Berita

ilustrasi

Kemendikbud & Kemenag Tidak Kompak Soal Kurikulum 2013

Tahun Ajaran Baru, Guru Bingung
MINGGU, 28 JULI 2013 | 09:38 WIB

Penerapan kurikulum 2013 rupanya masih menjadi polemik. Buktinya, sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama belum menerapkan kurikulum 2013 yang sedianya dilaksanakan 15 Juli, lalu.

Belum dilaksanakannya kurikulum 2013 oleh Kemenag diperkuat dalam surat edaran Dirjen Pendidikan Islam Kemenag tentang Implementasi Kurikulum 2013 pada Madrasah. Kemenag akan melaksanakan kurikulum 2013 untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (Mts) dan Madrasah Aliyah (MA) mulai tahun ajaran 2014/2015.

Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan mengatakan, keputusan Kemenag ini merupakan keputusan yang bagus, karena Kurikulum 2013 dipersiapkan dengan terburu-buru. “Sebetulnya banyak walikota dan bupati yang menolak karena pelaksanaan Kurikulum 2013, bukunya saja belum ada, guru juga belum siap, apalagi kurikulum baru ini terlalu dipaksakan padahal pendidikan bukan ajang main-main,” katanya saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin.


Menurutnya, pendidikan betul-betul harus dipersiapkan secara matang. Namun, saat ini banyak kejadian di daerah-daerah di mana sekolah-sekolah dipaksa menandatangani surat kesiapan untuk melaksanakan kurikulum 2013. “Guru-guru juga dipaksa, apalagi sekarang sudah masuk tahun ajaran baru,” ungkapnya.

Akibatnya, guru masih bingung mau mengajar apa dengan kurikulum baru ini, apalagi buku untuk kurikulum ini belum ada dan guru belum mengikuti penataran kurikulum baru. Penundaan pelaksanaan Kurikulum 2013 oleh Kemenag, sebutnya, adalah hal yang tepat. “Semestinya dengan adanya otonomi daerah, pemerintah kota dan kabupaten harusnya ikut menunda pelaksanaan Kurikulum 2013,” imbuhnya.

Mengenai keputusan Kemenag yang berbeda dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) soal kurikulum baru ini, dia menilai permasalahan ada di Kemendikbud. “Jadi intinya Kemendikbud terlalu memaksakan kurikulum baru, tapi Kemenag tidak mau, kalau yang diatas saja tidak kompak bagaimana yang dibawahnya, yang pasti hasilnya nggak bakalan benar, sesuatu yang dilaksanakan terburu-buru hasilnya tidak akan bagus,” terangnya.

Dia juga memperkirakan, dikemudian hari akan banyak persoalan yang akan dihadapi kurikulum baru tersebut. meski Kurikulum 2013 hanya diterapkan oleh sekolah-sekolah yang ditunjuk pemerintah, banyak sekolah yang memaksakan diri untuk menerapkan kurikulum ini.

“Persoalannya, sekolah-sekolah itu takut kualitasnya tertinggal dengan sekolah yang sudah menerapkan kurikulum baru, selain itu dana bantuannya juga akan berbeda, ini juga akan berdampak pada tiga tahun mendatang, terutama dalam hal kriteria kelulusan, tentu ada perbedaan kriteria Kurikulum 2013 dengan kurikulum yang sebelumnya dalam hal kriteria kelulusan,” jelasnya.

Selain itu, guru-guru juga mengeluhkan penerapan kurikulum yang terburu-buru. “Guru-guru mengeluh karena mereka belum siap apalagi mereka belum ditatar, pelatihan kurikulum baru juga tidak efektif karena hanya menjadi ajang kumpul-kumpul ngobrol soal kurikulum, kalau nggak ngerti yah pulang saja,” keluhnya.

Sebelumnya, Kementerian Agama memutuskan untuk menunda pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah dibawah naungannya. Sekolah-sekolah tersebut antara lain MI, MTs dan MA.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenag Bahrul Hayat mengaku, pihaknya memutuskan akan menerapkan Kurikulum 2013 mulai tahun ajaran 2014.

Artinya di sekolah-sekolah tersebut Kurikulum 2013 tidak dilaksanakan tahun ini, karena waktu yang belum memungkinkan.

“Direktorat Jenderal Pendidikan Islam telah mengeluarkan Surat Edaran untuk para Kakanwil tentang kesiapan menerapkan Kurikulum 2013 pada tahun ajaran 2014. Kita tidak ingin buru-buru, tapi kini kami tengah melakukan persiapan,” katanya.

UU Bantuan Hukum Belum Direalisasikan

Hak Keadilan Rakyat Miskin Masih Terabaikan

Masih banyaknya rakyat miskin yang belum dapat mengakses bantuan hukum turut menjadi sorotan dari Presiden SBY. Presiden juga mengingatkan agar para penegak hukum dari berbagai lembaga dapat mendorong peningkatan akses pemberian bantuan hukum kepada masyarakat.

Namun, Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma menyatakan UU No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum belum sepenuhnya diimplementasikan. Menurutnya, fakta yang terjadi di masyarakat seringkali menunjukkan rakyat miskin belum bisa mengakses bantuan hukum.

“Pasti rakyat miskin itu mengalami kasus-kasus hukum yang kecil, apalagi mereka jarang didampingi oleh penasehat hukum,” katanya saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.

Kalangan miskin yang memiliki pengetahuan awam soal hukum bisa kehilangan hak-haknya akibat tidak bisa mengakses bantuan hukum.

Dia menilai pernyataan Presiden SBY itu benar adanya, di mana peningkatan akses bantuan terhadap masyarakat miskin harus didorong demi pemenuhan hak-hak warganegara. Menurutnya, UU nomor 16 tahun 2011 belum diimplementasikan secara utuh.

“Aturan itu belum diimplementasikan, yang baru dilakukan hanyalah penandatanganan kontrak dan pakta integritas,” tandasnya.
 
Dia menyebutkan, UU itu merupakan momentum bagi rakyat miskin dalam meminta hak-haknya untuk mendapatkan bantuan hukum yang dibiayai oleh negara.

“Ini merupakan suatu babak baru setelah sebelumnya negara tidak mempunyai peraturan untuk memberikan dan mengalokasikan dana untuk bantuan hukum, jadi ini juga terkait dengan permasalahan implementasi Undang-Undang yang ada,” terangnya.

Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik Agustinus Edy Kristianto mengatakan, ada dua hal yang perlu disorot jika negeri ini benar-benar serius memperhatikan pemenuhan hak rakyat miskin mendapatkan keadilan.

Pertama, memurnikan peran advokat dan komitmennya. Kedua, langkah konkrit negara untuk menata sistem bantuan hukum yang dijamin oleh undang-undang. “Setiap advokat harus memberikan segala daya, biaya, dan upayanya untuk sungguh-sungguh memberikan bantuan hukum kepada orang miskin,” tegasnya.

Di sisi lain, kata Agustinus, negara juga perlu menjamin hak atas bantuan hukum bagi orang miskin itu dalam suatu undang-undang. Jaminan dalam undang-undang akan memberikan kepastian dan kejelasan mekanisme pemberian dan pembiayaan bantuan hukum bagi orang miskin. “Inilah bukti keseriusan negara berpihak pada keadilan dan orang miskin,” katanya.

Dia menilai, adanya alokasi dana tak berarti selesai semua persoalan bantuan hukum. Dalam prakteknya perlu sekali kesungguhan, keseriusan, dan kebersihan setiap elemen pendukung, supaya dana dan upaya tersebut tepat sasaran kepada orang miskin yang membutuhkan keadilan.

“Afrika Selatan misalnya, merasa perlu membentuk sebuah komisi atau perhimpunan independen yang mengelola dana bantuan hukum, mendistribusikan kepada pekerja bantuan hukum, mengawasi, dan melaporkannya kepada parlemen sebagai bentuk pertanggungjawaban publik,” tuturnya.

Sebelumnya, dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Bantuan Hukum di Istana Negara, Jakarta, Presiden SBY mengingatkan bahwa keadilan adalah hak setiap warga negara. Keadilan tidak lagi hanya untuk mereka yang memiliki uang dan kekuasaan, melainkan juga untuk rakyat tidak mampu atau tergolong miskin.

“Melalui Rakernas Bantuan Hukum, kita wujudkan akses terhadap keadilan, yang menjadi tema Rakernas kali ini, saya nilai tepat dan relevan. Tepat, karena bantuan hukum sangat diperlukan oleh masyarakat yang memiliki atau terlibat dalam masalah hukum,” katanya, Jumat (26/7).

Selesai Kuliah, Kerja Di Sektor Profit 
Fransisca Fitri, Direktur Eksekutif YAPPIKA

Peran serta masyarakat sipil dalam mengawal jalannya demokrasi sangat dibutuhkan. Apalagi, pemerintah dan masyarakat memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai suatu kebijakan.

Atas dasar itulah, Direktur Eksekutif YAPPIKA Fransisca Fitri tergugah untuk mengawal dan memperjuangkan hak-haknya. Perempuan yang kerap disapa Iko ini sudah memiliki pengalaman berorganisasi ketika menimba ilmu di Institut Teknologi Bandung.

Saat kuliah di jurusan Biologi di kampus tersebut, dia sempat aktif di organisasi himpunan mahasiswa. “Setelah lulus kuliah saya sempat bekerja di sektor profit, jadi saya bekerja di sektor masyarakat sipil baru saat masuk ke YAPPIKA,” katanya saat berbincang dengan Rakyat Merdeka.

Pilihannya untuk aktif di organisasi masyarakat sipil turut didukung oleh keluarganya. “Keluarga sangat mendukung pilihan saya karena pilihan bekerja disini sebenarnya tidak ada bedanya dengan bekerja dimana pun, disini ada nilai-nilai yang kita praktekkan dan ada visi juga yang mau kita capai,” terangnya.

Keikutsertaannya di YAPPIKA bermula saat dia sering membantu organisasi ini dalam hal-hal teknis. “Awalnya saya membantu untuk bikin notulensi ketika pertemuan-pertemuan dan itu terus berlanjut, lama-lama saya semakin tertarik dengan aktivitas yang dilakukan lalu kemudian saya melamar di YAPPIKA,” ceritanya.

Disana dia memulai karirnya dari jenjang bawah, mulai di divisi riset sampai menjadi manajer dan diretur eksekutif. Selain di YAPPIKA, dia juga menjadi koordinator untuk beberapa jaringan advokasi. “Salah satunya jaringan advokasi dalam isu pelayanan publik yang namanya Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3), jaringan ini berdiri tahun 2006. Dulunya jaringan ini memang khusus untuk mengawal RUU Pelayanan Publik, anggotanya sangat banyak di Jakarta saja ada 39 organisasi dan sejumlah akademisi yang menjadi anggotanya,” jelasnya.

Setelah UU Pelayanan Publik disahkan, kegiatan jaringan ini berubah menjadi pengawal pelaksanaan UU tersebut. “Seperti yang kita tau, banyak undang undang yang disahkan tapi pelaksanaannya itu sering lambat atau terjadi penyimpangan,” imbuhnya.

Dia juga terlibat lansung dalam melakukan advokasi dan pengawalan terhadap Undang-Undang lainnya. “Saya juga koordinator di Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) yang menolak UU Ormas, saat ini kami juga tengah melakukan persiapan untuk judicial review UU Ormas ini,” ujarnya.

Urusan Transportasi Perlu Dibenahi
Swasta Rame-rame Gelar Mudik Gratis

Peneliti Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Ellen SW Tangkudung mengkritisi program mudik gratis yang diadakan sejumlah perusahaan besar. Selain hanya untuk promosi, cara ini dinilai hanya bersifat sementara.

“Program mudik gratis menunjukkan kegagalan pembinaan transportasi darat kita,” ujarnya.

Ellen mengakui, inisiatif pengusaha melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dengan memberikan fasilitas untuk pemudik secara gratis memang menolong masyarakat. Tapi, hal ini bukan solusi jangka panjang untuk memperbaiki budaya masyarakat yang kerap mengabaikan keselamatan bertransportasi.

“Hanya merupakan pemecahan yang bersifat ad-hoc dan mengandung unsur promosi,” lanjutnya.

Karena itu, menurut MTI, pemerintah perlu membuat peraturan bahwa mudik gratis yang dilakukan pengusaha swasta itu disalurkan dengan memanfaatkan bus yang selama ini melayani penumpang dalam trayek. Cara yang di lakukan, lanjutnya, bisa dengan memberikan voucher gratis bagi pemudik. “Menggunakan voucher gratis untuk naik bus reguler yang dipesan di terminal, sehingga makna transportasinya lebih terasa dari pada seremonialnya,” tuturnya.

Lanjutnya, dengan memanfaatkan bus reguler untuk layani mudik lebaran secara gratis, maka akan terjadi saling memberi bantuan antara pengusaha dengan pengusaha bus. “Di satu sisi bus reguler tetap dapat penumpang, dan di sisi lain peran pemerintah untuk membina angkutan dapat berjalan baik,” jelasnya.

Selain itu,  menurutnya, para pengusaha jug diharapkan tidak memberikan fasilitas mudik gratis untuk pemberangkatan saja, tapi juga kepulangan. “Ketika berangkat dibayarin, tapi pulangnya tidak, maka yang timbul arus pulang jauh lebih besar di banding pemberangkatan,” tegasnya.

Ajun Komisaris Besar Budianto, Kepala Bagian Operasi Ditlantas Polda Metro Jaya, menjelaskan untuk sementara sudah 15 perusahaan yang diketahui sudah mendaftar dan terdata oleh pihaknya. “Ada sekitar ribuan bus yang disiapkan dari 15 perusahaan yang menggelar mudik bareng gratis ini,” katanya.

Untuk data tahun lalu, tercatat juga ada 15 perusahaan yang menggelar mudik bareng gratis dengan bus yang disiapkan sebanyak 1.300 bus. [Harian Rakyat Merdeka]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya