Tidak tertutup kemungkinan ada potensi mobilisasi pemilih fiktif, yakni pergerakan pendataan pemilih tidak terdaftar, hingga menjadi pemilih dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Demikian disampaikan Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Girindra Sandino, kepada wartawan.
Menurutnya, Daftar Pemilih Tetap (DPT) masih menyisakan masalah karena masih ada 3,3 juta data pemilih yang tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). Hingga kini, sebagian data pemilih bermasalah tersebut diklaim sudah ditemukan di DP4 oleh Kemendagri namun belum diserahkan ke KPU. Selain itu, versi beberapa peserta pemilu, angka DPT melebihi jauh versi DPT KPU.
KPU punya solusi dengan menggunakan Daftar Pemilih Khusus (DPK), sesuai dengan pasal 40 ayat (5) UU 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Isinya," dalam hal terdapat warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih dan tidak memiliki identitas kependudukan dan/atau tidak terdaftar dalam darter pemilih sementara, daftar pemilih sementara hasil perbaikan, daftar pemilih tetap, atau daftar pemilih tambahan, KPU Provinsi melakukan pendaftaran dan memasukannya ke dalam daftar pemilih khusus".
Klausul ini didelegasikan ke Peraturan KPU No. 9/2013 tentang Penyusunan Daftar Pemilih untuk Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, khususnya pasal 35 ayat (1) yang mengatur mekanisme pergerakan dari (daftar) pemilih yang tidak tercatat dalam DPT hingga menjadi pemilih di DPK.
"KIPP berpandangan bahwa harus diwaspadai dan diantisipasi, tidak tertutup kemungkinan adanya potensi mobilisasi pemilih fiktif. KPU sendiri sudah membuka pendaftaran DPK hingga 14 hari sebelum hari-H pemilu legislatif," katanya.
Dia jelaskan, pendataan akan dilakukan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS), PPS menyerahkan ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang kemudian diserahkan ke KPU setempat dan direkapitulasi dan di sahkan oleh KPU Provinsi. Pendataan pun akan langsung mengecek pemilih tidak terdaftar ke lapangan (domisili pemilih tersebut) oleh PPS dan mengecek namanya dalam DPT.
Girindra ingatkan, tingkat kerawanan ada di tingkat PPS dan PPK karena pengecekan atau verifikasi pemilih tidak terdaftar di lapangan berpotensi terjadi kecurangan dan mobilisasi pemilih fiktif yang bisa menodai penyelenggaraan pemilu 2014.
"Bagaimanapun sistem proporsional yang dianut sekarang membuka celah mobilisiasi pemilih fiktif tersebut. Peran Bawaslu hingga level lapangan sangat penting juga keterlibatan semua elemen masyarakat," ujarnya.
[ald]