Parde Sitompul hanya mampu tertunduk lesu, duduk berselonjor di antara genangan air sisa pemadam kebakaran. Tubuh basah kuyup, seakan tidak ia hiraukan.
Sesekali tangan kanannya ia usapkan ke wajah letih, sembari meluruskan kedua kaki di tengah ribuan warga masyarakat yang teÂrus menyesaki gerbang depan Blok 3 Pasar Senen, Jakarta Pusat.
“Hancur lae, semua habis. Nggak ada lagi yang tersisa. SeÂmuaÂnya terbakar,†ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari baÂnguÂnan berlantai tiga, pasar yang seÂlama ini dikenal sebagai pasarÂnya orang Batak di Jakarta ini.
Menurut Sitompul, dua kios miÂliknya, di mana masing-maÂsing berukuran 2x2 meter yang seÂlama ini ia sewa persis berada di lantai dua bagian tengah, tidak meÂnyisakan satu bal pun kain yang selama ini menjadi jualannya.
“Sudah nggak tahu lagi aku beÂrapa kerugiannya. Kemarin saja itu barang (kain) kita masuk 800 bal. Satu bal itu paling murah Rp 3 juta. Itu saja udah Rp 2,4 miÂliar. Itu belum termasuk barang-barang yang sudah ada terlebih dahulu,†katanya meratap sedih.
Hal senada dikemukakan peÂdagang lainnya, A Sinaga. NaÂmun nasibnya masih lebih baik. Karena kebetulan kiosnya berada di lantai dua, menghadap persis ke Jalan Gunung Sahari, berÂseÂbeÂrangan dengan Mal Atrium.
“Begitu dengar berita dari kaÂwan jam 6 pagi, aku langsung keÂmari. Jadi waktu api belum semÂpat menyebar, kita bersama kaÂwan-kawan sudah saling bahu memÂbahu menyelamatkan baÂrang-barang. Semua lagi kita jeÂmur. Kasihan kawan-kawan yang lain. Api kebetulan berasal dari bagian tengah lantai dua. Dan itu ada empat titik. Sementara kita kan di depan itu,†katanya.
Menurut Sinaga, setidaknya ada sekitar 5.000 kios di seluruh blok tiga Pasar Senen. Dan hamÂpir seluruhnya habis terbakar, Jumat (25/4). Dari total jumlah peÂdagang yang ada, hampir seÂteÂngahnya berasal dari suku Batak. Sementara sebagian lainnya suku Padang dan etnis Tionghoa.
“Di sini kita Batak banyak kali. Lebih dari setengah. Kalau satu orang saja rugi sampai ratusan juta rupiah, ya bisa kalikan senÂdirilah berapa total kerugian yang ada. Belum lagi ada yang sampai rugi miliaran rupiah,†katanya.
Jumlah pedagang yang dikeÂmuÂkakan Sinaga, tidak sinkron dengan informasi yang diperoleh dari Direktur Utama PD Pasar Jaya, Djangga Lubis. MenurutÂnya, saat ini terdapat 3.096 temÂpat usaha di pasar yang dibangun sejak tahun 1974 tersebut. Meski begitu di antara keduanya terÂdapat kesesuaian informasi terÂkait peremajaan.
Menurut Lubis, Blok 3 Pasar SeÂnen rencananya akan diremaÂjaÂkan setelah Lebaran. Sementara menurut Sinaga, selama ini meÂmang mereka telah mendengar rencana tersebut. Dan bahkan renÂcananya peremajaan akan diÂlakukan setelah pemilu diÂselenggarakan.
“Rencana peremajaannya suÂdah dari 2004 lalu. Tapi akhir-akhir ini wacana tersebut meÂnguat kembali. Tapi meÂminÂdahÂkan 5.000 pedagang itu kan nggak mudah. Mau ditempatkan ke mana? Makanya kita menduga ini memang sengaja dibakar, kaÂrena nggak ada yang mau pinÂdah,†kata Sinaga.
Dugaan Sinaga tentu bukan tanÂpa sebab. Indikasi diwarnai seÂjumlah keanehan yang muncul di malam sesaat sebelum kebakaran terjadi, Pukul 04.00 WIB, Jumat (25/4) subuh.
“Tiba-tiba tadi malam itu gemÂbel-gembel diusir-usirin sama peÂtugas dari dalam pasar. Nah seÂtelah itu hampir tidak ada petugas yang kelihatan. Bang Lerry (salah seorang pedagang) melihat langÂsung. Tapi ia nggak curiga. KeÂbetulan kiosnya di bagian tengah. Anehnya setelah itu, nggak ada petugas yang terlihat. Tapi ada sekitar empat orang tidak dikenal berkeliaran,†katanya.
Lerry, menurut Sinaga, kemuÂdian melanjutkan aktivitasnya menonton siaran langsung perÂtanÂdingan semifinal sepak bola piala Eropa, antara Benfica meÂlawan Juventus. Ia baru merasaÂkan keanehan saat terlihat ada asap di mana-mana. Kemudian berusaha mencari tahu dari mana asap tersebut berasal.
“Yang paling aneh, waktu bang Lerry ke bagian belakang, ia meÂlihat ada satu titik api. Demikian juga waktu berjalan ke bagian kanan dan kiri, terdapat masing-masing titik api juga. Demikian juga waktu ia berjalan ke bagian depan menghadap ke Mal AtÂrium, ada lagi titik api. Makanya kuat dugaan memang sengaja dibakar,†katanya.
Kecurigaan menurut pria yang telah lima tahun berjualan di Blok 3 ini, karena selama ini dari tiga baÂgian di Pasar Senen, dua blok di Âantaranya kini dikelola pihak swasta. Masing-masing di samÂping kanan dan kiri. SeÂmenÂtara Blok 3 masih ditangani PD Pasar Jaya.
“Selama ini juga pengelolaan di Blok 3 seperti sudah nggak jeÂlas yang mengelolanya. Kita baÂyar biaya pengelolaan itu juga jumÂlahnya beda-beda. Nggak ada yang pasti dan diserahkan ke siapa itu juga beda-beda. Tapi waktu dulu itu untuk satu kios itu diÂhargai 25 juta per tahun,†katanya.
Blok 3 Pasar Senen diketahui terÂbakar sejak Pukul 04.00 WIB Jumat (25/4). Menerima inforÂmasi sekitar Pukul 04.10 WIB, ratusan petugas pemadam kebaÂkaran dari seluruh wilayah JaÂkarÂta dikerahkan. Pemadaman api meÂlibatkan 52 unit mobil pemaÂdam kebakaran.
Baik yang berÂasal dari Jakarta Pusat 24 unit, JaÂkarta Timur 10 unit, Jakarta Barat 3 unit, Jakarta Utara 4 unit, JaÂkarta Selatan 3 unit dan 8 unit dari Bogor.
Demi memadamkan si jago merah, pemadam kebakaran juga mengerahkan 18 unit pompa, 6 quick respons, sebuah mobil amÂbulans dan memompa langÂsung air Kali Ciliwung dari samping Markas TNI Angkatan Laut, deÂpan Tugu Tani, Kwitang.
Namun meski telah bekerja saÂngat maksimal, api hingga JuÂmat petang belum juga berhasil dipaÂdamÂkan. Api yang sebelumÂnya pada Jumat petang terlihat meÂnyisakan bara, tiba-tiba sekitar pukul 18.10 WIB, terlihat kemÂbali membesar.
Akibatnya, petugas yang telah sangat kelelahan kembali harus bekerja ekstra keras, termasuk memaksimalkan penggunaan seÂbuah alat penyemprot beÂrÂkeÂkuaÂtan tinggi yang dioperasikan leÂwat komputer.
Tempat Nongkrong Seniman Sampai CopetPasar Senen Di Masa JayaPasar Senen dibangun 30 Agustus 1735 oleh tuan tanah yang juga seorang arsitek berÂnama Yustinus Vinck. Awalnya pasar ini hanya dibuka pada hari Senin. Itu sebabnya disebut PaÂsir Snees atau belakangan menÂjadi Pasar Senen. PerkemÂbaÂnganÂnya pasar ini semakin raÂmai hingga akhirnya hingga kini diÂbuka setiap hari.
Pada awal abad ke-20, Senen telah menjadi jantung ibu kota dengan denyut perdagangan yang tak pernah berhenti. BebeÂrapa toko besar dan terkenal, banyak berdiri di sepanjang JaÂlan Kramat Bunder, Jalan KraÂmat Raya, Jalan Kwitang, dan Jalan Senen Raya.
“Apotik Rathkamp†yang seÂtelah kemerdekaan menÂjadi KiÂmia Farma, berdiri di sebeÂrang Segi Tiga Senen. Di Gang KeÂnaÂnga terdapat toko sepeda “Tjong & Coâ€. Di Jalan Kramat Bunder terdapat rumah makan terkenal “Padangsche Buffetâ€. Di Jalan Kwitang terdapat toko buku Gunung Agung. Serta dua bioskop terkenal, Rex Theater (kini Bioskop Grand) dan RivoÂli Theater di Jalan Kramat Raya.
Di Pasar Senen terdapat toko Djohan Djohor milik saudagar Minangkabau, yang terkenal karena sering memberikan poÂtoÂngan harga. Pada periode 1960-1970, beberapa toko di atas lenyap tergerus zaman.
Pada akhir dekade 1930-an, kawasan Senen mulai didataÂngi anak-anak muda dari seÂanÂtero Nusantara. Kebanyakan di anÂtara mereka adalah mahÂaÂsisÂwa, aktivis, dan pejuang baÂwah tanah.
Di samping itu terdapat pula para pemain sandiwara, pemain musik, pembuat puisi, dan peÂnulis cerita, yang kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan “Seniman Senenâ€. Salah satuÂnya Chairil Anwar. Beliau keÂrap mondar-mandir, mencari insÂpirasi dan menulis sajak di pinggiran Stasiun Senen.
Para seniman Senen yang keÂlak menjadi orang-orang sukÂses antara lain Usmar IsÂmail, MisÂbach Yusa Biran, Delsy SyamÂÂsuÂmar, Soekarno M. Noer Wim UmÂboh, dan Wolly Sutinah.
Dipilihnya Pasar Senen menÂjadi tempat berkumpulnya para seniman, dikarenakan deÂkatnya kawasan tersebut deÂngan GeÂdung Kesenian Jakarta dan stuÂdio film Golden Arrow. Dan dari sini juga, orang bisa menÂcapai seÂgala penjuru JakarÂta dengan biaya amat murah.
Pada era 1950-an, tempat kumÂÂpul paling ternama adalah kedai Masakan Padang “Ismail Merapiâ€. Di tempat ini, tak haÂnya para seniman saja yang berÂkumpul, tetapi juga para penÂcopet, preman, dan gelandangan.
Pada tahun 1968, Gubernur Jakarta Ali Sadikin meresmiÂkan Taman Ismail Marzuki dan keÂmudian mendirikan Institut KeÂsenian Jakarta (IKJ). Selain seÂbagai obyek wisata, tempat ini juga diperuntukkan bagi para seÂniman yang hendak meÂngembangkan bakat dan keÂmamÂpuannya.
Sejak itu mereduplah nama besar Seniman Senen. Kini CiÂkini dengan Taman Ismail MarÂzuki-nya, telah menggantikan Planet Senen sebagai tempat pembiakan para seniman muda.
Ali Sadikin lalu mencaÂnangÂkan pembangunan proyek SeÂnen yang dilengkapi fasilitas geÂdung parkir melingkar, yang merupakan lokasi parkir perÂtama yang ada di Jakarta. Selain itu, juga dibangun pasar inpres dan terminal.
Belum lama jadi, pada tahun 1974, meletus peristiwa Malari atau malapetaka 15 Januari. Peristiwa ini diawali aksi unjuk rasa mahasiswa yang menolak kebijakan pemerintah yang proÂaÂsing. Kerusuhan pecah. Massa mengamuk. Dua blok Pasar SeÂnen turut menjadi sasaran. Ka wasan ini pun sebagian ludes terbakar. ***