Berita

Roy Suryo Politisir Keraton Solo!

SENIN, 24 FEBRUARI 2014 | 21:53 WIB | LAPORAN: ADE MULYANA

Terkait penyelesaian konflik Keraton Solo di Jogyakarta, Roy Suryo dianggap seperti mengail ikan dalam air keruh. Roy Suryo sudah terlalu jauh menggunakan posisinya sebagai orang Jawa, keturunan ningrat dan sekaligus politisi untuk mengambil manfaat politis atas konflik tersebut.

Rahmad Pribadi, lulusan Harvard University yang pemerhati budaya, mengatakan sebagai orang Jawa dirinya merasa risih melihat kelakukan Roy Suryo. Penyelesaian konflik Keraton Solo dengan cara mengundang dua tokoh sentral yakni Paku Buwono XIII Hangabehi dan Panembahan Agung Tedjowulan ke Gedung Agung di Yogyakarta menyalahi pakem yang ada. Sehingga pemanggilan itu lebih bermuatan politis daripada upaya untuk menyelesaikan masalah.  

"Kalau mau bicara soal keturunan Kerajaan Mataram, ya harus digunakan silsilah dan posisi masing-masing," kata Rahmad kepada redaksi (Senin, 24/2).
 

 
Menurut Master of Public Administration dari Harvard University ini, sebenarnya Sri Sultan Hamengkubuwon X lebih pantas membantu penyelesaian konflik Keraton Solo dibanding Roy Suryo.

"Tetapi saya tahu, bahwa Sri Sultan HB X tidak akan pernah mau ikut intervensi kecuali Keraton Solo memintanya," ujar Rahmad Pribadi yang juga lulusan Texas University.
 
Dalam posisi itu, menurut pria muda kelahiran Jogyakarta ini, seharusnya Presiden SBY tidak mengundang kedua tokoh sentral Keraton Solo itu ke Jogyakarta, yang menjadi kekuasaan Sultan HBX sebagai raja. 

"Harusnya, kalau saya  kulo nuwun dulu dan harus melibatkan Sultan HBX sebagai raja  Jogyakarta dalam penyelesaian itu karena wilayahnya digunakan sebagai tempat pertemuan. Itu kalau mau dilakukan penyelesaian dengan pendekatan budaya," ujarnya.
 
Kesalahan lain Roy Suryo adalah tidak memberi masukan yang bijaksana kepada Presiden SBY terkait pengundangan kedua tokoh Keraton Solo ke Jogyakarta. Seharusnya Presiden SBY tahu posisi tersebut.

"Kalau Yogyakarta pada tahun-tahun lalu mau dihilangkan keistimewaannya, lha Keraton Solo koq malah mau diurusi ? Khan aneh sekali rasanya. Pemerintah harus belajar sejarah dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terkait dengan kerajaan dulu. Roy Suryo kalau mau jadi pembisik harus belajar sejarah Indonesia dulu, supaya tidak kesandung-sandung," paparnya.
 
Campur tangan Presiden SBY dalam konflik Keraton Solo mengingatkan Indonesia pada jaman penjajahan dahulu dimana, Gubernur Hindia Belanda selalu campur tangan dalam  konflik keraton di Indonesia. Bahkan pemerintah kolonial memecah belah Kerajaan Mataram agar tidak memiliki kekuatan untuk melawan penjajahan.
 
Terkait dengan cara penyelesaian, Rahmad meluruskan permasalahan yang ada. Dengan konflik tersebut, keraton Solo seperti kembali ke sejarah jaman dulu yakni perebutan tahta kerajaan dan siapa yang akan memegang kendali kekuasaan. Penyelesaian itu harus lebih proper dan dikembalikan kepada keluarga besar keraton Solo yakni Putra Putri Pakubuwono XII.
 
Lebih lanjut diuraikan, kesalahan Roy Suryo ketiga adalah, membawa konflik Solo  ke arena politik. Kasus ini pernah diselesaikan oleh Joko Widodo yang pada waktu itu Walikota Solo dari PDIP. Sementara persoalannya terletak pada tokoh sentral keraton Solo yang lain yakni GKR Wandansari Koes Moertiyah (Gusti Moeng) dan Eddy Wirabhumi, suaminya , yang mengepalai Lembaga Dewat Adat. Gusti Moeng dan Eddy Wirabhumi dahulunya adalah PDIP namun berpindah ke Partai Demokrat.
 
"SBY Demokrat, Roy Suryo Demokrat dan Gusti Moeng serta suaminya Eddy Wirabhumi adalah  Demokrat juga. Lha penyelesaiannya di Jogyakarta, yang merupakan Dapilnya Roy Suryo. Khan sudah jelas arahnya," ujar Rahmad Pribadi yang calon anggota DPR dari Partai Golkar.
 
Rahmad Pribadi menegaskan, agar apa yang sudah dilakukan Jokowi dan diteruskan oleh  Walikota Surakarta saat ini Hadi Rudyanto hendaknya dihormati.

"Jika memang pemerintah SBY mau membantu, percayakan saja kepada Walikota Solo dan jangan intervensi. Ini khan urusan putera-puteri PBXII," ujar Rahmad.[dem]

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

UPDATE

Trump Serang Demokrat dalam Pesan Malam Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 16:04

BUMN Target 500 Rumah Korban Banjir Rampung dalam Seminggu

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:20

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Gibran Minta Pendeta dan Romo Terus Menjaga Toleransi

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:40

BGN Sebut Tak Paksa Siswa Datang ke Sekolah Ambil MBG, Nanik: Bisa Diwakilkan Orang Tua

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:39

Posko Pengungsian Sumut Disulap jadi Gereja demi Rayakan Natal

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:20

Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK, Kardinal Suharyo Ingatkan Pejabat Harus Tobat

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:15

Arsitektur Nalar, Menata Ulang Nurani Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:13

Kepala BUMN Temui Seskab di Malam Natal, Bahas Apa?

Kamis, 25 Desember 2025 | 14:03

Harga Bitcoin Naik Terdorong Faktor El Salvador-Musk

Kamis, 25 Desember 2025 | 13:58

Selengkapnya