Kebijakan menghilangkan mata pelajaran Bahasa Inggris dan melarang menjadi bahasa pengantar di kelas kecuali sekolah Internasional dipertanyakan. Apa dasar dasar kebijakan tersebut pada saat ini menyongsong pasar bebas, dimana persaingan sangat ditentukan oleh kemampuan bahasa masyarakat.
"Bahasa adalah kebiasaan sehari-hari yang harus diasah terus menerus. Justru seharusnya sekolah menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kelas, bukan justru melarang penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar," jelas Ketua Satgas Perlindungan Anak, M Ihsan (Rabu, 11/12).
Karena itu, Ihsan kaget ketika membaca pernyataan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, bahwa kebijakan tersebut akan segera diterapkan di sekolah kecuali sekolah Internasional. Pelajaran Bahasa Inggris hanya menjadi ekstra kurikuler.
Menurut Ihsan, UU Perlindungan Anak dan UU Sisdiknas menegaskan bahwa perlindungan anak dan pendidikan bertujuan untuk mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Bagaimana mungkin bisa terwujud jika pemerintah tidak menyiapkan dukungan untuk itu.
"Kebijakan ini akan berpengaruh pada ekonomi masyarakat, yang ekonomi mampu akan menyekolahkan anaknya ke sekolah Internasional atau mendaftar kursus atau bimbel di luar sekolah. Kasihan anak orang tidak mampu yang pintar," ungkapnya.
Menurutnya lagi, kebijakan itu merupakan kebijakan pemerintah yang tidak pro orang miskin dan kualitas pendidikan anak bangsa.
"Saya dapat cerita dari mantan Direktur BI yang punya akses ke luar negeri untuk beasiswa. Ketika seleksi yang lulus adalah (siswa) sekolah Internasional dan sekolah nasional yang menggunakan pengantar bahasa Inggris. Sedangkan sekolah negeri dan swasta biasa selalu gugur karena kemampuan bahasa Inggrinya rendah," beber Ihsan.
Ihsan sendiri mempertanyakan apakah dengan menghapus pelajaran bahasa Inggris akan meningkatkan nasionalisme anak-anak. "Presiden harus punya sikap untuk melindungi anak Indonesia," tandasnya.
[zul]