Berita

IWAN SULAIMAN SOELASNO/IST

X-Files

Kisruh KJS, Jangan Anggap Remeh Implementasi Kebijakan

SELASA, 28 MEI 2013 | 13:40 WIB

PENERAPAN Kartu Jakarta Sehat (KJS) diwarnai penolakan sejumlah rumah sakit swasta. Alasannya, kerugian rumah sakit karena premi Rp 23 ribu per orang dinilai tidak mencukupi. Alih-alih ingin mengedepankan program pelayanan kesehatan gratis kepada rakyat, kebijakan Pemprov DKI Jakarta ini malah menuai penolakan dari RS swasta dan bahkan adanya upaya interpelasi dari sejumlah anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta.

Sebagai sebuah kebijakan sosial, kebijakan KJS yang dicetuskan Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Jokowi patut diapresiasi. Sebab, kebijakan sosial merupakan alat atau instrumen untuk mencapai tujuan. Pandangan ini didasari oleh besarnya peran pemerintah yang harus mendesign kebijakan sosialnya agar mencapai hasil-hasil yang diharapkan dan menjadi tujuan masyarakat, yaitu mencapai kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, sebagai sebuah instrumen, maka  kebijakan sosial membutuhkan beberapa tahapan dalam proses perumusannya, yang terdiri dari perencanan, formulasi, implementasi dan evaluasi.

Sayangnya, Kebijakan KJS ini sudah bermasalah sejak masih dalam tahapan perencanaan dan formulasi. Aparatur di Pemprov DKI Jakarta agaknya lemah dan kurang cermat dalam melihat kesiapan rumah sakit menghadapi antusiasme warga DKI Jakarta. Pengertian kesiapan itu mencakup berbagai fasilitasi yang dimiliki oleh rumah sakit dalam menghadapi pelayanan kesehatan gratis dan pendataan kelompok sasaran kebijakan KJS (beneficiaries) dimana masih ada warga mampu terdata sebagai penerima KJS. Belum lagi, kesiapan aparatur Pemprov DKI Jakarta sebagai faktor inside government.


Jokowi sejatinya memperhatikan terlebih dahulu faktor kesiapan birokrasi di Dinas Kesehatan sebagai dinas terdepan dalam implementasi kebijakan KJS. Kalau perlu, struktur birokrasi di Dinas Kesehatan dibenahi terlebih dahulu mengingat Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta adalah instansi administrasi pelaksana kebijakan politik Jokowi yaitu KJS. Dalam konsep new public administration, politik dan administrasi dapat berbaur dan instansi administrasi seperti Dinas Kesehatan dapat terlibat dalam pengembangan kebijakan publik. Hal inilah yang sesungguhnya dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Dinas Kesehatan sebagai instansi administratif untuk menjadi aktor penting dalam kebijakan KJS.

Munculnya rencana DPRD Provinsi DKI Jakarta melakukan interpelasi kepada gubernur Jokowi terkait KJS, memperlihatkan bahwa tahapan formulasi kebijakan KJS ini juga bermasalah. Idealnya, kebijakan KJS ini dirumuskan dalam sebuah peraturan daerah (perda) yang disusun bersama-sama oleh Pemprov DKI Jakarta dan DPRD. Kartu Jakarta Sehat bisa menjadi peraturan daerah (perda) usulan pemerintah yang selanjutnya bisa disampaikan kepada DPRD. Bahkan, pembahasan perda tersebut bisa melibatkan partisipasi publik warga DKI Jakarta yang memang sudah sangat terlihat antusias dengan KJS.

Ibarat sebuah bom waktu, kisruh KJS akhirnya meledak pada tahapan implementasi. Banyak pihak yang menganggap remeh tahapan implementasi kebijakan. Padahal sesungguhnya implementasi itu merupakan tahap yang sangat menentukan dalam proses kebijakan. Dalam konteks kisruh implementasi kebijakan KJS ini, sedikitnya ada 4 faktor yang agaknya kurang diperhatikan oleh para pembuat kebijakan KJS. Pertama, soal komunikasi. Komunikasi suatu program seperti KJS hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para implementor, yaitu seluruh rumah sakit di Jakarta yang terkait KJS. Kejelasan itu menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan.

Sayangnya Pemprov DKI Jakarta belum memiliki cukup data atau informasi mengenai kesiapan rumah sakit dalam melaksanakan KJS. Kedua, sumber daya yang mencakup staf yang cukup baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Jumlah orang miskin yang akan terdaftar di KJS sekitar 4,7 juta jiwa. Oleh karena itu  dibutuhkan ketersediaan tenaga medis yang handal. Sumber daya juga mencakup ketersediaan anggaran dari APBD Provinsi DKI Jakarta untuk membiayai 4,7 juta jiwa melalui KJS yaitu sebesar Rp. 1,2 triliun pada tahun 2013 ini. Seperti diakui oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, dana tersebut tidak cukup sebab setelah dihitung  kembali ternyata membutuhkan dana sebesar Rp 2,5 triliun - Rp 3 triliun. Sangat disayangkan Gubernur dan Wakil Gubernur tidak mencermati dan mendalami besaran anggaran KJS.  

Ketiga, sikap birokrasi dan struktur birokrasi. Sikap birokrasi mencakup komitmen aparatur Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan para tenaga medis di semua RSUD untuk menjalankan KJS. Tak terkecuali Rumah Sakit swasta. Penolakan belasan rumah sakit swasta terhadap KJS adalah bentuk dari belum tercapainya visi, misi dan konsensus bersama antara birokrasi dengan aparatur rumah sakit. Struktur birokrasi di Dinas Kesehatan, RSUD dan RS swasta hendaknya disusun ulang dan disesuaikan sehingga Standar Operating Procedure (SOP) program KJS dapat benar-benar mengatur tata aliran kerja manajemen birokrasi di Pemprov DKI, RSUD dan RS swasta. Salah satunya adalah manajemen pembayaran.

Pada akhirnya, kebijakan ini perlu dievaluasi oleh semua pihak yang terkait KJS. Evaluasi tentu saja bukan dalam konteks penghentian program KJS. Sebab rakyat DKI Jakarta sudah antusias dengan program ini sejak masih didengungkan oleh Jokowi ketika masa kampanye sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Evaluasi dilakukan untuk menilai seberapa jauh program KJS yang dilaksanakan dapat menghasilkan dampak (outcomes) yang diinginkan, yaitu meningkatnya indeks kesehatan di DKI Jakarta melalui pelayanan kesehatan gratis bagi warga miskin. Terutama yang perlu mendapat perhatian utama adalah sikap birokrasi dan struktur birokrasi Pemprov, RSUD dan RS swasta dalam implementasi KJS. Patut kita ketahui, sehat adalah bagian dari kesejahteraan.

Iwan Sulaiman Soelasno
Direktur Kajian Otonomi Daerah SUN Institute



 

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya