Berita

PT Askrindo

X-Files

Terdakwa Terima Investasi Sebelum Dapat Izin Bapepam

Lanjutan Kasus Askrindo Di Pengadilan Tipikor
KAMIS, 22 NOVEMBER 2012 | 09:12 WIB

.Hakim mencecar terdakwa Markus Suryawan dan Beni Andreas. Tindakan PT Jakarta Investmen dan Jakarta Aset Managemen menerima dana investasi dari PT Askrindo berupa kontrak pengelolaan dana, repo saham dan obligasi, diduga menyalahi aturan Bapepam.

Terdakwa Markus mengakui, perusahaan manajer investasi seharusnya tidak menerima dana investasi sebelum dapat izin Ba­dan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK). Tapi dia bersikukuh, ada pengecualian untuk itu.

“Menurut saya, tanpa izin Ba­pe­pam, repo saham bisa, tapi yang lain tidak,” ujar Direktur PT Ja­karta Inv­es­t­ment (JI) dan Ja­karta Aset Manajemen (JAM) ini dalam sidang di Pengadilan Ti­pi­kor, Jakarta Selasa siang (20/11).

Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Pangeran Napitupulu, Markus mengklaim, perusahaan manajer investasi yang dikelolanya telah me­la­ku­kan penempatan dana kepada se­mua penerima dana kelolaan me­lalui prosedur yang benar. Arti­nya, menurut terdakwa, p­e­ne­ri­maan dana dari PT Asuransi Kre­dit Indonesia (Askrindo) di­la­ku­kan setelah melalui due-diligen dan audit, serta menerapkan un­sur kehati-hatian.

Bahkan, lanjut Markus, distri­busi dana ke PT Vitron yang kini ber­masalah, sebelumnya di­la­ku­kan de­ngan mengedepankan un­sur ke­hati-hatian. Markus pun me­ngaku sem­pat mengecek lang­sung ke pab­rik PT Vitron di Zen­chen, China.

Persoalannya, tak semua peng­guna dana bertanggung jawab terhadap kewajibannya. Markus menyebut, Vitron yang dikelola tersangka Tommy dan manager investasi RAM yang dikelola Josep Ginting sebagai salah satu pi­hak yang menerima dana ke­lo­laan dari JI dan JAM, melarikan diri. Akibatnya, muncul per­soa­lan kredit macet yang merugikan keuangan negara, mengingat PT Asuransi Kredit Indonesia (As­krindo) termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Hakim Pangeran Napitupulu ber­tanya, “Apakah PT Tranka Kabel membayar kewa­ji­ban­nya?” Markus menjawab, PT Tranka Kabel (TK) mencicil ke­wajibannya. Pembayaran dil­a­ku­kan sesuai jadwal senilai Rp 63 miliar, sisanya Rp 62,5 miliar, be­lum masuk masa jatuh tempo. To­tal utang PT TK Rp 125,5 miliar.

Pangeran kembali bertanya kepada Markus, “Siapa nasabah yang tidak membayar kewa­ji­ban­nya?” Markus menjawab,  pe­ru­sa­haan yang belum membayar kewajibannya adalah PT Vitron, PT Indowan dan PT MMI, karena perusahaan-perusahaan itu sudah tidak aktif dan pemiliknya ada yang melarikan diri.

“Jika peng­guna dana tersebut membayar kewajiban mereka terhadap JI dan JAM, tentu hal ini tidak akan menjadi perkara hu­kum seperti sekarang,” katanya.

Mendengar pernyataan Mar­kus, jaksa penuntut umum (JPU) Esther P Sibuea bertanya, kenapa terdakwa, dalam hal ini PT JI dan JAM tak menyetorkan pem­ba­ya­ran PT TK sebesar Rp 35 miliar dan Rp 28 miliar kepada Askrindo?

Menjawab hal ini, Markus menunjukkan bukti pembayaran kepada Askrindo sebesar Rp 28 miliar. Lagi-lagi, dia menyatakan, perusahaan lain seperti Indowan, Vitron dan Multi Megah Inter­nusa (MMI)  belum me­nye­le­sai­kan kewajibannya. “Jadi, begitu menurut Anda. Baik kalau be­gi­tu,” tandas hakim Pangeran.

Pada bagian lain, JPU Ester mem­pertanyakan, mengapa pem­bayaran yang diterima manajer investasi PT JS dimasukkan ke rekening pribadi terdakwa. Beni menjawab, di PT JS, dia menjabat Direktur dan terdakwa Markus se­bagai pemegang saham. Se­dang­kan di PT JI, terdakwa Mar­kus yang menjabat Direktur. Di PT JI, Beni sebagai pemegang saham. Kantor kedua perusahaan manajer investasi itu berada pada gedung yang sama.

Lebih jauh, jaksa Tasjrifin me­negaskan, izin Bapepam adalah lan­dasan perusahaan manajer investasi untuk melakukan kon­trak investasi. Beni mengakui, me­m­ang ada kontrak yang belum mendapat lisensi Bapepam. Dia mencontohkan, saat mengikat kontrak kerja dengan Askrindo un­tuk investasi ke sejumlah pe­rusahaan pengguna dana, PT JAM belum mendapat lisensi Bapepam.

Namun, Markus bersikukuh, tindakannya tidak bisa disa­lah­kan. Soalnya, realisasi kontrak yang di­ajukan JI dan JAM dis­e­tujui As­krindo pada 2006. Dalam kontrak itu,  JAM mendapat rek­sa­­dana Rp 5 miliar dan KPD Rp 48 miliar. Un­tuk JI, KPD se­nilai Rp 5 mi­liar, repo saham Rp 133 miliar dan obligasi Rp 12 milliar.

Reka Ulang

Ada Nasabah Yang Diduga Kabur Dan Perusahaannya Dinonaktifkan

Beni Andreas dan Markus Sur­ya­wan didakwa merugikan ke­uangan negara Rp 267 miliar. Hal itu di­dasari dugaan m­e­ne­ri­ma pe­nem­pa­tan investasi dari PT Asuransi Kre­dit Indonesia (As­krindo) berupa kontrak pe­ng­e­lo­laan dana (KPD), penjualan dan pembelian saham kembali (repo saham) serta ob­li­gasi kepada pe­rusahaan pengelola in­vestasi di pa­sar modal, atau pe­­ru­sa­haan man­ajer investasi.

Perkara yang menjerat kedua terdakwa, berawal ketika perusa­haan manajer investasi milik me­reka, yaitu PT Jakarta Investmen (PT JI) dan Jakarta Aset M­a­na­ge­ment (PT JAM) tidak mengem­bali­kan dana pembayaran para nasabah JI dan JAM kepada PT Askrindo.

Se­telah kasus ini di­bawa ke per­si­dangan, baru di­ke­tahui bah­wa JI dan JAM tidak mem­ba­yarkan dana yang telah diba­yar­kan be­be­rapa na­sabahnya kepada As­krin­do, bahkan ada yang di­transfer ke rekening pri­badi terdakwa.

Belakangan juga diketahui, beberapa perusahaan yang men­jadi nasabah kedua perusahaan terdakwa, pemiliknya ada yang melarikan diri dan perusahaannya telah dinonaktifkan pemiliknya. Akibatnya, perusahaan manager investasi JI dan JAM tidak dapat mengembalikan dana Askrindo.

Selain didakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain, Mar­kus dan Benny juga dijerat pasal pencucian uang. Menurut jaksa pe­nuntut umum (JPU), kedua ter­­dakwa telah menggunakan uang pengembalian atau pem­ba­yaran nasabah untuk membeli se­jumlah aset, diantaranya be­ru­p­a beberapa apartemen mewah di Jakarta.

Delik pencucian uang di­te­rap­kan karena PT JAM serta JI di­du­ga terlibat persekongkolan de­ngan oknum pejabat di PT As­krin­do. Hal itu telah menye­bab­kan dua direksi Askrindo, Zulfan Lubis dan Rene Setiawan yang per­sidangannya lebih dahulu di­lakukan, dijatuhi hukuman 6 ta­hun dan 5 Tahun penjara oleh Maj­elis Hakim Pengadilan Tipi­kor Jakarta yang diketuai Pa­nge­ran Napitupulu.

Nilai penempatan dana PT Askrindo kepada PT JAM, PT JI dan berupa KPD, repo saham serta titip jual obligasi, totalnya se­besar Rp 267 miliar. Angka ini pula yang dianggap jaksa sebagai kerugian negara.

Secara umum, berdasarkan data Badan Pengawas Pasar Mo­dal dan Lembaga Keuangan (Ba­pe­pam LK), penempatan inves­tasi dalam berbagai bentuk itu dilakukan melalui lima pe­ru­sa­ha­an manajer investasi.

Kelima pe­ru­sahaan pe­ngelola aset itu yak­ni, PT Har­ves­tindo As­set Ma­na­gement (HAM), PT Jakarta In­vestment (JI), PT Re­liance Asset Management (RAM), PT Batavia Prosperindo Financial Services (BPFS) dan PT Jakarta Se­curities (JS).

Saksi & Terdakwa Ditimbang Secara Proporsional

Daday Hudaya, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Da­day Hudaya meminta majelis hakim mempertimbangkan se­lu­ruh fakta yang berkembang da­lam persidangan kasus Askrindo.

Semua bentuk bukti yang ter­kait perkara korupsi ini, lanjut Daday, idealnya diperiksa seca­ra intensif. “Hakim-hakim di sini, saya rasa sangat be­r­pe­nga­laman dalam menggali fakta dan bukti-bukti,” kata anggota DPR dari Partai Demokrat ini.

Kata Daday, keterangan saksi, saksi ahli maupun ter­dak­wa, hendaknya juga ditimbang secara proporsional. Dari situ, pu­tusan majelis hakim Pe­nga­dilan Tindak Pidana Korupsi (Ti­pikor) Jakarta yang me­na­nga­ni perkara ini, akan obyektif.

Menurutnya, upaya terdakwa menarik kesimpulan bahwa tin­dakannya tidak layak di­ka­te­gorikan sebagai korupsi, adalah hal lumrah dalam persidangan. “Hal itu adalah pandangan sub­yektif terdakwa,” katanya.

Karena itulah, katanya, pem­belaan diri harus dilanjutkan ke tahap pembuktian yang ko­m­pleks dan teliti. Seluruh ke­te­rangan para saksi, barang bukti, dakwaan jaksa dan keterangan terdakwa, menjadi faktor kunci dalam memutus perkara.

Jadi, langkah hakim me­mu­tus perkara, semestinya me­mang selalu berlandaskan pada hal-hal yang terungkap di per­si­dangan. Dia menyayangkan bila hakim tidak konsekuen pada pertimbangannya. Mak­sudnya, jangan sampai hakim dapat dipengaruhi pihak luar yang sengaja menciptakan opi­ni tertentu.

Dia meyakini, usaha hakim menimbang perkara, semata-mata ditujukan agar dapat me­mutus perkara secara obyektif. Untuk itu, banyak teknis dan mekanisme yang diterapkan hakim dalam mengumpulkan dan menilai semua fakta per­sidangan.

Masih Ada Yang Belum Tersentuh Hukum

Daniel Martin, Sekjen PKP

Sekjen LSM Pengawasan Kinerja Aparatur Pemerintahan (PKP) Daniel Martin menilai, perkara korupsi dan pencucian uang PT Askrindo sangat kom­pleks. Oleh sebab itu, perlu ke­cer­matan hakim dalam menim­bang dan memutus perkara.

 â€œHal itu dilakukan agar pi­hak-pihak yang diduga terlibat dan terbukti bersalah di per­sidangan mendapat sanksi te­gas,” ujarnya.

Dia mengingatkan, idealnya jangan sampai ada pihak yang lolos dari jerat hukum kasus ini. Namun, lanjutnya, pengusutan perkara ini jangan sampai salah sasaran. Hakim pun, men­ur­ut­nya, mesti berani mengambil ke­putusan yang adil.

Daniel pun meminta penegak hukum lebih serius menangani kasus ini. Sebab, masih ada ter­sangka yang buron alias belum tersentuh hukum. Padahal, dua buronan itu, punya peran sig­ni­fi­kan dalam skandal ini.

“Lakukan perburuan secara mak­simal agar tidak ada yang merasa dikorbankan dalam persoalan ini, “ ucapnya.

Daniel mengkategorikan, tindak pidana dalam perkara ini begitu kompleks. Karenanya, dia lagi-lagi meminta, koor­di­nasi antar lembaga dii­n­ten­sif­kan. Termasuk, meningkatkan pengawasan pada perusahaan jasa pengelolaan investasi dan keuangan.

Dia m­e­nu­turkan, pe­nye­le­we­ngan dari produk jasa investasi dan keuangan seperti ini bisa berakibat buruk pada dunia usa­ha keuangan dan pasar modal kh­ususnya dan pada pe­r­eko­no­mian negara pada umumnya. Jadi, tambah dia, kasus ini harus diselesaikan hingga benar-be­nar tuntas. “Jangan sampai ber­henti sampai di sini.” [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya