Laporan Ke KPK Januari Hingga Juni 2013Sepanjang Januari hingga Juni tahun 2013, KPK menerima 623 laporan gratifikasi atau hadiah. Dari laporan itu, ada 37 barang gratifikasi yang sudah diputuskan KPK milik negara. Barang-barang yang sudah diputuskan KPK sebagai milik negara itu, kemudian dikirim KPK ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan.
Dari 37 barang itu, satu di antaranya adalah gitar bass listrik yang diberikan kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi. Bass itu semula milik pembetot bass band Metallica, Robert Trujillo. Pada 6 Mei lalu, anak buah Jokowi, Heru Budi melaporkan bass itu ke KPK. KPK kemudian menaksir bass itu senilai Rp 8,5 juta. Bass itu sudah dikirim KPK ke Ditjen Kekayaan Negara.
Nah, barang gratifikasi termahal yang dilaporkan ke KPK pada semester I tahun 2013 adalah gitar bass untuk Jokowi. Di bawahnya, ada smartphone BlackBerry Bold 9900 seharga Rp 8 juta.
Barang gratifikasi lainnya yang dilaporkan ke KPK sangat beragam. Mulai dari alat telekomunikasi, cindera mata, pakaian, voucher belanja, sampai aksesoris.
Contoh barang gratifikasi itu adalah tas kulit, jam tangan, voucher belanja, kalung mutiara, kain batik dan lain-lain. Harga barang itu pun beragam. Mulai dari jam tangan seharga Rp 150 ribu sampai Rp 1,5 juta (lihat tabel).
Contoh barang gratifikasi lainnya ada voucher belanja senilai Rp 2 juta, namun sudah dimanfaatkan sebesar Rp 500 ribu. Karena barang tersebut sudah diputuskan KPK sebagai milik negara, akhirnya pelapor diminta mengganti uang senilai voucher yang sudah dibelanjakan itu ke kas negara.
Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo, barang-barang tersebut diperoleh pelapor melalui berbagai macam cara. “Ada yang lewat pemberian kawinan, ada hadiah untuk anaknya, macam-macam,†katanya, kemarin.
Para pelapor gratifikasi biasanya datang sendiri ke Gedung KPK di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, untuk menyerahkan barang tersebut. Ada juga yang diwakili dan barangnya pun tidak dibawa.
Namun, lanjut Johan, setiap pelapor harus mengisi formulir yang setidaknya mencantumkan nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi. Data lain yang wajib diisi adalah tempat dan waktu penerimaan gratifikasi, uraian jenis gratifikasi yang diterima, serta nilai gratifikasi yang diterima.
KPK, jelas Johan, punya waktu 30 hari untuk menindaklanjuti atau memproses setiap laporan gratifikasi. Apakah barang tersebut milik penerima atau milik negara. “Tapi, biasanya bisa lebih cepat dari itu,†ujarnya.
Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dilakukan KPK untuk memproses laporan gratifikasi. Terutama untuk menentukan dan mempertimbangkan status kepemilikan barang gratifikasi. Apakah milik negara atau penerimanya.
KPK melakukan analisa terhadap motif gratifikasi tersebut, serta hubungan pemberi dengan penerimanya. Ini dilakukan untuk menjaga agar penetapan status gratifikasi dapat seobyektif mungkin. “Jika dibutuhkan, KPK juga memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan,†tuturnya.
Setelah itu, status kepemilikan diputuskan pimpinan KPK. Soalnya, pimpinan KPK yang memiliki wewenang untuk menetapkan status kepemilikan gratifikasi. Keputusan itu berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi, bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik negara. “Jika milik negara, KPK punya waktu tujuh hari setelah SK keluar untuk diteruskan ke Menkeu,†ucap Johan.
Tidak setiap gratifikasi menjadi tindak pidana korupsi. Gratifikasi berubah menjadi pidana suap, khususnya kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri adalah pada saat mereka menerima gratifikasi dari pihak manapun yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.
Johan menambahkan, setiap pemberian berpotensi korup. Lantaran itu, dia menyarankan, berapa pun nilai gratifikasi yang diterima penyelenggara negara atau pegawai negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan atau kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya dilaporkan ke KPK untuk dianalisa.
Kilas Balik
Cincin Untuk Mahfud MD Terjual 8,5 Juta Rupiah
KPK rutin menyetor barang gratifikasi ke Ditjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan. Setelah itu, barang-barang tersebut dilelang Ditjen Kekayaan Negara.
Pada 18 juni 2012 misalnya, ada 58 barang gratifikasi yang dilelang Ditjen Kekayaan Negara. Salah satu barang yang jadi incaran peserta lelang adalah satu set perhiasan emas yang diserahkan Mahfud MD ke KPK, sewaktu dia masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Terdiri dari satu kalung, satu gelang, dan dua cincin.
Perhiasan itu pemberian Ketua PWNU Riau Badar Ali Majid kepada Mahfud. Barang itu dilelang dengan harga pembukaan Rp 7.550.000. Pengusaha travel haji dan umrah Ali Abdullah berhasil menyisihkan 47 peserta lelang. Dia mendapatkan satu set perhiasan itu setelah menawar Rp 8,5 juta.
Dalam lelang pada pertengahan tahun lalu, dari 58 barang yang ditawarkan, ada dua yang tidak laku. Alhasil, dana yang terkumpul dari 56 item yang terjual hanya Rp 45,92 juta. Jumah ini di atas target yang diharapkan, yakni Rp 36,607 juta.
Tahun lalu, Ditjen Kekayaan Negara juga menggelar lelang barang gratifikasi pada 11 Desember 2012. Dalam waktu 1,5 jam, terjual 19 barang yang totalnya sebesar Rp 142 juta. Dari 20 barang yang dilelang, hanya satu barang yang tidak laku, yakni selendang merek Hermes Original.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto mengatakan, lelang ini untuk mendukung KPK. Seluruh hasilnya, baik pokok lelang maupun bea lelang telah disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Gratifikasi itu dilaporkan penyelenggara negara dari berbagai instansi negara. Misalnya, pada periode 1 Januari-30 Juni 2013, KPK menerima 623 laporan gratifikasi.
Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo menguraikan, berdasarkan laporan yanf masuk, yang paling banyak melaporkan gratifikasi adalah unsur BUMN dan BUMD, yaitu 486 laporan. Disusul dari lembaga eksekutif sebanyak 114 laporan.
Rincian lembaga eksekutif adalah, Kementerian Koordinator dua laporan, Kementerian 36 laporan, Kementerian Negara 2 laporan, setingkat Kementerian 8 laporan, Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) 16 laporan, lembaga ekstra struktural 9 laporan, dan dari unsur pemerintah daerah (Pemda) 41 laporan.
Dari lembaga legislatif (MPR/DPR) KPK menerima 13 laporan, lembaga yudikatif 2 laporan, dan lembaga independen sebanyak 8 laporan.
Johan menambahkan, setiap laporan gratifikasi masuk melalui Direktorat Gratifikasi di bawah Deputi Pencegahan. Kemudian, laporan tersebut ditindaklanjuti untuk ditentukan statusnya. Penentuan status tersebut diputuskan pimpinan KPK, apakah gratifikasi tersebut milik penerima, negara atau sebagian milik negara.
Dari 623 laporan gratifikasi yang masuk ke KPK itu, yang berstatus milik penerima ada 25 laporan, milik negara sebanyak 84 laporan, dan sebagian milik negara 36 laporan. Sementara yang masih dalam proses sebanyak 141 buah, dan dikirimi surat sebanyak 337 buah.
Menurut Johan, dikirimi surat artinya KPK sudah melakukan klarifikasi ke pelapor, tapi laporan gratifikasi belum mempunyai status. “Nanti pimpinan KPK yang putuskan, apakah milik negara atau milik penerima,†kata Johan di Gedung KPK.
Johan menjelaskan, laporan pemberian yang termasuk gratifikasi itu bisa berbagai macam. Meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Ada Gratifikasi SeksOce Madril, Peneliti Pukat UGMPeneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Oce Madril mengimbau penyelenggara negara untuk melaporkan setiap pemberian yang mengarah kepada gratifikasi.
Menurut Oce, gratifikasi dalam bentuk uang, properti, mobil dan barang mewah lainnya juga banyak. “Yang jadi masalah adalah jika ada penyelenggara negara menerima gratifikasi, dia tidak mau melaporkan dan cerita,†katanya, kemarin.
Oce berharap, KPK meluaskan makna gratifikasi dan cara penindakannya. Kata dia, salah satu yang mesti diupgrade cara penindakannya adalah gratifikasi pelayanan seks. Sejatinya gratifikasi tidak mesti berbentuk uang tunai, namun bisa juga berupa kesenangan.
Untuk itu, kata dia, Indonesia mesti belajar dari Singapura yang telah menerapkan hukuman mengenai gratifikasi dalam bentuk pelayanan seks.
“Selama ini tidak pernah terungkap, karena hanya dijadikan pelengkap. Pelayanan seks merupakan gratifikasi pelengkap untuk mempengaruhi pejabat negara terkait proyek di pemerintahan,†tandasnya.
Pelayanan seks, menurutnya, termasuk imateril sehingga tidak bisa diukur dengan tolak ukur fisik pembuktiannya. Kendati demikian, KPK bisa memaksimalkan kewenangan penyadapannya. “Ini mungkin pembuktiannya sulit, tapi kewenangan penyadapan KPK bisa digunakan,†sarannya. [Harian Rakyat Merdeka]