Berita

ilustrasi

X-Files

Penyidik Pajak Dian Dan Eko Kasih Duit 15 Juta Ke Polisi

Terungkap Dalam Sidang Kasus Suap Pajak PT TMS
RABU, 30 OKTOBER 2013 | 10:40 WIB

Jaksa dan polisi menjadi saksi dalam sidang kasus suap penyidik Ditjen Pajak yang menangani perkara pajak PT The Master Steel (TMS), kemarin.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta ini, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menghadirkan delapan saksi untuk terdakwa M Dian Irwan dan Eko Darmayanto, dua penyidik Ditjen Pajak Kantor Wilayah Jakarta Timur.
 
Para saksi itu adalah Direktur PT The Master Steel Istanto Burhan, Direktur PT Widya Sejahtera Ngadiman, konsultan pajak Ruben Hutabarat, jaksa Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Desy Mutia Firdaus, penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Jhonedy Situmorang, Direktur Keuangan PT Nusa Raya Cipta (NRC) David Suryadi, karyawan PT NRC Handoko Tedjowinoto dan Kepala Bagian Logistik PT NRC Nila suta.


Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Amin Ismanto itu dimulai sekitar pukul 11 siang. Sejam sebelum sidang, kedua terdakwa yang mengenakan batik dibalut seragam tahanan KPK tiba di Pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Dalam kasus ini, Dian dan Eko didakwa sengaja membuat berkas penyidikan cacat agar dikembalikan jaksa kepada mereka. Ujung-ujungnya, agar keluar surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Jaksa Kejati DKI Desy mengaku mengenal Eko, saat Eko datang ke kantornya dengan tujuan pelimpahan perkara tindak pidana perpajakan. Eko datang pada minggu pertama Mei 2013. “Tujuannya datang untuk koordinasi,” cerita Desy.
 
Ada tiga nama yang menjadi tersangka kasus pajak yang ditangani Dian dan Eko itu. Yakni, Direktur Utama PT TMS Diah Soemedi, Direktur PT TMS Istanto Burhan dan Direktur PT Widya Sejahtera, Ngadiman. “Intinya, ada dugaan tindak pidana perpajakan,” kata Desy.

Kemudian minggu berikutnya, tepatnya 14 Mei, Eko datang kembali ke kantor Desy untuk mengirimkan berkas tiga tersangka itu. “Lalu saya lakukan penelitian, saya baca-baca. Terima berkas sekitar jam 11 siang,” ceritanya.

Namun, lanjut Desy, berkas itu banyak kekurangannya. Sehingga, jaksa mengembalikan berkas itu ke penyidik Ditjen Pajak. “Ada banyak kekurangan, seperti disebutkan, tersangka ini melakukan ini, tapi hanya dijelaskan satu saksi saja dalam berkas itu,” kata Koordinator Jaksa Peneliti berkas yang diajukan Eko dan Dian ini.
Saat ditanya hakim Ismanto, apakah Desy dijanjikan sesuatu dalam meneliti berkas tersebut, dia menjawab tidak.

Dalam sidang ini tergambar pula, Eko dan Dian sengaja memotong jalur resmi untuk pelimpahan berkas. Kedua terdakwa ini memberikan uang Rp 15 juta kepada anggota Satuan Koordinator dan Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Jhonedy Situmorang. Dia mengaku pernah menerima Rp 15 juta dari Eko dan Dian. Menurut Jhonedy, pemberian uang dalam pengurusan berkas sudah lazim. â€Memang sudah seperti itu, Pak. Untuk anggaran,” ujar Jhonedy kepada majelis hakim.

Pernyataan Jhonedy itu mengundang pertanyaan hakim Anwar, kenapa anggota Polda Metro mendapatkan anggaran dari penyidik Ditjen Pajak. “Ya, setahu saya memang begitu,” jawab Jhoneddy.

Jhonedy mengakui, Rp 15 juta itu kemudian diserahkannya ke penyidik KPK. “Karena kata mereka, tidak seharusnya saya menerima itu,” ucap Jhonedy. “Memang seharusnya tidak,” timpal hakim Anwar.

Dalam surat dakwaan disebutkan, Eko dan Dian menyogok Jhonedy untuk “potong kompas” dalam mengurus surat pengantar pengiriman berkas penuntutan ke Kejaksaan Tinggi di DKI Jakarta. Eko dan Dian sengaja mengirimkan berkas Diah, Istanto dan Ngadiman tanpa melalui prosedur resmi di Ditreskrimsus Polda Metro Jaya selaku Koordinator Pengawas PPNS di wilayah Jakarta.
 
“Melainkan hanya menghubungi Jhonedy Situmorang selaku anggota Korwas PPNS untuk menyiapkan surat pengantar, dan meminta segera mengirimkan berkas ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta,”  kata JPU KPK Andi saat membacakan berkas dakwaan Eko dan Dian.

Ketika dikonfirmasi mengenai upaya potong kompas tersebut, Jhoneddy membantahnya. “Itu bukan potong kompas, tapi untuk mempercepat saja,”  ujarnya berkelit.

Kilas Balik
Didakwa Terima Duit Perusahaan Baja & Rokok


Dalam surat dakwaan, penyidik Ditjen Pajak Eko dan Dian disebut menerima hadiah atau janji, berupa uang sebesar 600 ribu dolar Singapura dari Direktur Utama PT The Master Steel (TMS) Diah Soembedi, melalui anak buahnya yaitu Effendi Komala dan Teddy Muliawan.

Menurut jaksa penuntut umum (JPU) Paryono, duit itu sebagai suap untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan terhadap pihak PT The Master Steel. PT TMS adalah perusahaan pembuat baja.

“Uang itu diberikan untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan terhadap Diah Soembedi, Direktur Utama PT The Master Steel, Istanto Burhan, dan Ngadiman,” kata JPU Riyono.

Menurut Riyono, terdakwa Eko dan terdakwa Irwan menyidik pelanggaran pajak PT TMS karena perusahaan baja itu menyampaikan surat pemberitahuan pajak yang isinya tidak benar, dan memalsukan transaksi pembayaran pajak. Dalam perkara itu, Diah, Istanto, dan Ngadiman ditetapkan sebagai tersangka dan terancam membayar pajak dengan dendanya sebesar Rp 1,350 miliar.

Demi menghentikan penyidikan, JPU Andi Suharlis mengatakan, pada sekitar 25 April 2013, Diah didampingi konsultan pajak PT TMS Ruben Hutabarat, bertemu Eko dan dan Dian di sebuah restoran yang terletak di lantai 3 Hotel Borobudur, Jakarta. Saat itu, Diah meminta Eko dan Irwan membantu menghentikan penyidikan pajak terhadap dia, dan menjanjikan akan memberikan imbalan sebesar Rp 40 miliar.

Itulah inti dakwaan terhadap Dian dan Eko dalam sidang perdana mereka di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Rasuna Said. Sidang yang dimulai pukul satu siang ini, dipimpin Ketua Majelis Hakim Ismanto. Surat dakwaan setebal 45 halaman dibacakan bergantian oleh tim JPU KPK yang beranggotakan jaksa Riyono, Andi Suharlis, Iskandar Marwanto, dan Medi Iskandar Zulkarnain. Di kursi terdakwa Eko dan Irwan duduk tertib mendengarkan dakwaan.

Menurut JPU Iskandar Marwanto, Eko dan Irwan juga pernah menerima hadiah atau janji, berupa uang Rp 3,25 miliar dari pemilik dan pemegang saham PT Delta Internusa dan pemilik PT Norojono Tobacco Internasional, Laurentinus Suryawijaya Djuhadi.

Uang itu diberikan melalui Manajer Akuntansi PT Delta Internusa, Adi Setiawan, dan stafnya Adi Winarko. Marwanto melanjutkan, keduanya juga pernah menerima 150 ribu dolar Amerika dari Kepala Bagian Keuangan PT Nusa Raya Cipta Handoko Tejo Winoto.

Menurut jaksa Medi Iskandar Zulkarnain, Eko dan Dian menerima uang Rp 3,250 miliar diduga sebagai suap untuk menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan di PT Delta Internusa. Menurut dia, hal itu lantaran dalam penyidikan ditemukan kejanggalan dalam data Surat Pajak Terhutang (SPT) perusahaan rokok itu.

“Dalam SPT PT Delta Internusa tercantum data peredaran rokok sebesar Rp 6,1 triliun. Padahal diketahui, nilai rokok yang masuk lebih dari Rp 8 triliun,” ungkap Medi.
Menurut Medi, Eko dan Irwan juga menemukan kejanggalan SPT Laurentinus yang juga termasuk 100 orang terkaya di Indonesia. Awalnya, Laurentinus keberatan dengan permintaan kedua terdakwa. “Tetapi, setelah Eko dan Irwan bertemu dengan Adi Setiawan dan Adi Winarko disepakati imbalan buat penghentian penyidikan pajak Rp 3,250 miliar,” ujar Medi.

Uang itu, lanjut Medi, lantas dibagi dua antara Eko dan Irwan. Eko mendapat Rp 1,5 miliar, sementara Irwan mendapat Rp 1,2 miliar. Lantas dalam perkara PT Nusa Raya Cipta, Eko dan Irwan menerima 150 ribu dolar Amerika guna menghentikan penyidikan pajak perusahaan itu. Di akhir sidang, Eko maupun Irwan tidak mengajukan keberatan.

Birokrasi Yang Berbelit Mendukung Terjadi Tindak Pidana Korupsi
Boyamin Saiman, Koordinator MAKI

Koordinator LSM Masyarakat Antikorupsi (MAKI) Boyamin Saiman menilai, birokrasi yang berbelit mendukung terjadinya korupsi.

Kata Boyamin, hal itu pula yang terjadi dalam kasus suap penyidik Ditjen Pajak yang menangani perkara pajak PT The Master Steel. “Potong kompas” seperti yang dilakukan terdakwa Eko Darmayanto dan Dian Irwan adalah upaya mempercepat proses birokrasi, yang justru hal tersebut menumbuhkan budaya korup.

“Jika birokrasinya adalah birokrasi yang tertib prosedur, maka akan menghambat atau mempersulit terjadinya korupsi,” ujar Boymin, kemarin.

Dia menilai, saat ini pemerintah belum serius menangani reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak. Terulangnya kembali kasus suap kepada pegawai pajak menunjukkan, pengawasan belum bisa mencegah terjadinya korupsi di sektor itu.

“Terlihat setelah terungkapnya kasus pajak Gayus Tambunan, kasus-kasus pajak lain  terus bermunculan,” ucapnya.

Agar tidak terulang, lanjut Boyamin, maka pemberantasan korupsi di sektor ini tidak boleh sepotong-sepotong. Pengusutan tidak boleh hanya mengungkap pegawai pajak di level bawah. Tapi harus bisa mengungkap semua yang terlibat.

“Jika ada pimpinan yang terlibat, maka KPK harus menyeret orang tersebut ke pengadilan untuk bertanggung jawab,” ujarnya.

Selain lemahnya pengawasan, hal lain yang membuat sektor pajak banyak kebocoran karena pengadilan pajak diisi pihak-pihak yang kurang mengerti hukum. Hal lainnya, pengadilan pajak yang bersifat lex specialis atau khusus, membuka peluang terjadinya permainanan. Mulai dari penyidik, sampai hakim yang memutus perkara kasus pajak, orang pajak juga.
 
“Itu-itu saja, tidak heran jika kasus korupsi pajak terulang lagi,” kata Boyamin.

KPK Mestinya Usut Pimpinan Pajak
Ahmad Basarah, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Ahmad Basarah berharap, KPK jeli menjalani sidang kasus suap pegawai pajak Eko dan Dian. Jika ada fakta persidangan yang mengungkap keterlibatan pihak lain, KPK harus bersiap untuk membuka penyidikan baru.

Basarah mempertanyakan, apakah kasus korupsi di Ditjen Pajak tidak pernah berhenti karena yang diusut hanya level bawah. “KPK harus berani untuk mengungkap pihak-pihak pimpinan Ditjen Pajak,” ucapnya.

Kasus suap penanganan pajak, lanjut Basarah, dilakukan lebih dari satu orang. “Karena itu perlu penanggulan yang menyentuh akar masalah. Tidak bersifat seperti pemadam kebakaran, tapi lebih substansi,” tandas politisi PDIP ini.

Menurut Basarah, paling mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah merevisi berbagai macam regulasi, terutama tentang pengadilan pajak. “Sehingga, menutup ruang korupsi. Kalau belum ada perbaikan, tinggal menunggu saja kasus lain menyusul,” ucapnya.

Kata Basarah, setidaknya ada dua permasalahan yang mesti segera diperbaiki. “Kalau tidak ada perbaikan, maka kasus korupsi di sektor pajak akan terus berulang,” ujarnya.

Hal yang harus diperhatikan pemerintah adalah revisi mengenai sistem pengadilan pajak yang bersifat khusus. Sistem pengadilan pajak yang diisi orang-orang sendiri, berpotensi membuka ruang-ruang manipulasi. “Jadi peluang terjadinya korupsi ini ternyata didukung sistem yang ada,” ucap Basarah.

Sistem yang ada, kata Basarah, juga berpotensi menimbulkan tindakan korupsi di pejabat pajak. “Sistem yang kita anut sekarang, menimbulkan korupsi yang bersama-sama, melibatkan berbagai komponen dari atas ke bawah,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya