Humphrey Djemat
Humphrey Djemat
Padahal, keberadaannya saÂngat dibutuhkan. Semasa Satgas bekerja telah 72 TKI terbebas dari huÂkuman mati di lima negara, yakni Arab Saudi, Malaysia, ChiÂna, Iran, dan Singapura.
Seandainya Satgas masih aktif, tentu akan menangani secara seÂrius pemerkosaan TKI yang dilaÂkuÂkan tiga polisi Malaysia.
Satgas selalu berbuat nyata, buÂkan obral kata-kata seperti seÂring dilakukan pejabat Indonesia bila TKI bermasalah di luar neÂgeri.
Menanggapi hal itu, bekas Juru Bicara Satuan Tugas Warga NeÂgara Indonesia/Tenaga Kerja InÂdoÂnesia (Satgas WNI/TKI) HumÂphrey Djemat mengatakan, samÂpai saat ini Presiden SBY belum secara resmi membubarkan Satgas TKI.
‘’Berdasarkan Keppres masa kerÂja Satgas berakhir 7 Juli 2012. Makanya kami tidak bisa berÂbuat terhadap TKI diperkosa tiga polisi Malaysia,’’ papar HumÂphrey Djemat kepada RakÂyat Merdeka, kemarin.
Menurut Ketua Umum AsoÂsiasi Advokat Indonesia (AAI) itu, saat ini kurang adanya koorÂdinasi dalam penanganan perlinÂdungan hukum terhadap TKI.
Berikut kutipan selengkapnya;
Kalau Satgas masih aktif, apa bisa melakukan tindakan nyÂaÂta untuk membela TKI yang diperkosa itu?
Tentu. Sudah pasti kami melaÂkukan tindakan nyata. Sebab, saat Satgas TKI masih ada pendekatan seÂcara efektif dengan berbagai piÂhÂak di Malaysia. Ini sudah berÂjalan dengan baik, sehingga baÂnyak TKI yang telah dilepaskan dari ancaman hukuman mati.
Apa kelebihan Satgas?
Koordinasinya yang baik deÂngan berbagai kementerian. TinÂdakannya cepat dan efektif. Ini sudak dibuktikan semasa Satgas maÂsih eksis. Namun sayangnya keÂmenterian yang ada kurang bisa mengoptimalkan pencapaian yang dilakukan Satgas.
Anda kecewa?
Tentu. Saya merasa risih dan priÂhatin terhadap kejadian yang berÂulang-kali dialami TKI di MaÂlayÂsia. Pemerkosaan itu tindakan sangat biadab dan brutal. Apalagi dilakukan polisi yang seharusnya melindungi setiap orang, apapun latar belakang kebangsaannya maupun profesi pekerjaannya.
Apa Anda melihat ada tinÂdakÂan diskriminatif?
Selama bertugas di Satgas telah meÂlihat secara langsung hal terÂsebut. Saat berkunjungan ke penÂjara di Malaysia ada 2 TKI laki-laki yang dihukum 21 tahun dan 28 tahun penjara. Mereka berdua dituduh melakukan pemerkosaan terhadap wanita Malaysia.
Padahal kejadiannya atas dasar saling suka. Bahkan di antara meÂreka ada yang sudah kawin dan mempunyai anak. Namun kaÂrena orang tua keluarga wanita tidak menyukainya, kedua TKI terÂsebut dilaporkan ke polisi. KeÂmuÂdian Pengadilan Tingkat PerÂtama menjatuhi hukuman yang sangat berat yaitu 21 tahun dan 28 tahun.
Apakah ini sudah masuk kaÂtegori meremehkan?
Penegak hukum di Malaysia ada kecenderungan untuk mereÂmehÂkan. Bisa berbuat sekeÂhenÂdaknya terhadap orang Indonesia yang berlatar belakang ekonomi lemah seperti para TKI.
Masih segar dalam ingatan kitaÂ, kakak beradik asal PontiaÂnak, Frans dan Darry Hiu yang divonis mati di Malaysia. Padahal meÂreka hanya membela diri. SeÂdangkan orang Malaysia yang juÂga ada pada saat kejadian tersebut dibebaskan dari hukuman.
Apa Anda pernah bertanya soal itu?
Pernah. Saya bertanya kepada lawyer Malaysia apa benar polisi Malaysia masih suka melakukan kekerasan seperti pemukulan terÂhadap orang yang diperikÂsaÂnya. Beberapa lawyer Malaysia memÂberikan jawaban bahwa praktek pemukulan masih sering dilaÂkuÂkan, terlebih pada saat tidak ada lawyer yang mendampinginya.
Pengakuan lawyer Malaysia itu bukan mengada-ada?
Tidak. Misalnya, pemukulan yang sangat fatal pernah dilaÂkuÂkan oleh Kepala Polisi Malaysia terÂhadap bekas Deputi Perdana Menteri Anwar Ibrahim pada saat dipenjara, sehingga mengÂakiÂbatÂkan matanya sembab beÂkas terÂpukul dan tulang belaÂkangnya retak.
Namun sangat disayangkan siÂkap pemerintah Indonesia haÂnya bersikap reaktif dan parsial. Ini tidak menyelesaikan masalahnya secara komprehensif.
Sudah seringkali pemerintah kita memberikan reaksi keras dan protes terhadap perlakuan yang dialami para TKI. Namun hanya diÂanggap angin lalu oleh peÂmeÂrintah Malaysia.
Ini seperti ungÂkapan; anjing menggonggong kafilah berlalu. Kejadian seperti itu akan terus terjadi.
Kenapa begitu?
Lihat saja 3 polisi Malaysia itu mendapatkan penangguhan penahanan. Bahkan ada usaha untuk memproses secara hukum TKI yang diperkosa itu. Sebab, dinilai melanggar peraturan Keimigrasian.
Apa seharusnya dilakukan pemerintah Indonesia?
Harus bersikap tegas agar peÂmeÂrintah Malaysia lebih memÂbeÂrikan perhatian serius. Jangan tungÂgu istri pejabat Indonesia atau keluarganya diperkosa poÂlisi Malaysia, lalu pemerintah berÂsikap tegas. Sekarang saatnya berÂbuat nyata.
Kalau 3 polisi itu dihukum berat, apa ada efek jera?
Sudah pasti. Kalau dihukum penÂÂjara 10-20 tahun, maka memÂbawa efek jera bagi berbagai piÂhak di Malaysia.
Apa itu mungkin?
Itu pertanyaan kita. Makanya pemerintah kita perlu melakukan moratorium secara menyeluruh, baik untuk TKI di sektor domesÂtik/PRT, sektor konstruksi, sektor perkebunan, sektor jasa dan sektor industri/pabrik.
Ekonomi Malaysia sangat terÂgantung pada sektor perkebunan. Sktor ini sangat tergantung pada supply TKI. Hal ini tidak bisa diÂgantikan tenaga kerja dari negara lain.
Di sini upaya diplomasi akan berjalan lebih efektif karena pihak Malaysia melihat adanya kebutuhan dari segi kepentingan ekonomi mereka. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30