Berita

Siti Fadillah Supari

X-Files

Jaksa KPK Belum Sita Aset Bekas Menkes

Meski Sudah Diperintah Majelis Hakim
SABTU, 01 DESEMBER 2012 | 10:02 WIB

KPK belum memutuskan, kapan akan melaksanakan perintah eksekusi atau menyita aset milik bekas Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari dan saksi lain kasus korupsi pengadaan alat kesehatan tahun 2007. Rencana eksekusi ini mencuat setelah hakim memutus perkara atas nama terdakwa Rustam Pakaya dengan hukuman empat tahun penjara.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo menya­ta­kan, kendala eksekusi aset ter­pidana masih berhubungan de­ngan belum diterimanya salinan putusan. Dia menerangkan, ek­se­kusi aset terpidana Rustam Pa­kaya akan dilakukan jaksa KPK. “Kita perlu tunggu salinan putu­san lebih dulu,” katanya.

Dia menyatakan, eksekusi aset Rustam yang diduga menerima dana Rp 4,9 miliar tersebut nyaris tidak ada kendala. Maksudnya, me­kanisme eksekusi atau penyi­ta­an aset terpidana yang satu ini bisa dilakukan sama seperti pe­nyitaan aset terpidana lainnya. Yang penting, hal yang men­dasari eksekusi itu jelas.

“Sudah ada putusan hukum yang mengikat dan ada salinan putusan dari Pengadilan Tipikor.” Dengan kata lain, jaksa di KPK siap melaksanakan perintah ek­sekusi aset terpidana bekas Ke­pala Pusat Penanggulangan Kr­i­sis Departemen Kesehatan yang menerima dana Rp 4,9 miliar.

Dana berbentuk Mandiri Tra­veller Cheque (MTC) itu di­per­oleh Rustam dari rekanan proyek, Direktur PT Graha Ismaya (GI) Masrizal Ahmad Syarief.

Sehubungan dengan aliran dana yang digelontorkan ke ko­lega-kolega Rustam, Johan me­nam­bah­kan, jaksa KPK akan te­tap men­jalankan perintah hakim. Jadi, me­nurutnya, perintah ek­se­kusi aset pada nama lain yang be­lum dijatuhi vonis hukuman, menjadi patokan bagi KPK dalam melaksanakan tugas dan tang­gungjawabnya.

Hanya saja, tambah Johan, jak­sa KPK mempunyai me­ka­nis­me tersendiri untuk me­lak­sa­na­kan ek­sekusi aset seperti yang di­p­e­rintahkan hakim. “Sejauh ini ma­sih kita pelajari apa me­ka­ni­s­me yang akan ditempuh,” ucapnya.

Dia menambahkan, penilaian hakim bahwa ada sejumlah nama yang kecipratan dana dari Rus­tam, tentunya dilandasi pada ke­saksian dan barang bukti yang ada. Apa­lagi, dalam dakwaan Rus­tam Pa­kaya, jaksa menye­butkan adanya aliran dana yang diterima bekas Menkes dan nama lainnya.

Dia membeberkan, sejauh  ini jaksa KPK pernah mengalami hal serupa. “Pernah ada juga perintah hakim yang seperti itu. Kita tetap bisa mematuhi dan menjalankan perintah itu,” ucapnya.

Dia menambahkan,  dari sisi ha­kim, perintah itu sah-sah saja. Mengingat hakim adalah pihak yang paling berkompeten menilai dan memutus perkara. “Kalau ti­dak menjalankan perintah hakim, lalu siapa lagi yang harus di­lak­sa­nakan,” ucapnya.

Diketahui, dalam sidang kasus ini, hakim menyatakan bahwa se­bagian uang Rp 4,9 miliar itu, oleh Rustam dibagi ke pihak lain. Pihak-pihak lain itu antara lain,

Siti Fadilah Supari. Bekas Men­kes itu, disebut mendapat ja­tah hasil korupsi pengadaan alat ke­sehatan (alkes) 1 untuk kebu­tuhan Pusat Penanggulangan Kri­sis Departemen Kesehatan dari dana Daftar Isian Pelaksana Ang­garan (DIPA) Revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2007.

Uang yang diterima Siti berupa MTC, jumlahnya Rp 1,275 miliar. Menanggapi hal tersebut, Siti menyatakan, belum me­ne­rima kabar maupun surat terkait perintah eksekusi aset tersebut.

Dia menilai, putusan hakim mengenai penyitaan aset tersebut baru berdasarkan tuduhan pada ter­dakwa Rustam Pakaya. Sebe­lumnya, dia sudah berkali-kali membantah tuduhan tersebut. Me­nurutnya, dia tidak pernah me­neri­ma aliran dana traveller’s che­que senilai Rp 1,275 miliar dari Rus­tam. “Nggak ada, nggak ada buk­­­ti­nya. Saya nggak pernah me­nguang­kan apa-apa,” katanya.

REKA ULANG

Siti Kesenggol Rustam Pakaya

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menggelar persidangan kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun 2007 dengan terdakwa bekas Kepala Pu­sat Penanggulangan Krisis Dep­kes Rustam Syarifuddin Pakaya.

Bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari sudah pernah men­jadi saksi dalam persidangan ini. Saat menjadi saksi, Siti yang me­ngenakan busana batik ber­war­na cokelat itu, mengaku siap mem­be­rikan kesaksian. Namun, dia me­ngaku bingung mengapa kasus ini bisa membawa-bawa nama­nya. “Saya bingung kenapa bisa diba­wa-bawa,” ujarnya di Pe­nga­di­lan Tipikor Jakarta, Selasa (9/10).

Dalam surat dakwaan Rustam, disebutkan bahwa Rustam pernah memberikan cek sebesar Rp 1,27 miliar kepada Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Dalam sidang pada Kamis (9/8), jaksa penuntut umum (JPU) Agus Salim menga­ta­kan, Rustam memberikan dana Rp 1,27 miliar dalam bentuk man­diri traveller’s cheque (MTC) ke­pada Siti Fadilah.

Cek tersebut diberikan atas upaya Rustam mengarahkan pe­ngadaan pada merek atau produk tertentu, dengan meminta dana dari PT Graha Ismaya. Dana itu kemudian dibagi Rustam ke se­jum­lah pihak. “Yaitu mem­per­kaya diri terdakwa sebesar Rp 2,47 miliar dan orang lain yaitu Siti Fadilah Supari sebesar Rp 1,27 miliar,” ujar jaksa Agus Salim.

Saat dikonfirmasi, bekas Men­teri Kesehatan Siti Fadilah Su­pari mengaku tidak pernah me­ne­rima uang terkait kasus itu. “JPU men­dakwa Rustam dengan menyebut memberi uang ke saya sejumlah itu. Saya tidak me­nger­ti itu. Saya tidak pernah terima uang,” ujarnya ketika dihubungi Rak­yat Merdeka.

Selanjutnya, Siti meminta agar dakwaan yang dialamatkan ke­pada Rustam tidak dikait-kaitkan kepada dirinya. “Saya mem­ban­tah dakwaan bahwa saya me­ne­rima uang itu. Saya tidak tahu menahu soal aliran dana itu,” ujar anggota De­wan Pertimbangan Presiden ini.

Saat dikonfirmasi, bekas Men­teri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengaku tidak pernah menerima uang terkait kasus itu. “JPU men­dakwa Rustam dengan menyebut memberi uang ke saya sejumlah itu. Saya tidak mengerti itu. Saya ti­dak pernah terima uang,” ujar­nya dalam suatu kesempatan ke­pada Rakyat Merdeka.

Selanjutnya, Siti meminta agar dak­waan yang dialamatkan ke­pada Rustam tidak dikait-kaitkan kepada dirinya. “Saya memb­an­tah dakwaan bahwa saya me­ne­rima uang itu. Saya tidak tahu menahu soal aliran dana itu,” ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.

Tidak hanya Siti Fadilah, da­lam surat dakwaan juga tertulis nama-nama lain yang menerima uang yakni ELS Mangundap Rp 850 juta, Amir Syamsuddin Ishak Rp 100 juta, Gunadi Soekemi Rp 100 juta, Tan Suhartono Rp 150 juta, Tengku Luckman Si­­nar Rp 25 juta, PT Indofarma Glo­bal Medika Rp 1,763 miliar dan PT Graha Ismaya Rp 15,226 miliar. Namun, tidak dijelaskan secara rinci jabatan orang-orang yang di­duga juga menerima uang tersebut.

Dalam kasus ini, Rustam di­dak­­wa merugikan ne­gara sebesar Rp 22,051 miliar.  Ma­jelis ha­kim mem­vonis Rustam hu­­ku­man em­pat tahun penjara.

Khawatir Masalah KPK Bertambah

Hendardi, Direktur Setara Institut

Direktur Eksekutif Setara Institut Hendardi mengi­ngat­kan, sikap hakim me­me­rin­tah­kan eksekusi aset bekas Menkes dan pihak lainnya perlu dicer­ma­ti secara teliti. Jangan sam­pai, langkah tersebut justru men­cederai proses penegakan hukum. “Saya kira kalau fak­tanya demikian, terlalu be­r­le­bihan,” katanya.

Masalahnya, nama-nama orang yang diduga menerima ali­ran dana tersebut, belum ma­suk sebagai tersangka, apalagi terpidana. Artinya, belum ada da­sar hukum yang kuat untuk melakukan eksekusi.

Dia bilang, proses eksekusi baru bisa dilaksanakan bila su­dah ada ketetapan  atau ke­pas­tian hukum yang mengikat. Atau dalam bahasa hukum, su­dah incraht. Makanya, Hen­dardi menyarankan, jaksa KPK hati-hati dalam melaksanakan perintah hakim tersebut. Jangan sampai, hal ini menjadi bu­me­rang bagi KPK yang sedang menghadapi berbagai masalah. “Jangan sampai menambah ma­salah KPK,” wanti-wantinya.

Hendardi menambahkan, pada sisi lain, pertimbangan ha­kim agar jaksa segara me­ng­ek­sekusi aset orang-orang yang di­duga menerima dana dari ter­pi­dana Rustam Pakaya, ke­mungkinan ditujukan agar dana tersebut dapat dipakai untuk mengganti kerugian negara.

Namun langkah tersebut, idealnya disandarkan pada pola atau aturan hukum positif yang ada. Bukan dilaksanakan de­ngan cara-cara yang justru me­langgar hukum.  Dia pun me­minta, KPK tidak over acting dalam menerjemahkan perintah hakim kali ini.  

Masalahnya, nama orang yang diduga men­dapat dana dari Rustam Pakaya, sama se­kali belum terbukti ber­salah di persidangan. “Jadi ha­rus me­ngedepankan azas pra­duga tak bersalah.”

Blokir Saja Sebelum Terbukti Bersalah

Syarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPR

Politisi Partai Hanura Syari­fuddin Suding meminta hakim cer­mat dalam menimbang dan memutus perkara. Maksudnya, perintah eksekusi aset yang diduga hasil korupsi, idealnya tak melampaui batas kelaziman hukum acara pidana.

Menurut dia, idealnya peri­n­tah eksekusi aset dilaksanakan begitu seseorang dinyatakan ter­bukti bersalah. Jadi dengan kata lain, orang-orang yang na­ma­nya diduga terlibat perkara harus dibuktikan dulu keter­li­ba­tannya atau kesalahannya.

“Mereka harus dihadirkan di per­sidangan lebih dulu, dibuk­ti­kan kesalahannya baru disita aset­nya untuk negara. Jika pu­tu­­san eksekusi aset itu dila­k­sa­na­kan, maka hal itu bisa dika­te­go­rikan sebagai putusan yang me­lam­paui kewenangan pengadilan.”

Memang, diakuinya, perintah eksekusi aset kali ini ditujukan kepada sejumlah nama yang di­d­uga terkait kasus ini. Tapi lebih elok dan bijaksana apa­bila, perintah hakim ini di­sam­paikan setelah mereka di­nya­ta­kan ter­bukti bersalah. “Ba­gai­mana bila nama-nama orang yang ha­r­tanya disita tersebut, ternyata di persidangan nan­tinya tidak ter­bukti bersalah?” ucapnya.

Hal ini dikhawatirkan justru memicu munculnya persoalan baru. Ironis lagi, putusan ekse­kusi bisa mendiskreditkan orang yang belum tentu ber­sa­lah. “Pa­dahal proses per­si­da­ngan buat me­reka belum ber­jalan,” katanya.

Oleh karena itu, sekalipun mengapresiasi keberanian ha­kim, toh dia merasa aneh d­e­ngan ketegasan hakim kali ini. Dia menjelaskan, semestinya, ha­kim tidak buru-buru meme­rin­tahkan eksekusi aset ter­se­but. Melainkan, meminta pe­nyidik fokus memblokir atau mem­bekukan aset orang-orang yang dijadikan tersangka kasus ini.

Jadi, sambungnya, begitu pu­tusan pengadilan menya­takan mereka tidak terbukti bersalah, proses pembukaan blokir reke­ning atau pembekuan aset itu bisa mudah dilakukan. D­e­mi­kian pula sebaliknya. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya