Desakan sejumlah pihak agar Presiden SBY mengangkat lagi wakil menteri untuk memperkuat jajaran kementrian yang dinilai berkinerja minus dinilai tidak tepat. Sebaliknya, Presiden diimbau memangkas saja menteri-menteri yang dinilai bermasalah. Pasalnya, pengangkatan Wakil Menteri dinilai hanya menambah mata rantai birokrasi yang menyebabkan kabinet tidak bersifat efisien dan ramping.
"Ini semua jadi hak prerogratif Presiden SBY. Tapi daripada menambah pos wakil menteri, lebih baik menteri yang dinilai bermasalah diganti saja," kata peneliti senior study kewilayahan dan politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro di Jakarta, saat dihubungi Rakyat Merdeka Online, Kamis (27/12).
Menurut dia, pergantian menteri memang menimbulkan kegaduhan politik, jika penggantinya bukan dari parpol menteri yang bersangkutan.
"Seperti penggantian Menpora Andi Alfian Malarangeng kalau diganti orang dari Partai Demokrat kan tidak ada kegaduhan. Justru kegaduhan terjadi jika diganti menteri dari lain parpol," terangnya.
Karena itu, Siti Zuhro menyarankan Presiden SBY tidak perlu ragu-ragu untuk mengganti menteri yang dinilai bermasalah. "Semuanya terserah pada presiden, ini kabinet presidensil. Tapi untuk menghindari kegaduhan politik, ya sudah copot saja yang bersangkutan dan diganti dari parpol yang sama," imbuhnya.
Dia pun mengimbau ke depan, kabinet mestinya diisi lebih banyak oleh profesional bukan karena transaksional politik yang menempatkan orang-orang dari partai politik, sehingga menyulitkan jika akan dilakukan pergantian. "Pokoknya jangan sampai mengulangi hal yang sama," katanya.
Sementara itu, pendapat berbeda disampaikan Anggota Dewan Sistem Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Bambang Purwoko yang menyambut baik diangkatnya pos Wakil Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang khusus berkonsentrasi dalam pembuatan regulasi BPJS Ketenagakerjaan, mengingat beban berat instansi tersebut dalam membuat berbagai peraturan untuk implementasi BPJS Ketenagakerjaan.
Menurut dia, prinsipnya DJSN mendorong Kemenakertans agar regulasi yang diperlukan bisa cepat ditelurkan dan memiliki kapabilitas yang baik. “Kalau perlu dibentuk Wakil Menteri yang mengurusi regulasi dalam masa transisi ini baik juga seperti dilakukan dalam BPJS Kesehatan,†katanya.
Dia juga menyebutkan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) harus benar-benar berkonsentrasi melaksanakan berbagai rancangan dan simulasi peraturan pemerintah dan rancangan peraturan presiden selama masa transisi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.Namun, mengingat luasnya aspek yang mesti ditangani Kemenakertrans, pemerintah pun diimbau mengangkat Wakil Menteri Tenaga Kerja yang khusus mengkoordinir regulasi BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dilakukan Kementerian Kesehatan untuk BPJS Kesehatan.
“Memang kami mendorong berbagai regulasi dalam bentuk Permen/Perpres segera dibuat agar BPJS Ketenagakerjaan bisa beroperasi pada 1 Juli 2015,†katanya.
Sejauh ini, lanjut Bambang, untuk BPJS Kesehatan yang disyaratkan beroperasi pada 1 Januari 2014 sudah tidak ada masalah, karena draft yang dibuat tinggal menunggu pengesahan dari presiden.
"Memang disitu (BPJS Kesehatan) yang bertindak sebagai koordinator pembuatan regulasi adalah Wakil Menteri Kesehatan. Karena DJSN sifatnya hanya memberi pertimbangan, pengawasan dan monitoring,†terangnya.
Bambang pun berharap pemerintah, Kemenakertrans lebih serius menelurkan berbagai rancangan dan simulai Perpres maupun Permen yang nantinya menjadi regulasi dalam pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan merancang sedikitnya 12 aturan pelaksana untuk operasionalisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
"Saya pikir masih ada waktu satu setengah tahun dan sudah menjadi tugas Kemenakertrans dalam membuat berbagai regulasi yang nantinya dipergunakan BPJS Ketenagakerjaan,†kata Guru Besar Universitas Pancasila ini.
Sejumlah hal krusial terkait dengan masalah penentuan besaran iuran program pension yang merupakan program baru dalam BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi, prinsipnya dalam program pensiun mesti ada jaminan keberlangsungan program itu sendiri.
[dem]