperhatikan masalah ini, karena bisa mengganggu operasional kapal dan pelaut Indonesia terancam diturunkan dari kapal tersebut," tambahnya.
Sementara itu terkait kekerasan taruna STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) yang menewaskan seorang taruna yunior, Hanafi minta semua pihak melihat permasalahannya secara keseluruhan dan profesional.
Tanpa bermaksud membenarkan kekerasan di kampus itu, Hanafi mengingatkan, STIP merupakan aset negara yang harus dipertahankan. Alasannya, selain sebagai 'kawah candradimuka’' dalam menciptakan pelaut yang handal, STIP sebagai penyelenggara diklat pelaut yang paling berkompeten di seluruh Indonesia.
Untuk itu, dia minta Badan Pengembangan SDM Perhubungan dan STIP mengevaluasi sistem pembinaan dan pengawasan taruna. Sehingga kasus kekerasan itu tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Menanggapi wacana yang dilontarkan Dirjen Pendidikan Tinggi agar STIP menutup program pendidikan nautika dan teknika, Hanafi menegaskan, usul itu bukan solusi yang tepat. Program pendidikan itu harus tetap dilaksanakan, mengingat saat ini Indonesia lagi kritis karena kapal-kapal nasional sangat kekurangan perwira.
Sementara itu, Sekretaris KPI Sonny Pattiselanno menambahkan, kekurangan perwira itu harus segera diatasi. Jika tidak, pelaut asing akan mengisi posisi perwira di kapal-kapal Indonesia.
"Ini merupakan masalah serius, terutama menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015," katanya seraya menambahkan kalau sampai pelaut asing menjadi perwira di kapal-kapal nasional itu bertentangan dengan UU Pelayaran.
Dia mengingatkan, pendisiplinan taruna tidak harus dilakukan dengan kekerasan. Pembinaan moral dan mental perlu dikedepankan, sehingga sikap mereka tidak mengarah pada kekerasan.
Untuk itu, Sonny mengusulkan agar seleksi taruna STIP disertai dengan tes psikologi, kolektivitas dan agresifitas. Semua itu dimaksudkan agar mereka yang akan menjadi perwira yang bertanggung jawab dalam tugas, serta mampu menegakkan aturan dan prosedur di kapal.
[wid]