Berita

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)

X-Files

Lima Saksi Kasus KLH Diperiksa Tim Penyidik­

Perkara Korupsi Perjalanan Dinas Belum Ke Pengadilan
RABU, 26 DESEMBER 2012 | 09:52 WIB

Lama tak terdengar perkembangannya, kasus korupsi perjalanan dinas Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) kembali digarap Kejaksaan Agung.

Tim penyidik Kejaksaan Agung memeriksa lima saksi perkara korupsi perjalanan dinas Kemen­terian Lingkungan Hidup (KLH) tahun anggaran 2009.

Menurut Kepala Pusat Pe­ne­rangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi, lima sak­si itu yakni Staf Bagian Ke­uangan Biro Umum KLH Suarsih binti Enos, Staf Bagian Akutansi Mayda Awvia Zaich, Staf Biro Umum Endah Lisyowati, Staf Biro Umum Munadjib dan Ke­pala Bagian Ke­uangan Sugeng Yos Budiarso.

“Posisi mereka sebagai saksi pembuat, pelaksana dan pena­ng­gung jawab perjalanan dinas pada anggaran tahun 2009 di Ke­men­terian Lingkungan Hidup,” kata bekas Asisten Khusus Jaksa Agung ini.

Kejaksaan Agung telah me­netapkan tiga tersangka kasus ini, yaitu Ahmad Syukur, Su­lai­man dan Puji Hastuti. Ketiganya dite­tapkan sebagai tersangka ter­kait pengolaan, per­tang­gung­ja­wa­ban, hingga verifikasi biaya perja­la­nan dinas tahun anggaran 2007 hingga 2009. Ketiganya di­jerat Pasal 2 dan Pasal 3 Un­dang Un­dang Nomor 31 Tahun 2009 ten­tang Pemberantasan Tindak Pi­dana Korupsi.

Pada tahun anggaran 2009, di Biro Umum Sekretariat KLH ter­dapat DIPA APBN Perjalanan Dinas Umum Dalam Negeri de­ngan Pagu Rp 9.474.713.000 de­ngan realisasi Rp 9.474.397.410. Tapi dalam pelaksanaannya, di­duga terdapat kegiatan yang tidak dilaksanakan alias fiktif.

Perkara korupsi biaya perja­lanan dinas ini, muncul setelah Ba­dan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dugaan pe­langgaran. Kasus tersebut ditaksir merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,2 miliar.

Ketiga tersangka dianggap ber­pe­ran terhadap bocornya dana dan verifikasi laporan per­tang­gung­jawaban (LPJ) fiktif yang me­nga­kibatkan kerugian ke­uangan ne­ga­ra. Terkait perkara ini, Kejaksaan Agung telah mengorek keterangan lebih dari 40 saksi.

Menurut Sekretaris Ke­men­terian Lingkungan Hidup Hermin Roosita, perkara dugaan korupsi ini, sebetulnya hanya kesalahan ad­­ministrasi. Terkadang, kata Her­min, para pegawai KLH ter­paksa melanggar ketentuan ad­ministrasi untuk menyesuaikan rute perjalanan dinas karena tugas kantor yang mendadak. Misal­nya, ketika berangkat dengan ti­ket Jakarta-Manado, pegawai ha­rus mengubah rute karena tiba-tiba harus bertugas ke Gorontalo.

Jika hal seperti itu terjadi, me­nurut Hermin, pegawai harus me­nyesuaikan jadwal tugas dengan pindah ke maskapai penerbangan lain, meski sudah booking. “Ti­dak ada unsur kesengajaan, apa­lagi untuk memperkaya diri sen­diri atau orang lain,” tegasnya.

Sebagai catatan, kasus ini su­dah cukup lama ditangani Ke­jak­saan Agung. Kejagung me­ne­tap­kan tiga pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Lingkungan Hidup sebagai tersangka. Ketiga tersangka dianggap berperan ter­hadap bocornya dana dan ve­ri­fi­kasi laporan pertanggungjawaban (LPJ) fiktif yang mengakibatkan ke­rugian keuangan negara. Akan tetapi, mereka tidak ditahan.

Modus operandi para tersangka itu adalah memalsukan laporan pertanggungjawaban dan me­nen­tu­kan besaran tarif perjalanan di­nas tidak sesuai fakta. Apalagi, pe­ngelolaan dana perjalanan di­nas diatur secara otonom di setiap satuan kerja. Namun, kebijakan otonom itu justru mengakibatkan penyimpangan penggunaan ang­garan negara. Ujung-ujung­nya, terjadi kerugian keuangan negara.

Amat Sukur ditetapkan sebagai tersangka karena dia yang men­cairkan dana. Sedangkan Su­lae­man berperan dalam mem­ve­ri­fi­kasi LPJ perjalanan dinas.

REKA ULANG

Belum Jadi Terdakwa Meski Disidik Sejak Oktober 2011

Proses penyidikan terhadap tiga tersangka kasus ini, dimulai pada Oktober tahun lalu. Lebih dari 40 saksi sudah diperiksa penyidik Kejaksaan Agung, tapi Bagian Penyidikan belum me­limpahkan perkara ini ke Bagian Penuntutan.

Kepala Pusat Penerangan Hu­kum Kejaksaan Agung terdahulu Adi Toegarisman beralasan, pro­ses pengusutan perkara ini masih berlangsung. Selain, karena be­lum diperoleh hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) me­ngenai jumlah kerugian negara yang pasti, penyidik juga masih mendalami keterkaitan sejumlah pihak dalam kasus tersebut.

“Kami telah meminta BPK un­tuk menghitung kerugian negara da­lam kasus ini. Hingga saat ini, kami masih menunggu hasil peng­hitungan dari BPK terse­but,” katanya di Gedung Ke­jak­saan Agung, Jalan Sultan Ha­sa­nuddin, Jakarta Selatan pada Ju­mat, 20 Juli lalu.

Pria yang kini menjabat se­ba­gai Direktur Penyidikan K­e­jak­saan Agung itu menambahkan, penyidik masih mendalami kasus tersebut untuk memperkuat buk­ti-bukti dalam pemberkasan. “Te­lah diperiksa sekitar 40 saksi. Ke­mudian, sudah dilakukan tin­da­kan hukum berupa penyitaan ter­hadap dokumen-dokumen SPPD dan bukti-bukti pertanggung­ja­wa­ban yang didu­ga fiktif,” kata Adi.

Kasus ini terjadi pada tahun ang­garan 2009 di Biro Umum Sek­retariat Kementerian Ling­ku­ngan Hidup terhadap DIPA APBN Belanja Perjalanan Dinas Umum Dalam Negeri dengan pagu Rp 9.474.713.000 dengan realisasi Rp 9.474.397.410. “Tapi, dalam pe­laksanaannya, pada pengeluaran atau belanja perjalanan dinas itu terdapat ke­giatan yang tidak di­laksanakan,” jelasnya.

Kemudian, lanjut Adi, Kepala Sub Bagian Akuntansi dan Ve­rifikasi Kementerian Lingkungan Hidup Sulaeman disangka mem­buat pertanggungjawaban fiktif yang seolah-olah terjadi pe­nge­luaran anggaran. Perbuatan Su­lae­man dalam membuat pe­r­tang­gungjawaban fiktif tersebut, kata­nya, diduga disetujui Kepala Biro Umum Pudji Hastuti selaku Kua­sa Pengguna Anggaran dan K­e­pala Bagian Keuangan KLH A­mat Syukur selaku Pejabat Pem­buat Komitmen I. “Kerugian ke­uangan negara yang ditimbulkan akibat perbua­tan mereka diduga sekitar Rp 1,2 miliar,” tandasnya.

Perkara tindak pidana korupsi ini sudah memasuki tahap penyi­dikan pada Oktober 2011. Akan tetapi, tiga tersangka kasus ter­se­but tidak ditahan.

Penyidik Kejaksaan Agung su­dah menetapkan tiga tersangka ka­sus ini. Pertama, bekas Kepala Biro Asdep Kelembagaan Ling­ku­ngan Deputi 7 Pudji Astuti, ber­da­sarkan Surat Perintah Penyi­di­kan Nomor: Print-132/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.

Kedua, Sulaeman, Kasubbag Ve­r­­ifikasi pada bagian Keuangan Biro Umum KLH berdasarkan Su­rat Perintah Penyidikan No­mor: Print-133/F.2/Fd.1/10/2010, tang­gal 5 Oktober 2011. Ketiga, Amat Syukur, Inspektur Ke­uangan KLH (Bekas Kabag Keuangan pada Biro Umum KLH) berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-134/F.2/Fd.1/10/2010, tanggal 5 Oktober 2011.

Tidak Boleh Mengambang

Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR De­ding Ishak berharap Kejak­sa­an Agung menuntaskan kasus korupsi yang ditanganinya ini. Apalagi, perkara yang ditangani itu masuk kategori kasus lawas.

“Tidak boleh dibiarkan me­ngambang. Tuntaskan semua perkara secara cepat dan cer­mat. Kecepatan dan kecermatan ini merupakan hal yang krusial. Supaya, orang-orang yang ter­sangkut perkara itu memiliki status hukum jelas. Tidak di­gan­tung-gantung,” kata ang­gota DPR dari Partai Golkar ini.

Dengan begitu, orang-orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, tidak merasa ter­san­dera. Kepastian hukum, sam­bung­nya, menjadi kunci dalam menentukan kepercayaan pub­lik kepada institusi kejaksaan.

Lantaran itu, Deding me­ngi­ngatkan, jaksa idealnya tidak bo­leh bersantai-santai dalam me­nangani perkara. Hal itu nan­tinya menjadi tolok ukur atau parameter dalam menilai ke­ber­hasilan Korps Adhyaksa mem­benahi institusinya.

Dia menambahkan, jika su­dah ada audit dari Badan Pe­me­riksa Keuangan (BPK), ke­jak­sa­an hendaknya mengambil tin­dakan tegas. Pelimpahan berkas perkara dari tingkat penyidikan ke penuntutan, tidak boleh di­tunda-tunda.

“Apalagi, bukti-bukti awal su­dah cukup. Segera saja lim­pah­kan ke penuntutan agar ma­suk tahap pembuktian atau per­sidangan,” katanya.

Jadi, pengusutan perkara ti­dak lagi terkesan berputar-putar alias hanya berkutat pada per­soa­lan yang tidak perlu. Dia me­nambahkan, anggapan jaksa dan tersangka yang menilai per­kara secara berbeda, menjadi hal yang wajar.

Hal tersebut, pesan dia,  hen­dak­nya men­dapatkan porsi yang proporsional. “Untuk itu, pe­na­nganan kasus ini di kejak­saan idealnya dilaksanakan se­cara tran­sparan,” tandasnya.

Target Pengusutan Mesti Terukur

Akhiruddin Mahjuddin, Koordinator Gerak Indonesia

Koordinator LSM Ge­ra­kan Rakyat Anti Korupsi (Ge­rak) Indonesia, Akhiruddin Mah­juddin menyatakan, me­ka­nisme penyidikan, pem­ber­ka­san per­ka­ra dan tuntutan ideal­nya men­da­pat perhatian semua pihak.

Hal itu mesti dilakukan agar target pengusutan perkara men­jadi jelas dan terukur. “Kasus ko­rupsi harus diselesaikan se­cara proporsional. Apalagi, pe­ngelolaan anggaran dinas rawan tindakan manipulatif,” katanya.

Akhiruddin menegaskan, di­perlukan ketentuan atau standar pelaksanaan yang jelas dan baku mengenai perjalanan di­nas. Ke­terangan yang me­nye­but, per­ja­lanan dinas sewaktu-wak­tu be­rubah tujuannya, hen­dak­nya di­ikuti bukti-bukti yang kon­kret. Bu­kan keterangan semata.

Perubahan tujuan perjalanan dinas, lanjutnya, harus di­du­kung fakta seputar kepentingan dan korelasinya dengan tugas pokok seseorang. “Jika tidak ada kaitan dengan tugas pokok seseorang, tentu perjalanan di­nas itu menjadi hal yang mem­boroskan keuangan negara,” ucapnya.

Menurut Akhiruddin, korupsi biaya perjalanan dinas selama ini agak sulit dideteksi. Soal­nya, terdapat beragam alasan yang bisa dijadikan tameng. Akan tetapi, menurutnya, pe­ne­gak hukum tidak boleh kalah. Rangkaian pemeriksaaan kasus dugaan korupsi perjalanan dinas hendaknya dilaksanakan secara teliti.

Akhiruddin meng­ga­ris­ba­wa­hi, pengusutan perkara seperti ini tidak boleh berhenti sampai tingkatan kepala biro keuangan saja. Tapi harus diusut hingga sam­pai tingkat yang lebih tinggi. “Jika perlu, menteri yang ber­sangkutan dimintai kete­rangan. Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban pim­pinan,” ujarnya.

Dia pun mengingatkan, bu­kan tidak mungkin, manipulasi nota perjalanan dinas juga ter­jadi di instansi pemerintah lainnya.   [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Ekonom: Pertumbuhan Ekonomi Akhir Tahun 2025 Tidak Alamiah

Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08

Lagu Natal Abadi, Mariah Carey Pecahkan Rekor Billboard

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46

Wakapolri Kirim 1.500 Personel Tambahan ke Lokasi Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45

BNPB: 92,5 Persen Jalan Nasional Terdampak Bencana Sumatera Sudah Diperbaiki

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09

Penerapan KUHP Baru Menuntut Kesiapan Aparat Penegak Hukum

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37

Ancol dan TMII Diserbu Ribuan Pengunjung Selama Libur Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26

Kebijakan WFA Sukses Dongkrak Sektor Ritel

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56

Dua Warga Pendatang Yahukimo Dianiaya OTK saat Natal, Satu Tewas

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42

21 Wilayah Bencana Sumatera Berstatus Transisi Darurat

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32

Jangan Sampai Aceh jadi Daerah Operasi Militer Gegara Bendera GAM

Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59

Selengkapnya