Ketika Soeharto berkuasa, Yayat Yatmaka pernah dikejar-kejar. Rezim Orde Baru menganggapnya "seniman nakal".
Pada suatu kali Yayat membuat heboh republik. Dua lukisannya, satu menggambarkan Ibu Tien Soeharto mengenakan bikini dan satu lagi menggambarkan sepatu lars yang menginjak rakyat kecil, dianggap dapat memprovokasi rakyat dan membahayakan penguasa.
Yayat melarikan diri, melalui Singapura ia terbang ke Jerman sebagai pelarian politik.
Kini Yayat ingin kembali. Sebulan lalu, ia menghubungi pihak Taman Ismail Marzuki. Yayat berencana menggelar pameran gambar digital, sebuah genre lukisan yang tengah ditekuninya. Sedianya pameran itu diberi judul "Gambar Sebagai Senjata Rakyat (Berjiwa) Merdeka". Selain pameran dia juga hendak menggelar workshop bagi para pecinta seni gambar digital.
Ketika itu, ujar Yayat dalam pembicaraan dengan
Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Rabu, 27/2), pihak TIM mempersilakan dirinya menggelar pameran. Yayat sempat bertanya, apakah konten dari gambar-gambar yang akan dipamerkannya akan jadi persoalan?
"Saat itu mereka bilang tidak ada masalah dengan gambar saya. Mereka hanya mengatakan ini soal waktu," ujar Yayat.
Yayat dan pihak TIM di bulan Januari itu sudah menyepakati waktu penyelenggaraan pameran di bulan Mei.
"Ada banyak kejadian yang penting kita peringati di bulan Mei. Hari Pendidikan Nasional, Hari Kebangkitan Nasional, sampai hari pengunduran diri Soeharto. Juga di bulan Mei kita mengenang penculikan aktivis," kata dia lagi.
Tetapi, sambungnya, tanggal 6 Februari lalu Yayat menerima sepucuk surat dari manajemen TIM. Di dalam surat itu, manajemen TIM membatalkan persetujuan mereka.
Alasan TIM menolak pameran Yayat karena gambar-gambar yang akan dipamerkan itu dianggap berlawanan dengan kebijakan umum TIM yang mengedepankan harmoni.
"Saya kira ini alasan yang dibuat-buat. Saya yakin ada kebijakan lain yang anti-kebudayaan di balik pembatalan. Saya tidak menyangka, model Soeharto masih dipraktikan di negeri ini," demikian Yayat.
[dem]