Berita

Bisnis

DPR Soroti Potensi Kerugian Negara dalam Merger Axis-XL

JUMAT, 13 DESEMBER 2013 | 22:14 WIB | LAPORAN:

Setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menunda merger PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Axis Telekom Indonesia (Axis), giliran anggota DPR mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki kejanggalan dalam merger tersebut.  

"Lembaga lain seperti KPK dapat juga bertindak demi mencegah terjadinya kerugian negara karena merger dua operator itu dalam prosesnya banyak ditemukan kejanggalan dan tidak menutup kemungkinan adanya praktek gratifikasi kepada penyelenggaran negara," kata anggota Komisi I DPR, Chandra Tirta Wijaya di Jakarta, Jumat (13/12).

Menurut dia, frekuensi adalah sumber daya terbatas yang dialokasikan ke operator melalui modern licensing. Dalam artian, diberikan hak pakai namun juga ada kewajiban. Chandra mencontohkan, lelang blok tambahan 3G terakhir dilakukan melalui beauty contest. Untuk mendapat tambahan spektrum tersebut, operator diwajibkan melampirkan komitmen pembangunan yang mengikat.


"Motivasi XL merger denganAxis semata untuk mendapatkan frekuensi, tapi yang perlu ditanyakan, apakah XL sudah menyampaikan pada pemerintah komitmen pembangunan yang dilampirkan untuk memperoleh tambahan spektrum tersebut? Jangan-jangan seperti komitmen di modern licensing, dapat izin dan frekuensinya tapi tidak menjalankan komitmennya dengan alasan tidak sanggup bangun. Jelas hal ini hanya menguntungkan XL saja," imbuhnya.

Chandra menegaskan, pemberian frekuensi 1.800 MHz secara langsung  melanggar prosedur. Jika mengacu pada regulasi, frekuensi eks Axis harus ditarik dulu semuanya, baik 15 MHz di 1800 MHz (2G) maupun blok 11 dan 12 di 2100 MHz (3G).  Setelah itu, lanjut  dia,  baru direalokasikan dengan cara seleksi dan evaluasi sesuai Permen Kominfo 17/2005 dan 23/2010.

Chandra menambahkan, jika pemerintah ingin pemasukan negara yang maksimal seharusnya mereka menarik kembali 1.800 MHz dan melakukan tender ulang. Sebab, harga per Mhznya jauh lebih mahal daripada 2.100 MHz. Yang terjadi saat ini, pemerintah justru memberikan 1.800 MHz kepada XL.

Dengan melihat berbagai kejanggalan itu, Chandra pun mendorong KPK ikut mengawasi proses merger XL dan Axis yang jelas-jelas dinilainya tidak fair dan berpotensi merugikan negara.

Dia mengaku tak ingin kasus mega skandal divestasi Indosat pada 2002 kembali terulang yang menyebabkan BUMN itu berubah menjadi PMA. Saat itu untuk memuluskan langkah mencaplok Indosat, Singapore Technologies Telemedia (STT) menggelontorkan dana Rp 5,6 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk fee yang disebut-sebut mencapai Rp 500 miliar pada pihak-pihak tertentu, sebagai transaksi di bawah meja agar proses divestasi berjalan mulus.

Sebelumnya, KPPU menyimpulkan  akuisisi XL terhadap Axis akan dilanjutkan ke tahap penilaian menyeluruh. Karenanya, KPPU belum merestui akuisisi ini.

Dalam penilaian itu, KPPU akan meminta keterangan dari beberapa pihak terkait, termasuk XL sebagai pemohon konsultasi untuk memberikan klarifikasi dan konfirmasi atas data yang diperoleh.

Hal-hal yang akan diklarifikasi dan dikonfirmasi di antaranya sejauh mana akuisisi itu akan menimbulkan perilaku persaingan tidak sehat atau menghasilkan efisiensi pada pasar bersangkutan atau akan meningkatkan entry barrier/hambatan masuk dan atau dilakukan untuk menyelamatkan pelaku usaha yang diakuisisi dari kebangkrutan. Penilaian akan berlangsung dalam waktu 60 hari kerja.

"Sesuai dengan perintah UU, kami akan tetap menilai akuisisi ini secara menyeluruh untuk melihat sejauh mana dampaknya bagi persaingan," kata Ketua KPPU Nawir Messi.

Proses penilaian ini akan berjalan dan belum sampai pada kesimpulan atas rencana akuisisi itu dapat diteruskan atau tidak. KPPU dapat pula memberikan pendapat komisi yang meminta para pihak dalam akuisisi melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk mencegah terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini.

 "Opsi-opsi ini akan disimpulkan setelah komisi selesai melakukan penilaian menyeluruh," jelasnya dalam keterangan tertulis.[wid]

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

UPDATE

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Pramono Putus Rantai Kemiskinan Lewat Pemutihan Ijazah

Senin, 22 Desember 2025 | 17:44

Jangan Dibenturkan, Mendes Yandri: BUM Desa dan Kopdes Harus Saling Membesarkan

Senin, 22 Desember 2025 | 17:42

ASPEK Datangi Satgas PKH Kejagung, Teriakkan Ancaman Bencana di Kepri

Senin, 22 Desember 2025 | 17:38

Menlu Sugiono Hadiri Pertemuan Khusus ASEAN Bahas Konflik Thailand-Kamboja

Senin, 22 Desember 2025 | 17:26

Sejak Lama PKB Usul Pilkada Dipilih DPRD

Senin, 22 Desember 2025 | 17:24

Ketua KPK: Memberantas Korupsi Tidak Pernah Mudah

Senin, 22 Desember 2025 | 17:10

Ekspansi Pemukiman Israel Meluas di Tepi Barat

Senin, 22 Desember 2025 | 17:09

Menkop Dorong Koperasi Peternak Pangalengan Berbasis Teknologi Terintegrasi

Senin, 22 Desember 2025 | 17:02

PKS Kaji Usulan Pilkada Dipilih DPRD

Senin, 22 Desember 2025 | 17:02

Selengkapnya