Presiden SBY seharusnya cepat merespon aksi penyadapan Australia dengan langsung melaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti yang dilakukan sejumlah negara yang disadap Amerika Serikat.
Dengan ada laporan sejumlah negara tersebut, PBB langsung mengeluarkan resolusi baru anti penyadapan. Pasalnya penyadapan itu melanggar pribadi pemimpin negara dan melanggar hukum internasional.
"Tapi, kita unik dalam merespon penyadapan tersebut, selain marah-marah, bakar-bakar, mencaci-maki, dan melempari Kedubes Australia di Jakarta. Dan reaksi Presiden SBY pun lambat dan hanya dengan menyurati PM Tony Abbott," kata peneliti (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani dalam dialog 'Menakar Hubungan Indonesia-Australia pasca penyadapan' bersama anggota DPD RI Poppy Darsono, dan anggota Komisi I DPR RI Tantowi Yahya di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (27/11).
Melihat kelambanan tersebut, menurut dia, seolah-olah Indonesia tidak memahami etika hubungan antar negara. Padahal, kata Jaleswari lagi, kalau mau tegas Presaiden SBY bisa meninjau kembali perjanjian 'Lombok Treaty', karena menitikberatkan pada kerjasama di bidang pertahanan, keamanan, kontra terorisme, maritime security, dan intelijen.
Sementara dalam bidang-bidang perjanjian itu, Australia lebih banyak diuntungkan secara strategis dan politik.
Jaleswari mengatakan kalau aksi penyadaan itu bisa dipandang dari tiga hal; yaitu hukum, psikologis dan politik. Secara hukum ada konvensi Wina terkait etika antar negara, dalam politik ada etikanya dalam hal spionase, intelejen, mata-mata dan sebagainya.
"Penyadapan memang biasa, sebagai usaha untuk mengumpulkan informasi strategis dan tergantung bagaimana negara bekerja dalam operasi hitam itu. Tapi kan ada etika, hukum internasional, dan hubungan politik antar negara,†tegasnya.
[rus]