KPK akan meminta keterangan majelis hakim mengenai temuan uang 100 dolar Amerika Serikat (AS) dalam buku lampiran pembelaan diri terdakwa kasus korupsi pengadaan simulator SIM, Djoko Susilo (DS).
Uang yang ditemukan jaksa penuntut umum (JPU) KPK dalam buku itu saat sidang pledoi Djoko, menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, merupakan pelecahan terhadap peradilan.
Insiden tersebut, katanya, bukan hanya pencemaran terhadap jaksa, tapi juga melecehkan para pencari keadilan dan upaya pemberantasan korupsi. “Ini bukan soal sederhana dan tidak boleh disederhanakan,†tegas Bambang di kantornya, kemarin.
Menurut bekas Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini, selama dia berkarier di dunia peradilan, baru pertama kali menemukan kasus seperti ini. Karena itu, Bambang mengatakan pihaknya akan melaporkan hal tersebut kepada Mahkamah Agung (MA)
.
“KPK berencana meminta konfirmasi soal tersebut kepada majelis hakim dan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung,†ucapnya.
Salah satu pengacara Djoko, Teuku Nasrullah menilai, keinginan KPK melaporkan masalah ini ke MA merupakan langkah yang sia-sia. “Apa yang mau dilaporkan. Tapi kalau KPK melihat ada unsur kesengajaan, silakan diproses hukum. Uang itu nanti bisa disita. Tapi saya yakin, tidak ada unsur kesengajaan untuk menyelipkan uang itu,†kata Nasrullah.
Dia menganggap KPK terlalu berlebihan menanggapi ditemukannya 100 dolar AS itu. Menurut dia, tidak ada unsur kesengajaan dari pihak DS mengenai uang tersebut.
“Siapa yang melecehkan? Tidak ada satu pun pihak yang mau melecehkan. Justru temuan 100 dolar dalam buku itu merugikan kepentingan Pak Djoko,†cetusnya.
Menurutnya, tidak mungkin pengacara atau terdakwa sengaja menyelipkan uang dalam lampiran pledoi. Soalnya, gara-gara 100 dolar itu, kata Nasrullah, berita yang muncul di media massa bukan soal pledoi DS. Tapi soal dolar itu. “Makanya yang menggunakan akal sehat, tidak mungkin beranggapan uang itu tindakan Pak Djoko,†katanya.
Lantas, dari mana uang itu? Menurut Nasrullah, bisa saja uang itu terselip. Soalnya, buku itu sudah lama berada di kantor Djoko. Atau, bisa saja setelah buku itu dicetak, ada yang menyelipkannya. “Itu mungkin saja terjadi. Sama sekali tidak ada unsur kesengajaan. Atau, diselipkan orang yang ingin posisi DS semakin terpuruk,†duganya.
Menurut Nasrullah, jika uang itu sengaja diselipkan DS atau tim pengacara, maka sama saja menghancurkan diri sendiri. “Bagaimana DS mau menghancurkan dirinya sendiri. Adakah seorang terdakwa yang ingin mempersulit dirinya?†tanya Nasrullah.
Dia mengklaim, masalah uang tersebut sudah klir. Dalam sidang, hakim sudah mengklarifikasi asal uang tersebut. “100 dolar itu apa sih. Jika dilakukan lawyer, sama saja membunuh klien. Tidak masuk akal jika itu unsur kesengajaan,†tandasnya.
Saat sidang pembacaan pledoi di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa (27/8) petang, JPU KPK Kemas Abdul Roni menemukan uang 100 dolar AS dalam buku yang merupakan lampiran pembelaan diri bekas Kepala Korps Lalulintas Polri itu.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Suhartoyo ini dibuka sekitar pukul 4 sore.
Djoko membacakan nota pembelaannya sambil berdiri selama 45 menit. Seusai membacakan pledoi, Djoko menyerahkan nota pembelaannya kepada majelis hakim. Lampirannya adalah buku Dirlantas Polda Metro Jaya dimana Djoko pernah memimpin direktorat tersebut.
Ada tujuh buku yang dibagikan Djoko. Dua buku diserahkan kepada JPU, sisanya diserahkan kepada masing-masing hakim. Buku bersampul biru itu berjudul Direktorat Lalulintas Polda Metropolitan Jakarta Raya. Isinya antara lain tentang profil Djoko, visi dan misinya saat memimpin Dirlantas, serta ide-idenya untuk membentuk lembaga kepolisian ideal. Buku tersebut juga menjelaskan peran-peran Djoko di Dirlantas Polda Metro. Buku itu diserahkan sebagai bahan pertimbangan untuk meringankan hukuman.
Setelah hakim menerima buku, sidang dilanjutkan dengan pembacaaan nota pembelaan oleh pengacara Djoko, Juniver Girsang. Belum lima menit Juniver membacakan nota pembelaan setebal 4022 halaman, tiba-tiba jaksa Roni interupsi. Dia meminta pembacaan pledoi dihentikan sementara.
“Majelis, dalam buku yang tadi dilampirkan, ternyata ada selembar uang 100 dolar Amerika. Saya tidak mengerti dolar apa ini,†kata Roni.
Ruang sidang mendadak tegang. Majelis hakim yang juga mendapat buku sontak membuka-buka halaman buku yang diberikan Djoko itu. “Di buku saya tidak ada,†kata Hakim Suhartoyo, sambil melirik hakim lain yang juga membuka-buka halaman buku.
Salah satu pengacara DS, Tomy Sihotang mengatakan, pihaknya juga tidak mengerti soal uang tersebut. “Saya tegaskan, tadi uang itu tidak ada,†kata Tommy dengan nada tinggi. Perdebatan antara tim jaksa dan pengacara terjadi.
Suhartoyo kemudian meminta klarifikasi kepada Djoko mengenai pemberian buku tersebut. Menurut Djoko, buku itu adalah profilnya sebagai lampiran pledoi.
Suhartoyo lanjut menanyakan, apakah 100 dolar yang diselipkan di buku itu ada maksud kesengajaan. “Saya yakin tidak ada, Majelis,†jawab Djoko. Suhartoyo menanggapi,“Faktanya terlampir ada uang. Apa karena uang dolar sedang mahal? Tolong ambil saja.†Namun, jaksa Roni menolak memberikan uang tersebut.
Dia bermaksud menyitanya. “Mungkin tidak hari ini. Ini sudah dilihat wartawan, pimpinan juga langsung menonton. Saya mau tahu, apa motif di balik ini,†ujarnya.
Meski begitu, Ketua Majelis Hakim memerintahkan JPU mengembalikan buku profil berikut uang 100 dolar AS tersebut. Hakim juga menegur Djoko yang dianggapnya lalai soal uang yang terselip itu. “Kenapa Bapak tidak kontrol dulu? Meski ini kami kembalikan, kami sudah mengerti pesan yang mau disampaikan terdakwa dengan melampirkan profil,†kata Suhartoyo.
Roni akhirnya mengembalikan buku dan uang tersebut kepada Djoko. Tapi, Roni terlebih dahulu memfoto uang dan buku itu, juga mencatat nomor seri dolar AS tersebut sebagai laporan.
Kilas Balik
Djoko Dituntut 18 Tahun Penjara
Bekas Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo dituntut 18 tahun penjara plus uang pengganti sebesar Rp 32 miliar.
Berkas tuntutan terhadap Djoko itu tebalnya hampir tiga ribu halaman. Saat ditumpuk, tingginya sampai dua meter. Djoko sampai terkantuk-kantuk saat jaksa penuntut umum (JPU) KPK membacakan tuntutannya.
“Menuntut supaya majelis hakim menjatuhkan pidana 18 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan,†kata JPU Pulung Rinandoro membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Djoko juga dituntut membayar uang pengganti Rp 32 miliar. Besaran uang pengganti itu sama dengan jumlah uang yang didakwa dikorupsi Djoko dalam proyek pengadaan driving simulator SIM. “Uang pengganti harus dibayarkan satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak, maka harta akan disita dan jika tidak cukup maka diganti pidana penjara 5 tahun,†kata Pulung.
Djoko didakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp 32 miliar, dan memperkaya orang lain atau korporasi dari proyek pengadaan driving simulator SIM pada tahun 2011. Akibat penyimpangan dalam proyek ini, negara mengalami kerugian Rp 144,984 miliar.
Dalam nota pembelaan dirinya (pledoi) Djoko menyatakan bahwa dia hanya lalai mengawasi kinerja anak buahnya yang menjadi panitia pengadaan simulator SIM. Dia mengaku tidak teliti, ada kelemahan manajerial dan kurang pengawasan terhadap unit kerja yang mengurus pengadaan simulator.
“Saya sudah percaya dan tidak lagi memeriksa hasil pekerjaan anggota. Mereka punya kompetensi dan sertifikasi pengadaan, ditambah padatnya jadwal kegiatan saya sebagai Kakorlantas,†kata Djoko saat menyampaikan pledoi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (27/8) lalu.
Jenderal bintang dua ini menampik dakwaan, bahwa dia mengintervensi panitia pengadaan dan menentukan pemenang tender simulator dengan nilai proyek Rp 196,8 miliar tersebut. Menurut Djoko, JPU seolah-olah membebankan tanggung jawab kepada dirinya selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Padahal, katanya, dalam proyek ini belum jelas batas-batas kewenangan KPA.
“Terungkap juga dalam persidangan, saya tidak pernah berhubungan dengan pemenang tender, mengintervensi panitia pengadaan dan menentukan harga perkiraan sendiri,†kata Djoko membela diri.
Laporkan Juga Ke KY
Yesmil Anwar, Dosen Hukum Pidana UnpadPengamat hukum dari Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar mendukung langkah KPK yang akan melaporkan “peristiwa 100 dolar AS†ini ke Mahkamah Agung (MA). Soalnya, hal itu patut diduga mencemari pengadilan.
“Kalau perlu bukan hanya ke MA, tapi juga ke Komisi Yudisial,†saran Yesmil, kemarin.
Yesmil menilai, ditemukannya 100 dolar AS dalam lampiran pledoi adalah fenomena luar biasa, sehingga jangan dianggap remeh. Kejadian itu bukan hanya menjatuhkan wibawa pengadilan, tapi wibawa peradilan secara keseluruhan.
Yesmil menyebut, banyak kejadian contempt of court di Indonesia, namun kadang dianggap biasa oleh masyarakat. Berbeda dengan pengadilan di Amerika atau Eropa, pengadilan di sini cenderung kurang tertib karena tindakan-tindakan yang termasuk kategori
contempt of court.
Contohnya, membuat gaduh saat sidang berlangsung, duduk tidak tertib, atau melakukan kegiatan-kegiatan lain yang tak ada kaitannya dengan sidang. “Paling banyak dilakukan pengunjung memang,†ujarnya.
Dia berharap, dengan dilaporkannya kasus ini, bisa mengembalikan wibawa pengadilan dan peradilan. Bahkan, dia berharap, jika ditemukan unsur kesengajaan uang tersebut diselipkan pihak tertentu, bisa dilakukan sidang perkara contempt of court.
“Nanti bisa saja ada sidang khusus untuk perkara contempt of court ini,†tandasnya.
Yesmil juga berharap, KPK melakukan penyelidikan untuk menemukan motif terselipnya 100 dolar AS itu. Menurutnya, bisa saja ini bukan hanya contempt of court, tapi juga ada unsur tindak pidana.
Lecehkan Pencari Keadilan
Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago meminta KPK melakukan penyelidikan mengenai uang 100 dolar AS dalam lampiran nota pembelaan Irjen Djoko Susilo, terdakwa kasus korupsi pengadaan simulator SIM.
Menurut Taslim, hal tersebut perlu dilakukan untuk mencari motif atau status uang tersebut. Apakah ada unsur kesengajaan atau ketidaksengajaan. “Jangan sampai kasus ini mengambang,†saran Taslim, kemarin.
Taslim khawatir, terselipnya uang tersebut sebagai upaya untuk melecehkan pengadilan. Juga sebagai bentuk pencemoohan kepada majelis hakim atau jaksa penuntut umum. “Ini yang perlu diungkap KPK,†katanya.
Peristiwa terselipnya dolar itu sangat aneh. Banyak kejanggalan. Apakah pledoi itu memang untuk jaksa penuntut umum atau majelis hakim.
“Karena tidak mungkin uang tersebut masuk sendiri ke buku,†ujarnya.
Lebih dari itu, lanjut Taslim, kejadian tersebut bisa melecehkan orang-orang yang mencari keadilan jika memang disengaja. Sebab itu, Taslim menghargai langkah KPK melaporkan kejadian tersebut kepada Mahkamah Agung (MA).
Dia berharap, MA cepat merespons masalah tersebut. “Paling awal, MA perlu meminta penjelasan secara menyeluruh kepada majelis hakim sidang tersebut,†kata politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Hal itu, katanya, untuk mengklirkan kejadian tersebut. Juga sebagai upaya menyetop sangkaan-sangkaan masyarakat atas peristiwa tersebut. Menurutnya, jika tidak diklirkan, masyarakat akan menduga yang tidak-tidak terhadap pengadilan Tipikor.
“Sangkaan masyarakat akan cepat berkembang dan akhirnya membuat buruk citra pengadilan Tipikor, juga KPK,†tandas Taslim. [Harian Rakyat Merdeka]