Presiden SBY diimbau menambah porsi wakil menteri di sejumlah pos kementrian, ketika melakukan reshuffle kabinet nanti. Alasannya, momentum dua tahun yang tersisa bisa dijadikan menambal kinerja sejumlah pos kementrian yang dinilai meragukan atau kinerjanya dinilai bobrok.
"Melalui hak prerogratif yang dimiliki, presiden bisa memperkuat jajaran kementrian yang saat ini dinilai kurang dengan menempatkan wakil menteri," kata pengamat sosial kemasyarakatan Didied Mahaswara di Jakarta, Kamis (27/11).
Menurut Didied, sekalipun langkah menambah pos wakil menteri akan memperlebar birokrasi, tapi itu putusan yang lebih elegan ketimbang mengganti para menteri ketika sudah memasuki injury time.
"Ini kan waktu sudah sangat pendek sekali. Penggantian menteri hanya timbulkan kegaduhan politik, lebih baik diisi dengan sejumlah pos wakil menteri saja," terangnya.
Apalagi, kata Didied, terdapat sejumlah menteri yang juga menjabat Ketua Umum Parpol, sehingga dikuatirkan ketika mereka lebih sibuk berkampanye buat parpolnya, pekerjaan kementrian terkesan diabaikan.
"Jangan sampai pekerjaan buat rakyat terkesan ditinggalkan buat urusan politik. Nanti, malah menimbulkan antipati terhadap pemerintahan secara keseluruhan," imbuhnya.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didesak mengganti menteri yang tidak menunjukkan kinerja yang baik. Langkah ini tetap harus dilakukan meski disadari pemilu presiden tinggal satu tahun lagi, dengan tujuan memperbaik kinerja masing-masing departemen, menghapus kebingungan rakyat atas kinerja menteri yang diganti serta mengurangi kegaduhan politik.
Sekjen Lingkar Studi Mahasiswa Indonesia (Lisuma), Dhika Yudistira mengungkapkan itu, berdasarkan klaim hasil survai 1000 mahasiswa di 10 provinsi di Indonesia yang dilakukan Lisuma dalam waktu tiga bulan yakni DKI, Jabar, Jatim, Jateng, DIY, Sumbar, Sumsel, Kalsel, Banten dan NTB. "75 persen mahasiswa menyatakan perlu reshuffle dibandingkan dengan 25 persen yang menyatakan tidak perlu," katanya.
Menurut dia, hasil survei juga menyebutkan setidaknya ada 10 menteri yang perlu direshuffle. Yakni Menteri Agama Suryadharma Ali karena terlibat kasus pengadaan Al-Quran, Menteri Perdagangan Gita Wirdjawan karena terindikasi kasus korupsi Century, Menteri Keuangan Agus Martowardjojo karena terlibat kasus korupsi Hambalang, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang tidak bisa menyelesaikan penanganan Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Lalu Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin karena ketidaktegasan soal hukum di Indonesia, Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang terlibat korupsi hibah kereta api saat menjabat sebagai menteri perhubungan, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang melemahkan diplomasi Indonesia di luar negeri.
Tiga menteri lainnya yang perlu direshuffle adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh karena tidak bisa mengatasi lemahnya sistem pendidikan dimulai dari infrastruktur serta pemerataan pendidikan, dan Menko Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono yang terindikasi selingkuh dengan wanita idaman lain. Serta Andi Alfian Malarangeng yang terlibat kasus korupsi Hambalang.
[dem]