Berita

Soetrisno Bachir

X-Files

Soetrisno Bachir Tidak Tahu Ditransfer Adik Ipar Rp 1,25 M

Sidang Kasus Korupsi Pengadaan Alkes
JUMAT, 21 JUNI 2013 | 08:57 WIB

Bekas Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir menjadi saksi perkara korupsi pengadaan alat kesehatan tahun 2006. Ada keterangan dalam BAP yang diingkarinya. 

Berbatik lurik coklat lengan panjang, sejak siang Soetrisno sudah tiba di Pengadilan Tipikor Jakarta. Nama Soetrisno disebut dalam persidangan soal duit Rp 1,4 miliar yang masuk ke rekening pribadi dan perusahaannya.

Staf pemasaran PT Heltindo International, Nuki Syahrun dalam sidang pada Senin (17/6) lalu, mengakui pernah mengirimkan uang total Rp 1,4 miliar ke Soetrisno. Duit yang dikirim ini berasal dari fee yang diterima Nuki dari pengurusan penyediaan alat kesehatan (alkes) X ray.


Menurut Nuki, uang yang dikirim adalah pembayaran utangnya ke Soetrisno. “Utangnya Nuki banyak, nggak tahu jumlahnya berapa. Nuki itu ipar saya, pinjam dalam urusan bisnis,” kata Soetrisno di luar ruang sidang.

Pukul 15.15 WIB, setelah hakim memeriksa dua saksi dari Kementerian Kesehatan, Soetrisno dapat giliran bersaksi bagi terdakwa Ratna Dewi Umar, Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar.

Di depan majelis hakim yang diketuai Nawawi Polongan itu, Soetrisno mengaku tak tahu menahu soal proyek pengadaan alkes di Kemenkes tahun 2006 itu.

Soetrisno mengakui pernah menerima dana transfer dari Nuki, yang diakuinya sebagai adik iparnya. Dua kali dia menerima transferan dana. Pertama, Rp 222,5 juta dikirim ke rekening pribadinya.

“Setelah saya tanya ke direksi, itu mengembalikan pinjaman Nuki kepada kami,” beber Soetrisno saat ditanya untuk apa transfer tersebut dilakukan.

Transfer kedua Rp 1,25 miliar ke rekening perusahaan Soetrisno, PT Selaras. Soetrisno mengaku tak tahu soal transfer itu. Soalnya, dia mengaku tak diberitahu setelah transfer dilakukan. Sebagai pemilik perusahaan, Soetrisno mengaku tak tahu detail soal itu. Ke kantor pun, Soetrisno mengaku jarang.

Dia mengaku baru tahu soal transfer itu ketika diperiksa penyidik KPK sebagai saksi beberapa tahun lalu. Majelis hakim lantas mencecarnya. Sebab, di BAP-nya saat diperiksa KPK, Soetrisno menyebut ada pemberitahuan dari Nuki seusai transfer dilakukan.

Soetrisno bahkan sempat bertanya kepada pimpinan direksi bernama Frans Dewana. “Apa benar seperti ini?” tanya hakim. “Saya lupa Yang Mulia,” jawab Soetrisno.
Hakim Made terus mencecarnya. “Kalau di BAP ada, ya iya. Tapi saya lupa,” kata Soetrisno. Majelis hakim tidak puas dengan jawaban Soetrisno. “Saudara pakai keterangan yang di BAP atau yang lupa?” tegas hakim Made Hendra. “Yang jelas saya lupa,” imbuh Soetrisno. “Jadi ini nggak benar?” cecar hakim Made Hendra lagi. Soetrisno pakai jurus lupa lagi.

Soetrisno juga mengaku lupa untuk apa uang itu ditransfer Nuki. Menurut direksi perusahaan itu, ucap Soetrisno, Nuki berutang Rp 3 miliar kepada perusahaan. Majelis hakim kembali mencecarnya. Sebab, jawaban itu juga berbeda dengan BAP. Dalam BAP, Soetrisno menyebut uang itu untuk titipan modal atau investasi. “Saya agak lupa sampai sedetail itu,” ucapnya.

Dia juga mengaku tak pernah tahu Nuki berkecimpung di pengadaan alkes. Yang dia tahu, Nuki kerja di bidang event organizer (EO).

Lalu, apa hubungannya dengan PT Selaras? Soetrisno bilang, di PT Selaras, direksi memberikan kuasa penuh kepada Nuki untuk menjalankan itu. “Seingat saya, saya komisaris, saya lupa siapa dirutnya,” kata Soetrisno. “Kok punya perusahaan lupa jabatan?” sindir hakim Nawawi. “Terus terang, perusahaan saya banyak,” ujarnya. â€œBeginilah, saudara ini kaya, banyak perusahaan tapi pelupa. Orang pelupa bisa punya banyak perusahaan,” sindir hakim lagi. “Jangan disalahkan, saya lupa,” Soetrisno agak sewot.

Ketua Majelis Hakim Nawawi mengingatkan bahwa Soetrisno sudah disumpah. Soetrisno pun mengangguk.

Sedangkan jaksa penuntut umum (JPU) Kiki Ahmad Yani menanyakan Soetrisno soal Siti Fadilah Supari, bekas Menteri Kesehatan. Soetrisno mengaku mengenal Siti pertama kali tahun 2004, saat bertemu di rumah Amien Rais, Ketua Umum PAN.
“Belum sebagai menkes dan saya belum jadi Ketum PAN,” ujarnya. “Itu pengumuman jelang kabinet,” lanjutnya.

Hanya 45 menit Soetrisno bersaksi. Setelah itu, dia meninggalkan Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta naik mobil Toyota Lexus putih bernomor B 252 ARD.

Kilas Balik
RDU Baru Ditahan KPK Setelah 2 Tahun 7 Bulan Jadi Tersangka

Setelah dua tahun tujuh bulan berstatus tersangka perkara korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun 2006-2007, bekas Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Kementerian Kesehatan Ratna Dewi Umar (RDU) baru ditahan KPK pada 7 Januari lalu.

Pada hari itu, RDU diperiksa penyidik sejak pagi. Baru kelar menjalani pemeriksaan pukul empat sore. Begitu keluar, dia sudah mengenakan baju tahanan KPK. Air mukanya datar, tiada kaget atau sedih. Mungkin, lantaran sudah kelamaan jadi tersangka dan tidak ditahan. “Bukannya saya siap ditahan, sekarang saya berharap supaya kasus ini cepat selesai. Saya sudah 3,5 tahun menjalani,” ujarnya sebelum memasuki mobil tahanan di halaman Gedung KPK.

RDU ditetapkan sebagai tersangka pada Mei 2010. Tersangka lain dalam kasus ini, bekas Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kementerian Kesehatan Rustam Syarifuddin Pakaya, malah sudah divonis empat tahun penjara. Padahal, Rustam ditetapkan sebagai tersangka pada September 2011, setahun lebih sejak penetapan tersangka RDU.

RDU merasa dikorbankan dalam kasus ini. Karena itu, untuk mengungkap kasus ini, dia siap buka-bukaan. “Yang jelas, saya sudah menyampaikan bahwa saya dikorbankan, sama atasan saya, masa sama bawahan,” ujar Ratna yang didampingi putranya saat menuju rumah tahanan di basement Gedung KPK.

Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo membantah bahwa lambannya penahanan terhadap RDU karena ada intervensi terhadap penyidik. Dia beralasan, penyidik mempunyai pertimbangan tertentu dalam menahan seseorang.

Apalagi, kata Johan, selama ini RDU cukup kooperatif dalam memberikan keterangan. Penyidik juga yakin bahwa RDU tidak akan melarikan diri serta menghilangkan barang bukti. Dari keyakinan tersebut, maka penyidik berhak tidak menahan tersangka.

“Tidak terkait intervensi. Penyidik mempunyai sikap independen dalam menentukan penahanan setiap tersangka,” ujarnya.

Johan menambahkan, penahanan dilaksanakan untuk mempermudah penuntasan perkara. “Untuk kepentingan penyidikan,” katanya.

RDU menjalani sidang perdana sebagai terdakwa kasus pengadaan alat kesehatan tahun 2006-2007 di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 27 Mei 2013. Sidang ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Nawawi Ponolango. Majelis hakim kasus ini beranggotakan Joko Subagio, Sutio Jumadi Akhirno dan Aswijon.

RDU tampak lesu ketika surat dakwaan setebal 59 halaman dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) I Kadek Wiradana, Kresno Anto Wibowo, Atty Novyanty dan Kiki Ahmad Yani secara bergantian.

Menurut JPU, RDU memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi dalam pengadaan alkes tahun 2006-2007. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp 50.477.847.078 atau Rp 50,4 miliar. Kerugian itu terjadi pada empat pengadaan alkes.

Modus Konspirasi Proyek Kompleks
Iwan Gunawan, Sekjen PMHI

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) Iwan Gunawan mengingatkan, perkara korupsi biasanya tidak berdiri sendiri. Karena itu, apabila satu perkara bisa diselesaikan, maka perkara korupsi yang terkait lainnya akan terlihat.

Dia menggambarkan, secara psikologis seorang pencuri profesional biasanya mencuri di banyak tempat dengan beragam modus. Pada beberapa modus dan tempat tersebut, pasti ada titik kesamaannya.

“Inilah entry poin bagi penyidik untuk menelusuri suatu persoalan,” ujarnya, kemarin.
Pada skala besar, menurut Iwan, pelaku kasus korupsi menggunakan modus serupa.

Oleh karenanya, ketika penegak hukum bisa mengungkap satu kasus, maka kasus-kasus yang lain juga harus diselidiki secara berkesinambungan. “Supaya uang negara di beberapa instansi itu bisa segera diselamatkan,” sarannya.

Dalam kaitan ini, dia mengatakan, kasus korupsi proyek alat kesehatan (alkes) di Kementerian Kesehatan sangat kompleks. Kompleksitas permasalahan ini melibatkan banyak kalangan. Lagi-lagi, tandas dia, konspirasi menjadi kata kunci dalam masalah ini.

Konspirasi dilakukan guna memenangkan proyek. Karena itu, setiapkali proyek pengadaan dilaksanakan, persoalan muncul. “Beragam persoalan mengikutinya,” imbuhnya.

Lantaran itu, Iwan berharap, pemeriksaan saksi di pengadilan tak berhenti pada Soetrisno Bachir. Pihak-pihak lain yang diduga terkait, apalagi terlibat langsung dalam persoalan alkes ini, perlu dihadirkan dalam persidangan.

Jika kesaksian mereka bisa menjadi alat untuk menetapkan tersangka lain, hakim dan jaksa idealnya tidak mengulur-ulur waktu. Sebab, pada perkara ini, masih banyak dugaan keterlibatan pihak lain yang belum ditindaklanjuti secara proporsional.

Kesaksian Soetrisno Bachir Bisa Bersihkan Reputasi Bisnisnya
Aditya Mufti Ariffin, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Aditya Mufti Ariffin menghargai bekas Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir yang telah hadir sebagai saksi sidang perkara terdakwa Ratna Dewi Umar (RDU).

Dia berharap, kesaksian Soetrisno memberikan titik terang untuk mengungkap perkara korupsi proyek alat kesehatan (alkes) tersebut.

“Kesaksiannya sangat penting di sini. Apalagi, perusahaan miliknya dikait-kaitkan menerima dana proyek alkes tersebut,” ucap politisi PPP ini, kemarin.

Aditya menggarisbawahi, kesaksian Soetrisno selain bisa memberikan masukan tentang duduk perkara kasus ini, juga menjadi sarana atau alat untuk membersihkan nama baik pribadi dan perusahaannya. Mau tidak mau, sebutnya, politisi sekaligus pebisnis itu harus datang ke persidangan guna mengklarifikasi masalah ini.

Kalaupun kesaksiannya banyak mengaku tidak tahu mengenai aliran dana ke perusahaannya, hal itu tetap bisa dijadikan fakta persidangan. Tapi, lanjutnya, hakim dan jaksa mempunyai formula khusus untuk menimbang keterangan saksi.

“Kita serahkan kepada jaksa dan hakim. Biar mereka yang menilai dan menimbang kesaksian tersebut. Yang jelas, kehadiran saksi perlu dihargai. Itu menunjukkan komitmennya mematuhi hukum,” kata dia.

Aditya mengharapkan, apa yang disampaikan saksi, benar adanya. Sebab bila tidak, kesaksian itu akan memberatkan saksi sendiri. Biar bagaimanapun, kesaksian ini menjadi fakta persidangan yang dapat diuji melalui penyelidikan dan penyidikan. [Harian Rakyat Merdeka]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya