Kabulnya putusan Peninjauan Kembali (PK) terdakwa Sudjiono Timan ditanggapi Kejaksaan Agung. Sampai kemarin petang, belum ada satu pun jaksa yang menerima salinan putusan PK tersebut.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Ridwan Mansyur menerangkan, perkara nomor 97 PK/Pidsus/2012 atas nama terdakwa Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan diputus 31 Juli 2013. “Amar putusannya, kabul PK,†katanya.
Disampaikan, Ketua Majelis Hakim PK adalah Suhadi. Anggota majelis hakim terdiri dari Andi Samsan Nganro, Abdul Latif, Sophian Martabaya, dan Sri Murwahyuni.
Hanya Sri Murwahyuni yang melakukan disenting opinion. Panitera Pengganti dalam perkara PK ini ialah Juyamto.
Menurut Ketua Majelis Hakim PK Suhadi, dasar putusan kabul dilatari kekeliruan dalam putusan kasasi. Dia membeberkan, putusan kabul PK diambil setelah menimbang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan, perbuatan melawan hukum secara materil tidak bisa diberlakukan. Sebab, hal ini bisa menciptakan ketidakpatutan dan ketidakhati-hatian.
Berdasarkan argumen tersebut, majelis hakim yang memproses PK atas permohonan kuasa hukum terdakwa pun tak menggunakan unsur perbuatan melawan hukum secara materil sebagai dasar memutus perkara Sudjiono Timan.
Pada pertimbangan lainnya, Suhadi menyatakan, unsur kerugian negara dalam putusan kasasi MA hanya mengacu pada prinsip judex factie. Judex factie, menurutnya, hanya berlaku pada perkara perdata yang putusannya adalah lepas atau onslag. Terlebih, sebutnya, perkara asal Sudjiono Timan ini adalah pinjam-meminjam. “Perkara perdata,†tandasnya.
Berdasarkan asal-usul perkara, dia menyimpulkan, unsur kerugian negara akibat pinjam-meminjam di sini, tak bisa diperkirakan nominalnya. Serta, belum bisa dipastikan apakah terdakwa menikmati uang hasil pinjaman sendirian atau bersama orang lain, sehingga patut dikategorikan melakukan korupsi.
Dia menambahkan, pada prinsipnya, sebagai pimpinan BPUI, terdakwa memiliki kewenangan menggunakan uang hasil pinjaman untuk kepentingan usahanya saat itu.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, lanjutnya, MA mengabulkan permohonan PK Sudjiono Timan.
Sudjiono yang sempat diduga mengemplang kredit Rp 369 miliar dan buron ini pun bebas dari ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi mengaku telah mengkonfirmasi informasi kabul PK Sudjiono Timan. Menurutnya, begitu dapat info soal bebasnya bos BPUI tersebut, dia langsung menghubungi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk menanyakan ikhwal salinan putusan PK tersebut.
“Belum ada jaksa yang menerima salinan putusan PK Sudjiono Timan dari MA,†katanya.
Sampai sejauh ini, menurut Untung, status Sudjiono Timan di kejaksaan masih masuk daftar pencarian orang (DPO) alias buronan. “Masih DPO,†tandasnya.
Pada prinsipnya, kejaksaan selaku eksekutor hanya menjalankan amanat undang-undang. Selama belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, pihaknya akan berpegangan pada salinan putusan hukuman yang terakhir.
“Kami berpedoman pada putusan kasasi yang isinya menyatakan terdakwa terbukti bersalah. Jika salinan putusan PK sudah kami terima, otomatis kami mengikuti atau menjalankan isi putusan PK,†katanya.
Kilas Balik
Majelis Kasasi Jatuhkan Hukuman 15 Tahun Sudjiono Timan dianggap menyalahgunakan kewenangan sebagai Direktur Utama PT BPUI. Penyelewengan terjadi tatkala ia memberikan pinjaman uang perusahaannya dan dana pinjaman pemerintah kepada sejumlah koleganya. Akibat tindakannya, Sudjiono didakwa merugikan keuangan negara sekitar Rp 120 miliar dan 98,7 juta dolar Amerika Serikat.
Uang yang dipinjamkan Sudjiono masing-masing tersebar ke Festival Company Inc sebesar 67 juta dolar AS, Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS, dan dana pinjaman pemerintah Rp 98,7 miliar.
Uang itu dipinjamkan kepada BPUI tahun 1993, 1994, 1995, dan 1997. Saat itu, usahanya menunjukkan kemajuan. Masalah terjadi tahun 1998. Kala itu, BPUI terkena dampak krisis dan merugi. Kerugian besar ini membuat BPUI harus menarik uang yang dipinjamkan kepada pihak lain. Namun, pinjaman sulit ditarik.
Pihak bank yang pernah memberi fasilitas pinjaman dana pemerintah pun kewalahan menarik pinjaman dari Sudjiono Timan. Atas perkara ini, Sudjiono pun dijadikan tersangka korupsi.
Sebelum keluar putusan PK, MA pernah mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Pada putusan kasasi, MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 25 November 2002.
Majelis Kasasi perkara Sudjiono Timan ini diketuai oleh Bagir Manan. Anggota majelis hakim kasasi adalah Artidjo Alkostar, Parman Suparman, Arbijoto, dan Iskandar Kamil. Majelis kasasi menyatakan, Sudjiono Timan bersalah karena melakukan korupsi.
MA pun menjatuhi hukuman 15 tahun penjara kepada Sudjiono Timan. Bos BPUI itu juga dikenai kewajiban membayar denda Rp 15 juta serta membayar uang pengganti sebesar 98 juta dollar Amerika atau setara dengan Rp 369.446.905.115.
Tapi, Kejari Jakarta Selatan gagal mengeksekusi Sudjiono Timan. Meski sudah menerima salinan putusan kasasi pada 12 Desember 2004, jaksa menemui kesulitan mengeksekusi Sudjiono. Ketua tim eksekusi, Sri Yatmi menerangkan, pihaknya baru sebatas membuat surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan dan berita acara eksekusi.
Kajari Jakarta Selatan saat itu, Sukamto mengaku sudah memerintahkan tim eksekutor untuk memerintahkan pelaksanaan eksekusi. “Kalau memang hari ini bisa, kami laksanakan,†katanya.
Pengiriman salinan putusan kasasi MA kepada Sudjiono pun sempat bikin Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bingung. Penyebabnya, alamat Sudjiono yang tertera dalam salinan putusan dibantah warga setempat. Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang masih dijabat Yunda Hasbi, waktu itu menjelaskan, stafnya mengantar salinan putusan kasasi ke jalan Prapanca Nomor 6 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Namun, warga menyatakan Sudjiono tidak tinggal di situ. “Staf Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanya orang, katanya itu bukan rumah Sudjiono,†kata Yunda.
Salinan kasasi juga mencantumkan alamat lain Sudjiono, yakni di Jalan Diponegoro Nomor 46. Tapi, kata Yunda, rumah itu dihuni mertua Sudjiono. Sedangkan dalam salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor 1440/ Pid.B/2001/PN.
Jaksel mencantumkan alamat Sudjiono di Jalan Prapanca nomo 3/PI Kebayoran Baru, Pulo, Jakarta Selatan dan Jalan Diponegoro Nomor 46 Jakarta Pusat.
Akibat kerancuan alamat tersebut, salinan surat putusan kasasi itu belum diterima Sudjiono. Salinan itu sempat tertahan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Meski begitu, menurut Yunda, hal itu tidak jadi masalah penting.
“Tugas kami hanya menyampaikan petikan putusan itu kepada jaksa dan terpidana, dan jaksa tetap dapat lakukan eksekusi.â€
Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri pernah memeriksa tiga polisi yang diduga membantu pembuatan perpanjangan paspor tersangka Sudjiono Timan, Pemeriksaan dilakukan di Mabes Polri, Senin 13 Desember 2004.
“Pemeriksaan dari Kamis, hari Jumat sampai diperiksa lebih mendalam,†kata Kadivpropam Polri saat itu Irjen Supriyadi.
Terpidana Buron Tidak Bisa PKAlfon Kurnia Palma, Ketua YLBHIKetua LSM Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alfon Kurnia Palma menilai, putusan bebas untuk bos PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan dalam perkara dugaan kredit fiktif, merupakan preseden buruk bagi peradilan di Indonesia.
Menurut Alfon, putusan peninjauan kembali (PK) tersebut sangat kontradiktif dengan semangat pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Padahal, kata dia, sebagai lembaga hukum tinggi negara, Mahkamah Agung (MA) seharusnya menjadi benteng terakhir sekaligus ujung tombak semangat pemberantasan korupsi.
“Dengan adanya putusan PK ini, terlihat tidak ada itikad baik dari Mahkamah Agung dalam memerangi korupsi,†kata Alfon, kemarin.
Alfon pun menyatakan heran pada putusan majelis hakim PK yang dipimpin Hakim Agung Suhadi tersebut. Menurutnya, kerugian negara yang diakibatkan Sudjiono Timan sangat besar, mencapai Rp 369 miliar. Bahkan, Sudjiono buron. Sehingga, katanya, putusan bebas tersebut sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.
“Akibatnya sangat fatal, lembaga hukum yang sudah tidak dipercaya masyarakat, akan semakin tidak dipercaya,†tegasnya.
Bahkan, menurut Alvon, putusan PK tersebut tidak sejalan dengan surat edaran yang dibuat Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali pada awal 2012. Dalam surat itu, lanjutnya, disebutkan bahwa permintaan PK hanya bisa diajukan kuasa hukum yang dihadiri terpidana.
“Jadi, pengajuan PK dalam kasus yang terpidananya buron, seharusnya ditolak dari awal. Termasuk untuk kasus ini,†tandasnya.
Aneh, Terpidana Buron Tapi Ada PKEva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyesalkan majelis hakim yang memutus bebas Sudjiono Timan dalam sidang Peninjauan Kembali (PK).
Menurut Eva, aneh ketika kasus yang terpidananya buron, berujung pada pengabulan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung (MA). Menurut dia, kasus yang terpidananya buron semestinya tidak bisa di-PK, karena terpidananya tidak melaksanakan putusan hukum pada tingkat sebelumnya.
“Saya sangat prihatin pada putusan ini. Kok bisa seorang buronan, kasusnya di-PK dan diterima, bahkan dikabulkan,†tegas politisi PDIP ini, kemarin.
Eva mengingatkan, putusan bebas majelis hakim PK ini sangat kontradiktif dengan putusan majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memvonis Sudjiono dengan hukuman 15 tahun penjara dan diwajibkan mengganti uang Rp 369 miliar.
“Padahal putusan sebelumnya itu dari MA sendiri, bukan dari putusan pengadilan negeri atau yang lain,†tandasnya.
Dengan putusan tersebut, kata Eva, Ketua MA Hatta Ali harus menjelaskan kepada masyarakat bagaimana proses putusan bebas tersebut dikeluarkan. Apalagi, nilainya, putusan tersebut menciderai rasa keadilan masyarakat.
Eva menilai, penjelasan Ketua Majelis Hakim Suhadi dalam pertimbangan putusan PK itu kurang bisa menjawab rasa keadilan masyarakat. “Memang perdata, tapi aspek-aspek apa hingga putusannya bebas, itu yang harus dijelaskan,†sarannya.
Menurut politisi PDIP ini, putusan tersebut terasa janggal. “Apalagi, proses PK tersebut akuntabilitasnya rendah, bahkan terkesan diam-diam,†kata Eva.
Eva menghormati putusan hakim, apalagi terhadap hakim agung Sri Murwahyuni yang memilih disenting opinion atau berbeda pendapat dengan empat hakim agung lainnya. “Tapi, perlu penjelasan agar masyarakat tidak menduga ada penyalahgunaan kekuasaan dalam putusan tersebut,†sarannya. [Harian Rakyat Merdeka]