Fahd A Rafiq
Fahd A Rafiq
Keterangan mengenai hal ini, dikemukakan Ketua Majelis HaÂkim Suhartoyo. Dia meminta maaf karena belum bisa meramÂpunÂgkan putusan. Dia juga meÂminta waktu satu pekan untuk meÂnyelesaikan putusan perkara Fahd. Dengan demikian, agenda pembacaan putusan akan dilakuÂkan pada Selasa (11/12).
“Kami mohon maaf, pÂuÂtuÂsanÂnya belum bisa kami bacakan. Kami belum siap. Karena ada beÂberapa putusan lain yang kami taÂngani dan dikhawatirkan menjadi tidak sempurna,†katanya. Sidang beragenda pembacaan putusan kali ini pun berlansung singkat. Alias hanya butuh waktu lima menit.
Begitu hakim bubar, terdakwa diÂgelandang petugas Komisi PemÂberantasan Korupsi. PuluÂhan pendukung Fahd dari Satgas GeÂrakan Pemuda Musyawarah KeÂkeluargaan dan Gotong RoÂyong (Gema MKGR) pun ikut meÂmÂbuÂbarÂÂkan diri. Saat meÂninggalkan ruang sidang, Fahd mengaku, pasrah.
Dia mengaku siap menerima sanksi hukuman yang diputus haÂkim. “Saya berserah dan pasrah keÂpada Allah,†ucapnya. SÂeÂkaÂliÂpun demikian, ia juga mengÂhaÂrapÂkan, sanksi hukumannya bisa leÂbih ringan dibanding tuntutan jaksa.
Ia juga mengapresiasi duÂkuÂngan yang ditunjukkan Satgas MKGR. Dia mengaku, sama seÂkali tidak menduga akan dapat simÂpati dari organisasi yang diÂpimÂpinnya. “Mereka meÂnuÂnÂjuÂkan solidaritas,†ucapnya.
Fahd tak mengomentari panÂjang lebar soal tuntutan 3,5 tahun penÂjara yang diajukan jaksa. Lagi-lagi, dia berharap, hakim mampu menimbang semua bukti yang diÂungkap dalam persiÂdaÂngan. Dari bukti-bukti itu, dia yaÂkin, hakim bisa menilai dan meÂnimbang puÂtusan secara proporsional.
Dia juga ogah bicara seputar penetapan status tersangka pada koleganya, Andi Haris Surahman. Menurutnya, hal tersebut menjadi kewenangan penyidik. DikonfirÂmasi mengenai dugaan keterÂlibaÂtan nama-nama lain dalam kasus suap pembahasan anggaran Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), Fahd memilih bungkam.
Ia menyerahkan seluruh perÂtimÂbangan seputar hal tersebut ke taÂngan penegak hukum. Fahd pun tiÂdak memberi keterangan sepuÂtar langÂkah hukum apa yang akan diÂlakukan menghadapi vonis hakim nanti. Soalnya, fokus yang dihaÂdaÂpinya adalah menunggu vonis huÂkuÂman atas perkara yang melilitnya.
“Saya pasrah, menunggu putuÂsan hakim,†tuturnya. Fahd pun beÂlum berpikir untuk mengaÂjuÂkan banding seperti koleganya, terdakwa Wa Ode Nurhayati yang sebelumnya telah divonis empat tahun penjara.
Sebagaimana diketahui, Fahd dituduh melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a, Undang Undang NoÂmor 31 tahun 1999 tentang PemÂbeÂranÂtasan Tindak Pidana KoÂrupÂsi seÂbaÂgaimana telah diubah deÂngan UnÂdang Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jaksa menuntutnya hukuman penjara 3,5 tahun dikurangi masa tahanan. Jaksa menuntut Fahd denda Rp 100 juta. Apabila, terÂdakÂwa tidak sanggup membayar denda, terdakwa bisa mengÂganÂtiÂnya dengan kurungan badan seÂlaÂma empat bulan.
REKA ULANG
Dituntut 3 Tahun 6 Bulan Penjara
“Terdakwa Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Maka dari itu kami meminta majelis hakim menjatuhkan putusan kepada terÂdakwa Fahd el Fouz alias Fahd A Rafiq 3 tahun 6 bulan penjara diÂkuÂrangi masa tahanan dan pidana denda Rp 100 juta subsider empat bulan kurungan,†tulis jaksa daÂlam berkas tuntutan.
Jaksa Penuntut Umum dari KPK yang menangani kasus ini adalah, I Kadek Wiradana, Rini Triningsih, Ahmad Burhanuddin, dan Guntur Ferry. Surat dakwaan Fahd disusun dalam bentuk subÂsideritas, maka dakwaan primer harus dibuktikan lebih dulu. ApaÂbila terbukti, maka dakwaan subÂsider tidak perlu dibuktikan.
Jaksa menilai, perbuatan terÂdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemÂbeÂrantasan korupsi, kolusi, dan neÂpotisme. Pada bagian yang meÂrinÂgankan, jaksa menyebut, terÂdakwa bersikap sopan selama perÂsidangan, menyesal dengan peÂrbuatannya, dan masih meÂmiÂliki tanggungan keluarga dan anak yang masih balita.
Lebih jauh, jaksa menilai, Fahd bersalah karena memberi atau menjanjikan uang Rp 5,5 miliar melalui Haris Andi Surahman keÂpada penyelenggara negara atau anggota DPR periode 2009-2014, Wa Ode Nurhayati. Motivasi pemÂberian uang dilakukan agar proposal alokasi Dana PenÂyeÂsuaiÂan Infrastruktur Daerah (DPID) tiga kabupaten di Provinsi NangÂroe Aceh Darussalam, yakni Aceh Besar, Bener Meriah, dan Pidie Jaya pada 2011 diloloskan.
Pada 2010, Fahd mengetahui adanya dana alokasi daerah dari Haris. Kemudian, dia bersama HaÂris mencari orang yang mau meÂloloskan DPID buat tiga kaÂbupaten itu. Haris kemudian muÂlai mendekati Wa Ode Nurhayati.
Haris lalu menghubungi SyaÂrief Achmad. Bekas tim sukses Wa Ode Nurhayati. Dia meminta diÂpertemukan dengan Wa Ode. Syarif pun menyanggupi. KeÂmuÂdian, Syarif dan Haris bertemu Wa Ode di sebuah Restoran di JaÂlan Gatot Subroto, Jakarta.
Saat itu dia menyampaikan perÂÂminÂtaÂan Fahd agar tiga kaÂbupaten di ProÂvinsi NAD dapat DPID. Wa Ode setuju dan mau mengusaÂhaÂkan serta meminta proposal.
Pada Oktober 2010, Fahd dan Haris bertemu Wa Ode di ruang kerjanya di Gedung DPR dan meÂngulang permintaan agar meÂngusahakan tiga kabupaten itu menerima dana DPID masing-maÂsing sebesar Rp 40 miliar. Wa Ode meminta imbalan lima samÂpai enam persen dari total angÂgaran yang turun.
Fahd kemudian menghubungi Zamzami (Kepala Dinas PekerÂjaan Umum di Aceh Besar dan PiÂdie Jaya) agar menyiapkan proÂpoÂsal dan uang Rp 7,34 miliar buat pengurusan dana DPID di dua kabupaten itu. Dia pun memÂberikan uang secara bertahap sejak 7 Oktober 2010 sampai 27 Oktober 2010.
Fahd juga menghubungi ArÂmaida (Kepala Dinas PU KaÂbuÂpaten Bener Meriah) dan minta diÂsiapkan proposal dan uang Rp 5,65 miliar. Armaida menyeÂrahÂkan uang itu tiga kali, yakni pada 18 Oktober 2010, 4 NoÂvemÂber 2010, dan 22 Desember 2010.
Setelah Fahd menerima uang dan proposal dari dua kepala dinas pekerjaan umum itu, dia lalu menyerahkan uang imbalan kepada Wa Ode sebesar Rp 6 miliar melalui Haris. Dari total uang itu, Haris mengambil jatah Rp 500 juta.
Haris kemudian memberikan uang itu ke sekretaris pribadi Wa Ode, Sefa Yolanda, dengan cara transfer bertahap di Bank Mandiri kantor cabang pembantu DPR.
Menurut jaksa, Fahd terbukti seÂcara sah dan meyakinkan mÂeÂlaÂkukan tindak pidana korupsi seÂcara bersama-sama dalam dakÂwaÂan primer.
Jangan Sampai Integritas Hakim Ternoda Lobi-lobi
Herman Hery, Anggota Komisi III DPR
Politisi PDIP Herman Hery menilai, penundaan pembacaan puÂtusan atau vonis suatu perÂkara sebagai hal yang wajar. ProÂses ini idealnya direspon seÂcara positif. Apalagi, hakim yang menangani perkara terseÂbut adalah hakim yang selama ini punya kredibilitas di bidangnya.
“Kita harus merespon penunÂdaan itu dengan sikap yang poÂsitif. Artinya, jangan kita beÂrÂprasangka buruk dulu,†ujarnya. Dia mengingatkan, penundaan putusan perkara dengan terdÂakÂwa Fahd diikuti permintaan maaf hakim. Hal tersebut tenÂtunya harus bisa diterima secara proporsional.
Belum tentu, bilangnya, masa satu minggu ke depan akan memÂbuat hakim-hakim kasus ini menjadi masuk angin. Dia menyatakan, justru kemungÂkinan putusan hakim lebih proÂporsional dan profesional.
“Mereka kan menangani baÂnyak perkara. Jadi konsentrasi mereka harus fokus. Sulit untuk menangani perkara yang terÂlampau banyak. Jadi penundaan ini masih dalam batas kewajÂaÂran,†ucapnya.
Dia melihat, proses persidaÂngan kasus ini sudah berjalan seÂcara baik. Hakim maupun jakÂsa sebut dia, menunjukkan siÂkap tegas dalam mendalami fakta-fakta persidangan.
“Jadi seÂbaiknya, usaha hakim itu diÂkawal oleh semua lapisan masyarakat. Jangan sampai inÂtegritas hakim tersebut ternoda akibat lobi-lobi pihak tak berÂtanggungjawab.â€
Herman pun yakin bahwa integritas hakim-hakim Tipikor sudah baik. Oleh karenanya, dia meminta, sebelum keluar putuÂsan hukum yang tetap, keÂcuÂriÂgaan-kecurigaan tidak berdasar terkait ketidakprofesionalan haÂkim dikesampingkan. “Kita jaÂngan terlalu terburu-buru meÂnilai hakim. Karena saya yakin, mereka menjunjung tinggi harÂkat dan pedoman etika profesi mÂereka,†imbuhnya.
Kerawanan Pada Masa Penantian Putusan Hakim
Boyamin Saiman, Koordinator MAKI
Koordinator LSM MÂaÂsyaÂrakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan, kualitas putusan hakim bisa diÂukur setelah pembacaan putuÂsan dilakukan. Tapi, tingkat keÂraÂwanan akan adanya keÂcuÂrangan sangat ditentukan pada masa penantian seperti sekarang.
“Waktu satu minggu ini bisa diÂmanfaatkan pihak-pihak terÂtentu untuk melakukan keÂcuÂraÂngan-kecurangan,†katanya. SeÂbab, lanjutnya, masa penundaan pembacaan putusan bisa diÂmanÂfaatkan pihak berperkara untuk melobi hakim.
Tapi apapun yang terÂjadi, nilai dia, hakim-hakim perkara Fahd sudah memiliki pengaÂlaÂman menangani hal semacam ini. Justru, kata Boyamin, jika ada pihak-pihak berperkara yang mencoba mempengaruhi putusan, bakal dijatuhi sanksi berat. Jadi, kata dia, usaha siapa pun untuk mempengaruhi proÂduk putusan hakim, bisa jadi buÂmerang.
“Bisa berbalik arah, maÂlah membuat hakim menjatuhkan vonis maksimal,†tuturnya.
Dia yakin, hakim-hakim kaÂsus ini profesional. Dengan siÂkap profesional tersebut, maka hakim-hakim akan fokus dalam menimbang semua bukti yang memberatkan maupun yang meÂringankan terdakwa.
“Jadi piÂlihan untuk memasÂrahÂkan putusan sepenuhnya ke tangan hakim adalah langkah tepat,†ucapnya.
Dari situ terlihat, bagaimana terÂdakwa menunjukan keÂtaaÂtanÂÂÂnya pada proses hukum yang ada. “Ini tentu juga jadi perÂtimÂbangan hakim dalam meÂÂÂneÂnÂtuÂkan putusan hukuÂman,†kaÂtaÂnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30