Berita

Wa Ode Nurhayati

X-Files

KPK Masih Telusuri Kode Dalam Kasus Suap DPID

“Kami Juga Masih Menunggu Sidang Fahd”
MINGGU, 18 NOVEMBER 2012 | 10:08 WIB

Bekas anggota Badan Anggaran DPR Wa Ode Nurhayati telah dijatuhi hukuman enam tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Lantas, bagaimana nasib penelusuran terhadap kode-kode yang pernah diungkap politisi PAN itu?

Menurut Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo, KPK masih melakukan penelu­suran terhadap sejumlah pihak yang diduga terlibat kasus suap pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID).

Apalagi, di persidangan, Wa Ode pernah mengungkapkan kode tertentu dalam pembahasan ang­garan DPID. Nah, KPK an­tara lain mengembangkan kasus ini dari kode-kode tersebut.

“KPK melakukan validasi ter­hadap pengakuan saksi dan ter­sangka di persidangan, apakah memang didukung bukti atau sekadar pengakuan. Baru setelah dilakukan validasi dan ada bukti pendukung, selanjutnya KPK me­­lakukan penyelidikan,” kata Jo­han kepada Rakyat Merdeka pada Jumat lalu (16/11).

Yang pasti, kata Johan, KPK terus mengembangkan kasus ini. Proses pengembangan yang dila­kukan KPK, juga memperhatikan proses persidangan para terdakwa kasus ini. “KPK masih me­ngem­b­angkan kasus ini dan menunggu proses pengadilan terdakwa Fahd juga,” ujarnya.

Wa Ode Nurhayati mengang­gap, apa yang disampaikannya da­lam persidangan sudah me­nun­jukkan dugaan keterlibatan pihak lain. Persoalannya, dia merasa KPK belum menindaklanjuti apa yang disampaikannya dalam persidangan. “Semua sudah mun­cul dalam fakta persidangan, khu­susnya keterangan soal kode khu­sus untuk daerah penerima alo­kasi DPID,” katanya di Pe­ng­a­di­lan Tipikor Jakarta.

Pengakuan staf Banggar ber­nama Nando juga dipandang Wa Ode Nurhayati sudah me­nun­juk­kan dugaan keterlibatan pihak lainnya. Nando mengakui ada kode-kode itu. Diantaranya kode P1, P2, P3, P4, kode 1-9, PIM, K, dan A.

Dalam inventaris mengenai rencana pembagian DPID untuk daerah-daerah tahun anggaran 2011, tertera daftar 524 daerah calon penerima. Uniknya dalam list tersebut, setiap daerahnya su­dah diberi kode-kode dan warna-warna tertentu.

Hal tersebut ter­ung­kap dalam salah satu data yang berasal dari laptop yang ada di sekretariat Banggar. Laptop itu disita KPK setelah dilakukan penggeledahan di sejumlah ruang Banggar pada 10 Februari silam.

Sebelumnya, Ketua DPR Mar­zuki Ali mengaku heran, kenapa Wa Ode menyeret-nyeret pim­pi­nan DPR ke dalam pusaran ka­sus ini. Menurutnya, pimpinan DPR ti­dak tahu menahu ikhwal pem­ba­hasan anggaran. Sehing­ga, ka­ta­nya, aneh apabila ada pe­nga­kuan yang menyebutkan, pi­m­pinan DPR menerima aliran dana proyek pembahasan suatu ang­ga­ran.

Soalnya, selaku pimpinan DPR, dia tidak pernah terlibat soal pembahasan anggaran. Lagi­pula sesuai aturan, masalah ang­garan sudah ada yang menangani. “Ketua dan pimpinan DPR tidak bisa ikut campur,” tuturnya.

Dalam kasus ini, Wa Ode Nur­hayati didakwa mendapat uang yang totalnya Rp 6,25 miliar dari Fahd El Fouz, Saul Paulus David Nelwan alias Paul Nelwan dan Abraham Noch Mambu, lewat Haris Surahman. Fahd disebut me­nyetor Rp 5,25 miliar, Paul Nelwan Rp 350 juta, dan Abra­ham Rp 400 juta. Uang itu untuk menggolkan anggaran DPID bagi empat kabupaten, yakni Aceh Besar, Pidie Jaya, Minahasa dan Bener Meriah.

REKA ULANG

6 Tahun Untuk Wa Ode Nurhayati

Majelis hakim Pengadilan Tin­dak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman pi­dana enam tahun penjara kepa­da anggota DPR Wa Ode Nur­ha­yati. Wa Ode terbukti melakukan dua per­buatan tindak pidana, yakni me­nerima suap terkait pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Dae­rah (DPID) dan melakukan tin­dak pidana pen­cu­cian uang atas ke­pemilikan uang sebesar Rp 50,5 mi­liar dalam rekeningnya.

Putusan tersebut dibacakan majelis hakim yang terdiri dari Suhartoyo (ketua), dan hakim ang­gota, yakni Pangeran Napi­tu­pulu, Tatik Hadiyanti, dan Ale­xan­der Marwata secara ber­gan­tian dalam persidangan di Penga­dilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/10/2012). “Menyatakan terdakwa Wa Ode Nurhayati terbukti ber­salah melakukan tindak pidana korupsi dan terdakwa melakukan tindak pidana pencucian uang,” kata Suhartoyo.

Selain hukuman pidana, Wa Ode juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 500 juta yang dapat diganti dengan enam bulan kurungan. Putusan ini lebih ri­ngan dari tuntutan jaksa, yakni penjara selama 14 tahun untuk dua perbuatan pidana.

Dalam putusan, majelis hakim menilai, Wa Ode terbukti mela­ku­kan tindak pidana sesuai de­ngan dakwaan ke satu primer, yakni Pasal 12 Ayat 1 Huruf a Un­dang Undang Pemberantasan Tin­­dak Pidana Korupsi junto Pa­sal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP dan dak­waan kedua primer, Pasal 3 tentang Pencegahan dan Pe­m­be­rantasan Tindak Pidana Pencucian.

Wa Ode menerima pemberian hadiah berupa uang senilai Rp 6,25 miliar dari tiga pengusaha, yak­ni Fahd El Fouz, Paul Nel­wan, dan Abram Noch Mambu melalui Haris Surahman. Pem­be­rian tersebut terkait dengan upaya Wa Ode selaku anggota Panita Kerja Transfer Daerah Badan Ang­garan DPR dalam mengupa­ya­kan Kabupaten Aceh Besar, Pi­die Jaya, Bener Meriah, dan Mi­nahasa masuk dalam daftar dae­rah penerima alokasi DPID 2011.

Pemberian uang ini diketahui Wa Ode berkaitan dengan posisi­nya sebagai anggota DPR seka­ligus anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Berdasarkan fak­ta hukum, sebelum pemberian uang, Wa Ode mengadakan perte­muan dengan Haris Surahman dan Fahd El Fouz di Rumah Ma­kan Pulau Dua, Senayan, dan di ruangan terdakwa di Gedung DPR, Senayan.

Dalam pertemuan tersebut, Wa Ode menyatakan kesang­gu­pan­nya untuk membantu, tetapi harus disertai pengajuan resmi berupa proposal dari daerah. Adapun Fahd sudah ditetapkan KPK se­ba­gai tersangka dan tengah men­jalani proses persidangan di Pe­nga­dilan Tipikor Jakarta. Semen­tara Haris masih berstatus sebagai saksi dalam kasus ini.

Pada Oktober 2010, Wa Ode kembali melakukan pertemuan dengan Fahd dan Haris di ruang kerjanya di Gedung DPR. “Da­lam pertemuan tersebut, Fahd me­­minta Wa Ode untuk mengu­rus agar Pidie Jaya, Aceh Besar, dan Bener Meriah ditetapkan sebagai daerah penerima alokasi DPID 2011 dengan kategori rendah sekali, sebesar Rp 40 mi­liar,” kata hakim Pangeran.

Atas permintaan Fahd tersebut, lanjutnya, Wa Ode menyatakan ke­sanggupan, tetapi meminta Fahd menyediakan dana sebesar lima hingga enam persen dari alo­kasi DPID yang akan diterima ma­sing-masing daerah. Wa Ode meminta Fahd agar menyerahkan uang itu ke stafnya, Sefa Yolanda.

KPK Tidak Takut Tapi Kurang Energi

Agustinus Pohan, Pengamat Hukum

Pengajar hukum pidana Uni­versitas Parahyangan Agus­tinus Pohan menyampaikan, semua yang diungkapkan oleh saksi maupun terdakwa dalam persidangan harus ditin­dak­lan­juti oleh penyidik.

Terlebih bila dalam persi­da­ngan disebutkan dugaan ke­ter­libatan pihak-pihak lain. “Sa­ngat perlu bagi KPK untuk me­nelusuri semua yang diduga ter­libat, sebagaimana disebutkan dalam fakta persidangan. Itu ada­lah kewajiban KPK untuk mengusutnya lebih lanjut,” ujar Agustinus.

Akan tetapi, lanjutnya, Ko­misi Pemberantasan Korupsi sekarang terlihat terseok-seok untuk segera menuntaskan ba­nyak kasus korupsi yang me­numpuk di hadapan mereka. “Persoalannya, mungkin KPK ke­kurangan energi untuk me­ngembangkan kasus ini se­ka­rang,” ujar dia.

Agustinus berpendapat, da­lam urusan pemberantasan ko­rupsi, KPK tidak pernah gentar menghadapi siapa pun, ter­ma­suk pimpinan DPR. KPK, lanjut dia, walau mendapat tekanan yang besar untuk mengerdilkan upayanya memberantas ko­rup­si, tidak akan surut.

“Saya kira KPK tidak takut dan tidak perlu takut akan an­ca­man apapun itu. Dalam bebe­rapa kasus sudah dibuktikan bah­wa rakyat berada di bela­kang KPK,” ujar Agustinus.

Karena itu, para politisi yang mencoba mengerdilkan KPK pun seharusnya surut mene­rus­kan upayanya mengancam ke­beradaan KPK, sebab rakyat ti­dak pernah diam. “Saya kira hal itu akan diperhitungkan parpol, terlebih lagi menjelang pemi­lu,” ucapnya.

Banyaknya perkara yang mesti dituntaskan KPK, kata Agustinus, membutuhkan ener­gi yang tidak sedikit. Bahkan, kekuatan penyidik yang bersih dan berani, serta berkomitmen terhadap pemberantasan korup­si pun harus disupport ke KPK.

Dia melihat, proses pengu­sutan berjalan terus, walau agak tersendat karena energi yang menipis. “Saya kira, sangat mung­kin mereka tidak bisa lebih cepat menuntaskan semua kasus itu, karena butuh energi yang tidak sedikit,” ujar Agus­tinus.

Telusuri Semua Yang Terlibat

Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago menyam­pai­kan, Komisi Pemberantasan Ko­rupsi harus terus menelusuri semua yang diduga terlibat ka­sus korupsi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID).

“Menurut saya, harus dit­el­u­suri apa yang disebut Wa Ode itu, karena masalah anggaran itu tidak mungkin Wa Ode saja yang bertanggung jawab. Maka nama-nama yang disebut oleh Wa Ode itu harus diselidiki KPK,” ujar Taslim.

Dikatakan Taslim, KPK ter­lihat melambat dalam mela­ku­kan penelusuran dan pengu­su­tan terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat kasus ini. Lem­baga yang dipimpin Abraham Samad itu, ingat Taslim, jangan melakukan upaya diskriminatif dalam pemberantasan korupsi.

“KPK tidak boleh tebang pi­lih da­lam menyelesaian kasus ko­rupsi. Kalau kita lihat, be­lum da­lam rangka menye­le­saian atau menuntaskan masa­lah korupsi sampai ke ak­ar­nya,” ujarnya.

Taslim mempertanyakan, apakah KPK ciut nyalinya lan­taran banyak yang diduga ter­li­bat kasus ini. “Kalau yang di­ungkap oleh Wa Ode itu di­tun­taskan oleh KPK, maka banyak yang akan terlibat, dan saya be­lum begitu yakin KPK akan berani mengusutnya semua,” tandasnya.

Bagi Taslim, lembaga pem­be­rantasan korupsi sekelas KPK, tidak perlu terlalu banyak berdalih atas sejumlah pengu­su­tan kasus korupsi yang ter­ke­san lamban dilakukan. Alasan kurangnya jumlah penyidik di KPK, kata dia, seharusnya tidak digembar-gemborkan bila memang serius memberantas korupsi.

“Kalau penyelesaian kasus secara terencana dan tidak acak-acakan, alasan keberadaan pe­nyidik bukanlah persoalan untuk menuntaskan kasus itu,” ujar Taslim.

Taslim melihat adanya upaya yang kurang serius dari KPK untuk menelusuri dan mem­bong­kar para pelaku dalam kasus ini. “Karena korupsi itu ka­lau diungkap secara tuntas, banyak yang terlibat, dan saya yakin KPK tidak akan kuat dengan tekanan dari berbagai pihak yang turut di dalamnya,” ujar Taslim.   [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya