Berita

Inilah Indonesia, Bangsa Yang Kehilangan Martabat...

JUMAT, 21 JUNI 2013 | 15:44 WIB | OLEH: BATARA R. HUTAGALUNG

PADA 7 Juni 2013, di Stadion Utama di Senayan, Jakarta, diselenggarakan pertandingan sepakbola antara tim nasional Republik Indonesia melawan tim nasional Belanda. Tim nasional Indonesia mengenakan kostum berwarna putih-hijau, dan tim nasional Belanda mengenakan kostum nasionalnya berwarna oranye. Menteri Pemuda dan Olahraga RI Roy Suryo juga hadir, dan turun ke lapangan untuk menyalami seluruh pemain

Hasil akhir: tim nasional Indonesia kalah 0-3. Fakta di lapangan!

Pecinta sepakbola di seluruh dunia mengetahui peraturan internasional, bahwa tuan rumah berhak menentukan warna kostum yang akan dikenakan oleh timnya, baik itu sebagai klab atau tim nasionalnya. Dan tentunya untuk satu bangsa, sebagai tuan rumah, adalah suatu kebanggaan untuk mengenakan kostum nasional, yang warnanya biasanya sesuai dengan bendera nasional atau ciri-ciri bangsanya.

Rakyat Indonesia mengetahui, bahwa warna kostum tim nasional Indonesia adalah merah-putih, dan pecinta sepakbola di seluruh dunia mengetahui, bahwa warna kostum tim nasional Belanda adalah oranye, sesuai dengan ciri-ciri kerajaan Belanda, yaitu wangsa oranye (oranien).

Promotor yang mengatur pertandingan adalah perusahaan yang bernama Nine Sports. CEO Nine Sports mengakui, bahwa dia membuat kesepakatan dengan Federasi Sepakbola Belanda (KNVB), di mana dia menyetujui tim nasional Belanda menggunakan kostum dengan warna tim nasionalnya, yaitu oranye. Alasannya semata-mata untuk tujuan komersial, yaitu mencari uang. Dia menyatakan, bahwa tindakannya ini telah dikonsultasikan dengan pegurus PSSI.

Oleh karena itu, melihat fakta di lapangan sepakbola, secara kasat mata terlihat oleh pecinta sepakbola, bahwa Belanda adalah tuan rumah di Stadion di Jakarta. Baik komentator maupun pendukung timnas Indonesia tidak dapat menyebutkan kalimat yang selalu diucapkan apabila timnas Indonesia berlaga, yaitu mendukung Tim Merah-Putih!

Kelihatannya ini adalah hal yang sepele, hanya suatu pertandingan sepakbola antara dua negara. Namun apabila ditinjau lebih dalam, ini adalah masalah yang sangat mendasar, ini adalah masalah martabat bangsa. Kemudian, apabila diteliti lebih dalam lagi masalah yang ada antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda, ini adalah masalah politik yang tidak diselesaikan selama lebih dari 62 tahun, sejak 17 Agustus 1950, yaitu sejak diyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masalahnya: Hingga detik ini, 2013, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui secara de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika dilakukan penyerahan kewenangan (soevereniteitsoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah Nederlands Indië (India Belanda).

Pengakuan CEO Nine Sports, promotor yang mengatakan alasannya menyetujui Belanda menggunakan kostum dengan warna yang sesuai dengan identitas bangsanya hayalah untuk mencari uang bukan hanya sangat mengejutkan, melainkan sangat mengerikan untuk bangsa Indonesia: Uang lebih penting dari martabat bangsa!

Merah-putih adalah warna bendera nasional Republik Indonesia, dan juga warna kostum tim nasional sepakbola. Kelihatannya, Belanda bukan hanya tidak mau melihat bendera merah-putih, bahkan di lapangan sepakbola pun Belanda tidak mau melihat warna merah-putih. Dengan menggunakan kostum nasionalnya, secara simbolis Belanda menunjukkan bahwa Belanda masih menjadi tuan rumah di Indonesia.

Oleh karena itu, kekalahan tim nasional RI 0-3 dari tim nasional Belanda, juga berarti kekalahan bangsa Indonesia 0-3 terhadap Belanda berupa kekalahan di lapangan sepakbola, kekalahan politis, dan kehilangan martabat bangsa.

Sikap yang ditunjukkan oleh CEO Nine Sports ini adalah cerminan dari sikap banyak orang Indonesia pada saat ini, yaitu tidak lagi peduli terhadap martabat bangsa. Sikap masyarakat seperti ini memaparkan dengan gamblang kegagalan selama ini dalam upaya membangun bangsa (nation building) dan membangun jatidiri bangsa (character building), sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan para pendiri negara.

Yang lebih memalukan lagi adalah, yang terlihat di lapangan sepakbola - untuk mereka yang mengetahui peraturan internasional untuk sepakbola- bahwa bangsa ini tidak mempunyai martabat, demi memperoleh uang!

Belanda, tanpa perlu mengucapkan atau menulis apapun, berhasil menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa: “Aku Tuan Rumah di Sini!” Belanda menunjukkan kepada dunia internasional, bahwaBelanda tetap “berkuasa” di Bumi Nusantara.

Sampai detik ini, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Semua lembaga tinggi/anggota lembaga tinggi di Republik Indonesia mengetahui hal ini: Pemerintah Republik Indonesia, MPR RI, DPR RI, DPD RI, Mahkamah Konstitusi RI, Lemhanas RI, demikian juga Legiun Veteran RI serta sejumlah Angkatan ‘45, namun semua membiarkan sikap Belanda, dan tidak satupun yang mempertanyakan hal ini.

Pada 16 Agustus 2005 Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta mengatakan, bahwa kini (2005) pemerintah Belanda menerima de facto proklamasi 17 Agustus 1945. Artinya, sampai 16 Agustus 2005, untuk pemerintah Belanda, NKRI tidak eksis samasekali. Tidak satupun yang menanggapi penghinaan besar terhadap martabat bangsa!

Sangat aneh, apabila ada dua negara yang menyatakan mempunyai hubungan diplomatik, namun negara yang satu tidak mengakui de jure negara yang lain. Pengakuan de jure adalah masalah martabat bangsa.

Pers nasional? Mungkin hampir semua juga mengetahui hal ini, tetapi hanya media cetak yang memberitakan, namun tidak satupun media TV dan radio yang mau membuat tema ini menjadi tema untuk diskusi atau perdebatan. Kelihatannya untuk media TV dan radio, martabat bangsa bukan tema yang menarik atau seksi untuk dibicarakan! [***]

Penulis adalah Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya