Susilo Bambang Yudhoyono adalah satu-satunya presiden Indonesia yang paling besar mendapat legitimasi rakyat lewat proses demokrasi prosedural. SBY mendapat dukungan 60 persen pemilih melalui pemilihan presiden langsung tahun 2009.
Demikian dikatakan politikus muda PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko, dalam Seminar Nasional bertajuk "Menilai Kebijakan Pembangunan Era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono" di Auditorium FISIP, Kampus Moestopo, Jalan Hang Lekir I, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (8/5).
Menurut dia, angka 60 persen itu seharusnya dilihat sebagai angka pengharapan rakyat. Legitimasi seluas itu seharusnya punya keluwesan dalam menetapkan siapa yang "mau ikut denganku" atau "yang tidak mau ikut denganku".
Persoalannya, SBY selalu berusaha untuk mengakomodir sekaligus mengabulkan semua keinginan kekuatan politik yang menempel pada kekuasaannya. Hal itu akhirnya menggerogoti pembangunan nasional. Buktinya, angka kesenjangan sosial dari 2004 terus menanjak. Padahal pemerintah menegaskan kebijakannya sebagai pro poor. Dan, 56 persen aset nasional dikuasai cuma 0,2 persen penduduk.
"Pemerintah punya banyak program baik. Tapi karena terlalu banyak mengakomodir di tengah semua kepentingan yang saling bertentangan, akhirnya program-program yang baik tidak bisa optimal. SBY tidak bisa mencapai tujuan mengentaskan kemiskinan," ungkapnya.
Gaya memimpin SBY yang ingin menyenangkan semua kekuatan politik itu dianggapnya sangat merugikan kepentingan bangsa di dalam maupun luar negeri. Bahkan, dalam hubungan internasional, SBY menggunakan filosofi yang salah kaprah, yaitu "Thousands Friends Zero Enemy".
"Jelas dalam pembukaan UUD 45 disebutkan Indonesia republik yang anti penjajahan dan ketidakadilan. Maka sejak awal republik ini lahir untuk berkelahi. Musuh kita adalah mereka yang mempraktikkan penjahahan dan ketidakadilan. Keliru kalau katakan
thousands friends and zero enemy," paparnya.
Menurut anggota Komisi II DPR ini, berbagai penghargaan dunia internasional yang didapatkan Presiden SBY menjadi tidak ada artinya karena rakyatnya di dalam negeri masih sangat banyak yang miskin. Banyak kebocoran anggaran karena mereka yang berada di dalam lingkaran kekuasaan melakukan korupsi.
"SBY keliru dalam tempatkan strategi politik. Saya tidak tahu siapa penasihatnya. Ketika Anda coba puaskan semua orang yang beda-beda seleranya, ujungnya Anda tidak bisa puaskan satu pun dari mereka," tegasnya.
[ald]