PT Asuransi Kredit InÂdonesia (Askrindo)
PT Asuransi Kredit InÂdonesia (Askrindo)
Achung tak membuat Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menghentikan perkara yang diduga merugikan negara Rp 442 miliar ini.
Dalam sidang pembacaan nota keberatannya, Umar mengatakan, perkara pokok yang melilit peruÂsahaannya, PT Tranka Kabel, buÂkan korupsi. Melainkan perkara utang-piutang. Alasannya, utang pokok perusahaannya sebesar Rp 125,5 miliar, diperoleh dari peÂÂrusahaan manajer investasi, yakni PT Jakarta Investmen (JI). Bukan dari PT Asuransi Kredit InÂdonesia (Askrindo) yang beraÂda di bawah BUMN.
“PT Tranka Kabel hanya memÂpÂunyai huÂbuÂngan perdata terÂhaÂdap peÂruÂsaÂhaan manajer inÂvesÂtasi, yaitu PT Jakarta Investmen atau PT JI,†katanya dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin malam (12/11).
Kewajiban membayar utang tersebut, menurut Umar, adalah perkara perdata. Bukan pidana, apalagi dikaitkan dengan korupsi dan pencucian uang. “Sehingga, dalam persidangan, tidak ada satu pun yang dapat dibuktikan, tinÂdaÂkan melanggar hukum apa yang saya lakukan,†kata Umar yang mengenakan kemeja putih lengan panjang.
Menurut Umar, masalah utang-piutang PT Tranka dengan maÂnajer investasi, berjalan sesuai aturan. Dia memaparkan, dari total dana Rp 125,5 miliar yang diterima leÂwat PT JI, PT Tranka sudah meÂngemÂbalikan kewajiban sebagian.
Dirincinya, pengembalian diÂlaÂkukan tahun 2009 senilai Rp 10 miliar. Nominal tersebut dÂiÂsamÂpaikan dua kali, masing-masing Rp 5 miliar. Lalu pada 2010, PT Tranka membayar Rp 25 miliar. Pada 6 Juni 2012, PT Tranka kemÂbali menyetor Rp 32 miliar. Sehingga, total dana dan bunga sisa pokok utang menjadi Rp 62,5 miliar. Angsuran pembayaran itu, sambungnya menunjukkan bahÂwa PT Tranka hanya punya huÂbungan hukum dengan PT JI. TiÂdak dengan Askrindo.
Di penghujung sidang, hakim Pangeran Napitupulu meminta tanggapan jaksa penuntut umum (JPU). “Apakah jaksa penuntut umum menerima keberatan terÂdakwa,†tanya Pangeran. JPU menjawab, mereka tetap pada dakÂwaan, bahwa kasus Askrindo adalah perkara korupsi, bukan perÂdata. “Jaksa menolak kebeÂratan terdakwa, maka sidang diÂlanjutkan pekan depan,†perintah Pangeran.
Dalam sidang sebelumnya, saksi ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Harapan Tampubolon menyatakan, pengembalian dana Rp 35 miliar dari manajer invesÂtasi, tidak bisa dianggap pengÂganti kerugian negara. Bahkan, menurutnya, dugaan pencucian daÂlam kasus ini sangat kental. “Pada pemeriksaan berkas dokuÂmen, terlihat bagaimana skema penÂcucian uang berjalan,†katanya.
Harapan memaparkan, sumber dana dari PT Askrindo awalnya menggelontor ke perusahaan maÂnajer investasi, PT Jakarta InÂvesÂtmen. Dari perusahaan tersebut, dana dialihkan ke PT Aloko. Dari Aloko, dana didistribusikan lagi ke PT Tranka Kabel. Dari Tranka, dana ditransfer ke rekening Umar. Tak berhenti sampai di situ, Umar kembali mengalirkan dana ke PT Tranka miliknya. Lalu, oleh PT Tranka, dana kemÂbali dimasukkan ke rekening Umar. Dan, oleh Umar, dana diÂmaÂsukkan kembali ke Askrindo.
Hakim Pangeran bertanya keÂpada Harapan, apabila ada pemÂbayaran bunga dari manajer inÂvestasi ke Askrindo, apakah hal itu bisa dianggap mengurangi keÂrugian negara, Harapan menÂjaÂwab tegas, “Tidak. Jadi, tidak ada return. Bagi kami itu hanya peÂnyelamatan,†jawabnya.
Pangeran bertanya lagi, “ApÂaÂkah itu mengurangi kerugian yang Rp 442 miliar.†Harapan menjawab tegas, “Tidak. Tetap Rp 442 miliar yang menjadi keÂruÂgian negara. Karena basicallyÂnya sudah menyimpang. Ada total loss.â€
Kembali pada sidang eksepsi terdakwa, Umar menyampaikan lima poin nota keberatannya. PerÂtama, benar bahwa PT Tranka meÂmiliki Letter of Credit (L//C) yang dijamin PT Askrindo. MeÂnurutnya, kewajiban L/C tersebut telah selesai pada 2007.
Kedua, untuk menyelesaikan maÂsalah perusahaan, Umar meÂmuÂtuskan untuk meminjam dana dari perusahaan investasi. MenuÂrutnya, hal itu adalah suatu perÂbuaÂtan yang sah dalam dunia bisÂnis. Ketiga, pinjaman PT Tranka ke manajer investasi dilakukan atas dasar Primesory Notes (PN) yang dikeluarkan PT Tranka.
Keempat, kewajiban manajer investasi memberi dana kepada PT Tranka, tidak perlu ditelusuri PT Tranka, darimana sumber dana itu berasal. Kelima, kata Umar, apakah suatu kesalahan hukum jika PT Tranka dapat dana dari perusahaan manajer investasi yang ternyata dananya berasal dari Askrindo.
Menanggapi dakwaan seputar adanya pertemuan di Hotel SheÂraton Media, maupun tempat lain antara terdakwa dengan sejumlah direktur perusahaan investasi, Umar menganggap hal itu sebaÂgai hal yang biasa. Dia tak terima bila pertemuan itu disebut jaksa seÂbagai upaya menyusun permuÂfakatan atau konspirasi memÂboÂbol dana Askrindo.
REKA ULANG
Dari Rp 442 Miliar, Yang Baru Dikembalikan Rp 35 Miliar
Kasus ini bermula ketika PT Askrindo menjadi penjamin letter of credit (L/C) yang diterbitkan PT Bank Mandiri. L/C dicairkan ke empat perusahaan, yaitu PT Tranka Kabel, PT Vitron, PT InÂdowan dan PT Multimegah.
Ketika memasuki jatuh tempo, empat nasabah itu tidak mampu membayar L/C kepada Bank ManÂdiri. Sehingga, Askrindo haÂrus membayar jaminan L/C pada Bank Mandiri. PT Askrindo keÂmudian menerbitkan promissory notes (PN) dan medium term noÂtes (MTN) atas empat nasabah itu. Tujuannya, agar jaminan yang dibayarkan Askrindo pada Bank Mandiri, kembali ke kas Askrindo.
PT Askrindo kemudian meÂnyaÂlurkan dana melalui jasa perusaÂhaan manajer investasi (MI) unÂtuk disalurkan ke empat nasabah itu. Terdakwa petinggi Askrindo, Rene Setiawan dan Zulfan Lubis menempatkan investasi melalui manajer investasi, dengan total dana yang diinvestasikan Rp 442 miliar. “Tujuannya, memberi dana talangan untuk nasabah PT AskrinÂdo yang belum bisa membayar,†kata hakim anggota Alexander.
Namun, manajer investasi dari empat perusahaan, yakni PT JaÂkarta Asset Management (JAM), PT Jakarta Investment (JI), PT Reliance Asset Management (RAM) dan PT Harvestindo Asset Management (HAM) tidak dapat mengembalikan dana ke PT Askrindo. “Penempatan investasi tidak dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan tidak mengÂhitung risiko kerugian. Terbukti, terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum,†sebut hakim Alexander.
Hakim Ketua Pangeran NaÂpiÂtuÂpulu menyebut, penempatan dana Askrindo dalam bentuk reÂpurÂchase agreement (Repo), konÂtrak pengelolaan dana (KPD), obÂliÂgasi, dan reksadana telah memÂperkaya pihak manajer investasi.
Dari dana investasi Rp 442 miÂliar, manajer investasi baru meÂngembalikan sekitar Rp 35 miliar. Tersisa sekitar Rp 407 miliar yang belum kembali ke kas PT Askrindo. “Dana yang belum kemÂbali adalah kerugian PT AsÂkrindo. Karena sahamnya milik pemerintah, maka keuangan PT Askrindo adalah keuangan neÂgaÂra,†tegasnya.
Zulfan Lubis dan Rene SetiaÂwan telah divonis terbukti meÂlaÂkuÂkan tindak pidana korupsi peÂngelolaan dana investasi PT AsÂkrindo. “Menyatakan terdakwa terÂbukti secara sah dan menyaÂkinÂkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,†ujar Ketua Majelis Hakim, PaÂngeÂran Napitupulu saat meÂnÂjaÂtuhÂkan vonis hukuman pada ZulÂfan Lubis, di Pengadilan Tipikor JaÂkarta. Majelis hakim mewaÂjibkan Zulfan membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kuÂruÂngan penjara.
Perlu Dihormati Dan Dicermati
Akhiruddin Mahjuddin, Koordinator Gerak Indonesia
Koordinator LSM GeraÂkan Rakyat Anti Korupsi (GeÂrak) Indonesia Akhiruddin MahÂjuddin menilai, dakwaan jaksa sudah tepat. Katanya, tidak mungkin jaksa menyusun dakwaan tanpa bukti-bukti mendasar.
Apa yang disampaikan terÂdakÂwa dalam eksepsi atau nota keberatan, memang perlu dihorÂmati karena itu memang hak terdakwa. Tapi, harus juga diÂcerÂmati, apakah itu merupakan upaya terdakwa menghilangkan keterlibatannya dalam kasus Askrindo. “Jaksa pasti punya arÂÂgumen untuk membuktikan dakwaannya,†katanya, kemarin.
Pernyataan Umar Zen tidak tahu asal-usul uang yang digeÂlontorkan perusahaan manajer investasi ke PT Tranka Kabel, lanÂjut Akhiruddin, patu dicerÂmati majelis hakim, apakah itu hanya alibi untuk meloloskan diri dari kasus dugaan korupsi ini.
Akhiruddin mengingatkan, pencucian uang merupakan tinÂdakan seseorang menemÂpatÂkan, mentransfer, mengalihkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan haÂsil tindak pidana, dengan tuÂjuan menyembunyikan atau meÂnyamarkan asal usul harta hasil tindak pidana itu. “TinÂdaÂkan model begitu, diancam huÂkuman,†tandasnya.
Bahkan, katanya, merujuk pada aturan mengenai pencuÂciÂan uang, setiap orang yang meÂlakukan percobaan, turut memÂbantu, atau terlibat perÂmuÂfaÂkaÂtan jahat untuk melakukan tinÂdak pidana pencucian uang, daÂpat dipidana dengan pidana yang sama dengan pelaku utaÂma kasus pencucian uang.
Dalam konteks perkara pemÂbobolan dana PT Asuransi KreÂdit Indonesia (Askrindo) ini, meÂnurutnya, terdakwa Umar Zen diduga turut membantu, atau terlibat permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang.
“Umar Zen patut diduga meÂlakukan seperti yang disebut daÂlam Pasal 3 ayat 2 Undang UnÂdang Tindak Pidana PenÂcucian Uang. Karena itu, dakwaan jakÂsa sudah tepat,†tegasnya.
Kecermatan Hakim Sangat Menentukan
Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa meminta MaÂjelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menangani kasus Askrindo, cermat dalam menilai rangkaian pengakuan para terdakwa dan para saksi.
Kecermatan hakim, lanjut DesÂmon, sangat menentukan kaÂdar keterlibatan para terdakÂwa dalam kasus tersebut. “JaÂngan sampai pengakuan terÂdakÂwa mengecoh hakim. Apalagi, membelokkan arah penuntasan kasus ini,†kata politisi Partai Gerindra ini.
Dia juga mengingatkan, upaÂya terdakwa membela diri deÂngan cara mendiskreditkan dakÂwaan, sering terjadi dalam siÂdang kasus-kasus korupsi. LanÂtaran itu, bagaimana majelis haÂÂkim menyikapi persoalan terÂÂseÂbut, menjadi penting unÂtuk disimak.
Menurut Desmon, dalam sidang berbagai kasus dapat diÂlihat, pembelaan terdakwa meÂrupakan alibi untuk meÂngaÂburÂkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Karena itu, untuk menilai keberatan terdakwa, hakim mesti menimbang seluÂruh kesaksian dan bukti-bukti yang ada.
“Tinggal sekarang, bagaiÂmana hakim meninÂdaÂkÂlanjuti pokok perkara secara obyektif agar putusan yang akan dihaÂsilÂkan nanti, benar-benar meÂmeÂnuhi unsur keadilan,†katanya.
Kendati begitu, lanjut DesÂmon, upaya terdakwa membela diri tetap harus dihormati. SoalÂnya, pembelaan diri merupakan bagian dari proses penegakan hukum melalui pengadilan.
“Sebelum ada putusan peÂngadilan yang tetap dan mengiÂkat, kita harus menjunjung azas praduga tak bersalah,†ucapnya.
Karena itu, menurut Desmon, tidak salah apabila pembelaan diri terdakwa dalam proses perÂsidangan, diberi porsi dan diÂharÂgai. Yang paling penting, semua yang disampaikan dalam perÂsidangan bisa digali. Dari situ diharapkan, putusan hakim beÂnar-benar obyektif. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30