Pemilihan Ketua Umum Demokrat pada Kongres Luar Biasa (KLB) pada akhir bulan ini jangan sampai dipaksakan dilakukan secara aklamasi. Meski aklamasi merupakan mekanisme yang juga demokratis.
"Aklamasi memang bagian dari mekanisme politik dalam demokrasi. Tapi prakteknya tidak boleh dipaksakan dengan rekayasa kotor yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Berikan kebebasan politik kepada pemilik hak suara untuk memilih pengganti Anas secara demokratis tanpa paksaan," ujar pengurus DPP Partai Demokrat Mamun Murod Al Barbasy kepada Rakyat Merdeka Online (Selasa, 19/3).
Mamun mengungkapkan itu menanggapi pernyataan Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Jero Wacik. Jero menegaskan, mekanisme aklamasi yang akan dipilih dalam KLB. KLB tak akan menjalankan praktik pasar bebas karena demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya matang dan dewasa.
“33 DPD semuanya konfirmasi (untuk aklamasi). Saya sudah cek, hanya dua yang bilang ingin voting. Kemudian, ada delapan yang masih ragu-ragu (apakah voting atau aklamasi). Itu juga karena Majelis Tinggi belum memberikan arahan. Artinya semua DPC, DPD juga, apapun arahan Majelis Tinggi, mereka akan mayoritas, hampir 95%, setuju arahan Majelis Tinggi,†kata Jero dalam keterangannya kemarin.
Mamun sendiri tidak yakin dengan klaim Jero Wacik tersebut. "Saya tidak yakin itu. Tapi kalau itu benar semoga keinginan aklamasi dari DPD bukan karena suara mereka dibungkam," ujar Mamun.
Tak hanya itu, menurut Mamun, ketua umum baru nanti juga harus berasal dari internal partai sendiri.
"Saya sepakat dengan Max Sopacua bahwa siapapun yang terpilih di KLB harus orang yang benar-benar Demokrat. Jangan biarkn orang baru 'kenakan' jaket biru di KLB lalu calonkan diri sebagai ketum. Ini bentuk pembodohan dan pengebirian politik," katanya menegaskan.
[zul]