Bank DKI Syariah
Bank DKI Syariah
Kasus korupsi di Bank DKI daÂlam pembiayaan kepada PT EnerÂgy Spectrum (ES) untuk pemÂbelian pesawat udara jenis Air Craft ATR 42-500 dari Phoenix Lease Ltd Singapura, dengan tiga terdakwa, yaitu Direktur Utama PT ES Banu Anwari, Pemimpin DeÂpartemen Pemasaran Group Syariah Bank DKI dan Pemimpin Group Syariah PT Bank DKI Athouf Ibnu Tama serta Analis PemÂbiayaan Group Syariah Bank DKI Hendro Wiratmoko di PeÂngadilan Tipikor Jakarta telah meÂmasuki tahap putusan hakim.
Terdakwa Hendro Wiratmoko divonis bersalah dan dikenakan pidana penjara lima tahun dan denda Rp 300 juta subsidier tiga bulan kurungan. Vonis itu dijaÂtuhÂkan Majelis Hakim PeÂngaÂdilan Tipikor Jakarta dengan PuÂtuÂsan Nomor 43/PID.B/Tipikor/2012/PN.Jks.Pst tertanggal 26 Desember 2012.
Hendro dinyatakan terbukti meÂlakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, sebaÂgaiÂmana diatur dan diancam Pasal 2 ayat 1 junto Pasal 18 Ayat 1 (b) UnÂdang Undang Nomor 31 TaÂhun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seÂbaÂgaiÂmana diubah dan ditambah deÂngan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 TaÂhun 1999 tentang PemÂbeÂranÂtaÂsan Tindak Pidana Korupsi, junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebaÂgaimana dakwaan primer.
Persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sudjatmiko itu, juga menjatuhkan vonis keÂpada Banu Anwari dengan pidana penjara selama 10 tahun, denda Rp 500 juta subsidier lima bulan kurungan. Vonis itu dituangkan dalam Putusan Nomor 44/PID.B/Tipikor/2012/PN.Jks.Pst tanggal 26 Desember 2012.
Majelis hakim menetapkan agar terdakwa tetap berada di daÂlam tahanan, dan membayar uang pengganti sebesar empat juta seÂraÂtus sembilan ribu tujuh ratus satu Dolar AS ( 4.109.701 Dolar AS). Dengan ketentuan, jika terÂdakwa tidak membayar paling lama satu bulan setelah putusan berÂkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti itu.
“Jika tidak memÂpunyai harta yang menÂcukupi untuk memÂbaÂyar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara enam taÂhun,†tegas Sudjatmiko.
Sedangkan terdakwa Athouf Ibnu Tama divonis pidana penjara selama enam tahun dan denda Rp 500 juta, dengan ketentuan apaÂbila denda itu tidak dibayar, diÂganÂti pidana kurungan selama lima bulan. Putusan itu ditetapÂkan dengan Nomor 44/PID.B/Tipikor/2012/PN.Jks.Pst tanggal 26 Desember 2012.
“Memerintahkan agar pesawat jenis Air Craft ATR 42-500 diÂkembalikan kepada Bank DKI, dan surat yang diajukan terdakwa tetap terlampir dalam berkas perÂkara,†kata Sudjatmiko.
Atas putusan itu, para terdakwa menyatakan akan melakukan upaya banding. Sedangkan KeÂjakÂsaan Agung yang membawa kasus ini ke Pengadilan Tipikor Jakarta, akan mempelajari terÂlebih dahulu putusan itu.
“Kasih kami waktu untuk berÂpikir dulu untuk mengambil tinÂdakan selanjutnya,†kata Kepala Pusat Penerangan Hukum KeÂjakÂsaan Agung Setia Untung AriÂmuladi, kemarin di Gedung KeÂjaksaan Agung.
Kasus ini berawal pada 2007. Kala itu, PT ES mengajukan perÂmoÂhonan pembiayaan ke PT Bank DKI Syariah. Namun, pemÂbayaÂran kredit Rp 100 miliar unÂtuk membeli pesawat ATR 42-5000 dari Phoenix Lease Pte Ltd SiÂngaÂpore itu, macet. Pemberian kredit itu, menurut dakwaan jaksa, tanpa memenuhi ketentuan perbankan.
“Mulai dari modal yang tak mencukupi, tak berpengalaman di bidang penerbangan, dan perÂsyaratan lain, sehingga sedari awal tak mampu melaksanakan kewajiÂban. Kalaupun ada, yang diseÂleÂsaiÂkan hanya bunga. Utang pokok pun dilunasi sangat kecil,†kata Untung.
Sekalipun manajemen Bank DKI Syariah memprakarsai resÂtrukturisasi utang itu, toh haÂsilÂnya tetap negatif. “RestrukÂtuÂriÂsasinya tiÂdak benar dan akiÂbatÂnya terjadi koÂlektabilitas lima alias macet,†ujarnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi NirÂwanto menyatakan, bekas DiÂrekÂtur Utama Bank DKI Winny ErÂwinda masih berstatus saksi kasus ini. PeningÂkaÂtan status hukum ErÂwinda, lanÂjutnya, tergantung hasil perÂsiÂdaÂngan tiga terdakwa itu dan keÂcuÂkupan alat bukti. “Kemudian staÂtuÂsnya dievaluasi,†katanya.
REKA ULANG
Karyawannya 6, Dapat Kredit Rp 100 M
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menangani perkara kredit Rp 100 miliar dari Bank DKI Syariah untuk PT Energy Spectrum (ES), mengenÂdus keanehan.
Keanehan itu antara lain tamÂpak saat dua saksi yang diÂhaÂdirÂkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang pada Rabu malam, 31 Oktober lalu, yakni Siska BasÂtari dan Ahmad Syarifudin meÂngaku tak tahu jenis usaha tempat mereka bekerja.
Dalam kesaksiannya, Siska yang mengenakan kerudung, meÂngaku hanya mengurusi adÂmiÂnisÂtrasi ringan. Dia tidak tahu meÂnahu, sejak kapan PT ES, milik terdakwa Banu Anwari berdiri serta bagaimana rencana pemÂbelian pesawat udara jenis ATR 42-5000 dari Phoenix Lease Pte. Ltd. Singapore.
Dia pun mengaku tidak tahu, darimana sumber biaya sewa peÂsaÂwat PT ES selama ini. PeÂngaÂkuannya itu membuat Ketua MaÂjelis Hakim Sudjatmiko curiga. Bagaimana mungkin, karyawan yang mengurusi administrasi kanÂtor, tidak tahu jenis usaha yang dilakoni perusahaan temÂpatnya bekerja.
“Sebagai tenaga administrasi, paling tidak, Saudara tahu jenis perusahaan itu dari surat meÂnyuÂrat dan dokumen yang Anda uruÂsi,†kata Sudjatmiko. Namun, sakÂsi bersikukuh, urusan surat menyurat dikendalikan langsung terdakwa Banu. “Saya hanya meÂngurusi karyawan di kantor,†kata bekas karyawan PT ES ini.
Menanggapi hal itu, hakim meÂnanyakan, berapa jumlah karÂyaÂwan PT ES. “Ada lima sampai enam orang,†jawab Siska. JaÂwaÂban ini membuat hakim tambah curiga, ada yang tidak beres daÂlam pengucuran kredit ke PT ES. Soalnya, bagaimana mungkin, perusahaan yang hanya meÂmÂpeÂkerjakan enam orang, mendapat kucuran dana Rp 100 miliar dari Bank DKI.
Lalu, hakim melanjutkan perÂtanyaan seputar peran Siska daÂlam urusan sewa menyewa peÂsaÂwat. Lagi-lagi, Siska mengatakan tidak tahu. Siska beralasan, surat menyurat menggunakan Bahasa Inggris. Sedangkan Siska yang jebolan diploma III itu, mengaku tidak mengerti Bahasa Inggris.
Tapi, Siska menginformasikan, dirinya pernah bertemu dua terÂdakwa lainnya, yakni Staf Analis Pembiayaan Hendro Wiratmoko dan Kepala Divisi Pemasaran Bank DKI Syariah Atouf IbÂnuÂtama. Pertemuan terjadi di kantor PT ES, di bilangan Bintaro, TaÂngerang Selatan. Namun saat itu, dia tidak kenal kedua terdakwa.
“Mereka ingin bertemu Pak Banu,†ucapnya tanpa merinci, kaÂpan pertemuan terjadi. “Saya lalu mempersilakan mereka naik ke ruangan Pak Banu.â€
Siska menambahkan, tidak tahu apa materi pembahasan saat itu. Sementara saksi Ahmad SyaÂrifudin menerangkan, dirinya meÂngenal kedua terdakwa dari Bank DKI itu setelah dikenalkan terÂdakÂwa Banu. “Waktu itu saya beÂlum menjabat direktur di Energy Spectrum.†Perkenalan dilakukan sembari makan siang. “Ini teman-teman dari Bank DKI,†sitir Ahmad menirukan Banu.
Selanjutnya, hakim minta penÂjelasan sewa menyewa pesawat. Menurut saksi, pesawat tipe ATR 42-5000 bukan milik PT ES. MeÂlainkan milik Frontline, disewa PT ES menggunakan jasa PT Gatari, untuk disewakan kembali pada Premiere Oil.
Dia hanya tahu, PT Gatari seÂkali menyewa pesawat tersebut. Jika belakangan ternyata ada peÂruÂbahan jadwal sewa pesawat atau penambahan waktu sewa, dia tiÂdak tahu. Soalnya, dia maÂsuk peÂruÂsahaan tersebut pada 2009. Lalu sempat keluar pada 2010.
Sepanjang pengetahuannya, peÂmilik pesawat yang resmi adalah PT Frontline. Mekanisme pembayaran sewa, sebutnya, dilaÂkukan PT ES kepada leasor PT Phoenix Lease Pte. Ltd. SiÂngaÂpore.
Penanganan Kasus Bank DKI Sangat Tertutup
Petrus Selestinus, Koordinator Faksi
Koordinator Forum AdÂvokat Pengawal Konstitusi (Faksi) Petrus Selestinus meÂnilai, penanganan kasus korupsi pada Bank DKI ini sangat terÂtutup. Lantaran itu, meÂnuÂrutÂnya, sangat wajar jika maÂsyaÂraÂkat curiga, ada apa di balik keÂtertutupan tersebut.
“Publik tidak tahu proses peÂnyidikan dan penuntutannya, taÂhu-tahu sudah masuk perÂsiÂdaÂngan dan vonis. Ada apa antara terdakwa dengan penyidik dan penuntut umum. Kenapa terÂtuÂtup, padahal kerugian negara daÂlam kasus ini sekitar Rp 100 mÂiliar, masyarakat perlu meÂmanÂtaunya,†kata Petrus, kemarin.
Menurut Petrus, sikap KeÂjaksÂaan Agung yang cenderung tak menjelaskan kepada publik mengenai proses penyidikan dan penuntutan terhadap para tersangka kasus ini, tentu meÂnimbulkan kecurigaan.
“Jaksa Agung harus menÂjeÂlaskan kepada publik mengenai berapa jumlah kerugian negara yang berhasil diselamatkan dari proses hukum kasus ini, dan siaÂpa lagi yang terlibat,†ucapnya.
Dia menegaskan, Kejaksaan Agung tidak boleh berpuas diri hanya karena memenjarakan seÂbanyak-banyaknya orang, seÂmentara pelaku-pelaku utama perkara korupsi lolos.
“Akibatnya apa, korupsi tetap merajalela sekalipun penjara suÂdah penuh napi koruptor,†tanÂdas bekas anggota Komisi PeÂmeriksa Kekayaan PenyeÂleÂngÂgara Negara (KPKPN) ini.
Lantaran itu, menurut Petrus, Kejaksaan Agung mesti memÂbuka penyidikan jilid dua sÂeÂteÂlah majelis hakim Pengadilan TiÂpikor Jakarta menjatuhkan voÂnis terhadap tiga terdakwa kaÂsus ini. “Masih terdapat seÂjumlah pelaku utama yang beÂlum disentuh,†duganya.
Mesti Transparan Supaya Masyarakat Bisa Mengontrol
Yahdil Abdi Harahap, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Yahdil Abdi Harahap menyamÂpaikan, pengusutan kasus korupsi pada sektor perbankan, membutuhkan ketrampilan khusus penyidik.
Lantaran itu, dia berharap, penyidik dan aparat penegak hukum lainnya memiliki kaÂpaÂsitas dan keahlian perbankan. “SeÂbab, dalam sektor perbÂanÂkan sangat banyak kasus koÂrupÂsi. Itu sangat merugikan keÂuaÂngan negara,†ujar politisi PAN ini.
Yahdil juga mempertaÂnyaÂkan, dalam beberapa kasus, keÂnapa penanganannya cenderung tertutup, seperti tidak boleh diÂketahui perkembangannya oleh masyarakat. Entah apa penÂyeÂbabnya. “Sebaiknya, semua perÂÂkara korupsi di sektor peÂrÂbankan yang ditangani peÂnyiÂdik, diekspos ke publik prÂoÂgÂresÂnya, supaya dapat dikontrol masyarakat. Jangan ujug-ujug suÂdah ada putusan,†tandasnya.
Korupsi, kata dia, adalah tangÂgung jawab semua orang untuk memberantasnya. Karena itu, lanjut Yahdil, sudah sepaÂtutÂnya setiap progres proses peÂnyidikan disampaikan secara transparan kepada masyarakat. Tujuannya jelas, supaya maÂsyaÂrakat tahu jika ada yang tidak beres dalam penanganan suatu perkara. “Sampaikan apa saja yang sudah dilakukan, supaya masyarakat bisa melakukan kontrol. Supaya ada efek jera juga bagi para pelaku,†katanya.
Yahdil pun menyarankan KeÂjaksaan Agung agar dalam proses penanganan perkara, menÂcontoh Komisi PembeÂranÂtasan Korupsi yang transparan kepada masyarakat.
“Itulah keÂlebihan KPK, seÂtiap perkara disampaikan keÂpada publik. Sehingga, tidak meÂnimÂbulkan kecurigaan maÂsyarakat dan ada pembelajaran proses huÂkum. Kejaksaan bisa menÂcontoh cara itu,†sarannya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45
Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37
Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42
Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32
Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59