Radio Frequency Identification (RFID)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) cuma berwacana melakukan pembatasan BBM subsidi. Bahkan program Radio Frequency Identification (RFID) dinilai omdo (omong doang).
“RFID mana, omdo (omong doang). Capek omdo terus. Pengendalian dan pembatasan mana,†sindir Menko Perekonomian Hatta Rajasa.
Dia prihatin melihat nasib program RFID yang ditargetkan selesai tahun ini, tapi tidak ada kejelasan. Dia juga mempertanyakan, program-program penghematan BBM lain yang diwacanakan Kementerian ESDM.
Menurutnya, lonjakan konsumsi BBM subsidi pada tahun ini masih menghantui APBN. Jika tidak ada langkah pengendalian yang signifikan, maka konsumsi BBM akan melonjak dari kuota yang ditetapkan oleh pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 48 juta kiloliter.
Konsumsi BBM subsidi juga akan terus melonjak. Karena itu, kata Hatta, diperlukan cara untuk mengendalikannya. “Volume konsumsi akan naik terus seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Kita harus tata dengan tepat,†ucapnya.
Kenaikan konsumsi, menurut dia, akan berdampak pada lonjakan anggaran subsidi dalam APBN. Tahun ini, pemerintah menyediakan anggaran Rp 210 triliun untuk subsidi BBM, lebih rendah dibanding realisasi tahun 2013 sebesar Rp 250 triliun.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengatakan, terhambatnya program RFID karena pemerintah lambat memutuskan program itu.
“Anda semua tahu keputusan ini dulu
kan lamban, akhirnya keburu dolar naik, jadi perhitungan berubah semua. PT INTI juga kesulitan karena tidak mungkin dengan harga yang lama,†jelas Dahlan.
Meski begitu, kata dia, PT Pertamina dan INTI masih terus membahas kelanjutan program pengendalian BBM tersebut. “Biar PT INTI dan Pertamina yang menyelesaikan, terserah mereka, kalau mau dilanjutkan ya dilanjutkan, kan perhitungan berubah semua,†jelasnya.
Direktur Utama PT INTI Tikno Sutisna mengungkapkan, pihaknya hanya bertugas melakukan pemasangan RFID. Terkait program tersebut dianggap omdo, silakan ditanyakan ke Pertamina. “Sebaiknya pertanyaan itu disampaikan ke Pertamina,†ujarnya.
Namun ketika ditanya masalah pemasangan RFID lamban karena PT INTI meminta perubahan nilai kontrak pembayaran kepada Pertamina, dari sebelumnya Rp 18 per liter dari setiap BBM yang tersalurkan melalui sistem RFID naik menjadi Rp 21 per liter, Tikno enggan menjawab.
Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, dari awal program RFID memang setengah hati dilaksanakan. Apalagi saat itu pemerintah juga kebanyakan model pembatasan BBM subsidi.
“Jika Menko Perekonomian mempertanyakan program ini, berarti koordinasinya buruk. Harusnya kan ada laporannya,†ucapnya.
Menurut Komaidi, komitmen pemerintah terhadap program RFID juga tidak maksimal. Selain itu, dalam tataran teknis juga bermasalah. Pada saat pemasangan banyak pemakai kendaraan yang kesulitan karena tidak siap dan kurang sosialisasi.
Selain itu, Kementerian ESDM dan PT Pertamina (Persero) dituding tidak akur menjalankan program pengendalian BBM bersubsidi.
Komaidi menganggap ketidakakuran kedua institusi tersebut terlihat dari metode pembatasan BBM yang dijalankan. Pertamina di satu sisi tetap bersikukuh menjalankan program RFID. Sementara Kementerian ESDM justru getol mengusung ide pembelian BBM dengan kartu non tunai.
“Saya
nggak tahu tujuannya. Maksudnya kita mengerti basis pengendalian dan menentukan siapa yang mendapat BBM subsidi. Tapi Sekarang belum ke sana, sebatas menjalankan konsep masing-masing saja,†jelasnya.
Oleh sebab itu, Komaidi menyarankan Pertamina dan Kementerian ESDM lebih berkoordinasi melakukan pengendalian BBM bersubsidi agar program yang dijalankan saling berintegrasi.
Faktor lainnya, ada pihak-pihak yang tidak mau program penghematan BBM subsidi dijalankan. Karena akan mengganggu bisnis impor minyak. “Untung mereka akan semakin besar jika konsumsi terus melonjak. Karena kebutuhan BBM masih banyak dipasok dari impor,†tandasnya. ***