Jacob Purwono
Jacob Purwono
Di hadapan Majelis Hakim PeÂngaÂdilan Tipikor Jakarta yang diÂketuai Sudjatmiko, kemarin, sakÂsi Witono memberi keterangan yang cukup menarik perhatian. Dia mengemukakan, pernah mentransfer uang beberapa kali ke rekening pejabat Kementerian ESDM yang menjadi terdakwa kasus ini.
Rekening yang dimaksud adaÂlah milik terdakwa, bekas Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Kementerian ESDM Jacob Purwono. Witono meÂngaku, pengÂÂgelontoran dana diÂlakukan agar upayanya meÂmeÂnangi tender proÂyek SHS lancar atau berhasil.
Witono mengisahkan, proses penggelontoran dana miliaran diÂawali dari pertemuan dengan koleganya, terdakwa Kepala Sub Usaha Energi Terbarukan Ditjen LPE ESDM, Kosasih Abbas pada Januari 2007.
Saksi yang kenal Kosasih sejak lama, ketika itu memberikan ucapan selamat atas terpilihnya Kosasih sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek SHS. Dalam pertemuan itu, Kosasih mengajukan permintaan dana.
Kata Witono, Kosasih meÂngaÂku disuruh atasannya, Dirjen LPE ESDM Jacob Purwono untuk meÂminta uang kepada Witono. “Pak Kosasih bilang, perlu uang satu miliar rupiah. Yang perlu uang itu, Pak Jacob,†ujarnya.
Mendapat permintaan demiÂkian, Witono pun berupaya meÂmeÂnuhinya. Dia mentransfer uang dua kali. Jumlahnya maÂsing-masing Rp 500 juta ke reÂkeÂning Jacob di BCA. SudjatÂmiÂko mencecar saksi, “Kapan dana itu ditransfer saksi?†Namun, WiÂtoÂno mengaku lupa kapan perÂsisÂnya uang tersebut ditransfer. Yang jelas, Witono mentransfer uang itu setelah bertemu Kosasih pada Januari 2007, dan ada bukti transÂfer yang sudah disampaikannya kepada penyidik KPK.
Namun, terdakwa Jacob PurÂwoÂno mengaku baru mengetahui ada transfer satu miliar rupiah itu, setelah kasus ini ditangani KPK. Jacob mengaku uang itu tidak pernah dia gunakan dan masih teÂtap berada di rekening BCA miÂliknya. “Dari dulu tetap di situ, tiÂdak saya gunakan. Sampai akÂhirnya ada pemblokiran dari KPK,†katanya.
Singkat cerita, menurut saksi WiÂtono, perusahaannya, PT BaÂngun Baskara (BB) memenangi dua paket tender proyek SHS di Sulawesi Selatan-Sulawesi SeÂlaÂtan Barat dan Sumatera Selatan-Bengkulu. Pengumuman peÂmeÂnang tender itu dilaksanakan pada pertengahan Januari 2007. KeÂnÂdati telah menyetor uang sebelum tender, Witono meÂngaku masih seÂring dimintai uang oleh KosaÂsih saat pelaÂkÂsaÂnaÂan proyek.
Witono mengaku tidak bisa meÂnolak permintaan pejabat KeÂmenterian ESDM itu. Alhasil, dirinya sempat beberapakali menÂtransfer uang untuk terdakwa Kosasih. Menurutnya, perminÂtaÂan Kosasih, jumlahnya kecil-keÂcil. “Kadang Rp 50 juta, kadang Rp 100 juta,†ujarnya. Hakim SudÂjatmiko pun bertanya, berapa kali permintaan uang disampÂaiÂkan Kosasih. Tapi, Witono meÂngaku lupa.
Dalam sidang kemarin, jaksa penuntut umum (JPU) KPK juga menghadirkan tujuh saksi lainnya yang merupakan pemenang tenÂder di Kementerian ESDM, yakni Direktur Utama PT Alkari Energi Surya (AES) Ayi Hambali, DiÂrektur Utama Delbiber Cahaya CeÂmerlang (DCC) Asrar, DirekÂtur Utama PT Dwi Mukti Graha Elektrindo (DMGE) John Haris, Direktur Utama PT Adam SenÂtoÂsa Utama (ASU) Farizal, Direktur Utama Mitra Muda Berdikari InÂdonesia (MMBI) Alexander MarÂyaatmawan, bekas Direktur UtaÂma PT Wijaya Karya Intrade (WKI) Yoyon Mulyana dan DiÂrektur Utama PT Alif Balkis SenÂtosa (ABS) Haromawi.
REKA ULANG
Didakwa Rugikan Negara Rp 144,8 Miliar
Bekas Dirjen Listrik dan PeÂmanÂfaatan Energi (LPE) Jacob Purwono dan Pejabat Pembuat KoÂmitmen (PPK) Kosasih didakÂwa merugikan negara Rp 144,8 miliar dalam pengadaan proyek solar home system (SHS) di KeÂmenterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Mereka juga didakwa memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi.
Dalam surat dakwaan, Jacob disebut berperan mengatur rekaÂnan pelaksana proyek SHS, dan mengumpulkan dana dari para reÂkanan itu. Tindakan itu dilakukan Jacob pada pengadaan SHS tahun anggaran 2007 dan 2008.
Jacob juga disebut mengaÂrahÂkan Kosasih untuk mengatur peÂmenang lelang dengan memberi sejumlah nama perusahaan. Atas perbuatan ini, Jacob didakwa memÂperoleh keuntungan Rp 5,3 miliar untuk anggaran tahun 2007, dan Rp 2,8 miliar untuk angÂgaran tahun 2008.
Atas perbuatan itu, Jacob dan KoÂsasih didakwa dengan daÂkÂwaÂan primer dan subsider sekaligus. Dalam dakwaan primer, jaksa mendakwa keduanya melanggar Pasal 2 (1) juncto Pasal 18 UnÂdang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan TinÂdak Pidana Korupsi, seÂbaÂgaiÂmana diubah dengan Undang UnÂdang Nomor 20 tahun 2001 tenÂtang perubahan Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 juncto PaÂsal 55 (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 (1) KUHP.
Sementara dakwaan subsider terÂkait Pasal 3 juncto Pasal 18 UnÂdang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebaÂgaiÂmana telah diubah dengan UnÂdang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 junÂcto Pasal 55 (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 (1) KUHP. Dari dakwaan primer dan subsider terÂsebut, kedua terdakwa terancam pidana penjara paling lama 20 tahun.
Pada persidangan sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan TipiÂkor Jakarta telah menolak eÂkÂsepÂsi (nota keberatan) kedua terÂdakÂwa. Hakim menilai, materi yang disampaikan dalam nota kebeÂraÂtan sudah memasuki tahap pemÂbuktian dalam sidang.
“Dengan ini eksepsi terdakwa ditolak dan sidang akan dilanÂjutÂkan dengan pemeriksaan para saksi,†kata Hakim Ketua SudjatÂmiko, Senin (22/10).
Menurut Hakim Anggota I Made Hendra, keberatan penaÂsiÂhat hukum soal ketiadaan penÂjeÂlasan rumusan unsur delik dalam pasal yang didakwakan, tidak dapat diterima. Dia meÂnyatakan, perkara itu harus diÂbuktikan terÂlebih dulu pada siÂdang dengan agenda peÂmeÂrikÂsaan saksi. “Surat dakwaan jaksa sudah secara jelas menguraikan peran dua terdakwa dalam delik perkara,†tuturnya.
Keterangan Saksi Bisa Patahkan Alibi Terdakwa
Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir mengingatkan hakim agar benar-benar cermat menimbang keterangan para saksi kasus korupsi pengadaan solar home system (SHS) KeÂmenterian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
Soalnya, menurut Nudirman, keberhasilan mengungkap kaÂsus besar seringkali ditentukan dari keterangan para saksi. TerÂlebih, saksi-saksi tersebut adaÂlah saksi yang masuk kategori penting, alias saksi kunci. “Saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan tersebut punya peran penting,†katanya.
Menurut dia, delapan saksi kasus SHS itu, merupakan saksi yang diduga ikut terlibat dalam perkara ini. Karena itu, keteÂrangan mereka menjadi sangat penting atau krusial. Akan teÂtapi, hakim tidak boleh langÂsung begitu saja mempercayai keÂterangan para saksi. SekaÂliÂpun mereka sudah diambil sumÂpahnya, toh mereka bisa saja bohong.
Dia menambahkan, saksi-saksi bisa bohong karena takut keterlibatan mereka dalam kasus ini dibongkar atau diotak-atik hakim. “Saksi bisa bohong. Karena itu, perlu cermat saat menÂÂdalami keterangan meÂreka,†ucapnya.
Lepas dari persoalan tersebut, keterangan saksi-saksi itu saÂngat membantu penegak huÂkum. Dengan keterangan itu, kandungan kebenaran semua argumen terdakwa bisa diukur. Dari situ, upaya hakim memuÂtus perkara akan terbantu.
“Dengan sendirinya, alibi terdakwa yang ditujukan untuk meloloskan diri, bisa dianÂtiÂsiÂpasi hakim,†ucapnya.
Politisi Partai Golkar ini berÂharap, keterangan para saksi berikut bukti-bukti yang ada, bisa menjadi masukan bagi maÂjelis hakim untuk memutus seÂcara obyektif.
Yang Bohong Mestinya Jadi Tersangka
Edi Hasibuan, Komisioner Kompolnas
Komisioner Komisi KepoÂliÂsian Nasional (Kompolnas) Edi Hasibuan mengingatkan, setiap orang yang melakukan tindak pidana harus ditindak. Termasuk para saksi jika memÂberikan keterangan bohong daÂlam persidangan, seperti meÂngubah peristiwa transaksi suap atau konglikong menjadi peÂmerasan.
“Hakim yang cermat pasti akan mengetahui apakah saksi-saksi memberi keterangan yang benar atau bohong. Hakim meÂmiÂliki kemampuan dan pengaÂlaÂman dalam meÂnimbang seÂmua keterangan dalam perÂsiÂdaÂngan,†katanya, kemarin.
Edi juga berharap, hakim jeli menyikapi semua fakta persÂiÂdangan kasus ini, sehingga puÂtusan yang dikeluarkan mereka nanti, benar-benar obyektif. SeÂlain itu, jika para saksi memÂberikan keterangan bohong, idealnya hakim meminta KPK untuk menetapkannya menjadi tersangka.
“Hakim bisa meminta atau memerintahkan jaksa untuk mengubah status saksi menjadi tersangka. Hal itu bisa dilaÂkuÂkan jika pada pertimbangannya, hakim menemukan saksi berÂbohong,†tandas alumnus InstiÂtut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) ini.
Menurutnya, saksi bisa berÂdusta karena bermaksud meÂnyeÂlamatkan diri dari jerat huÂkum. Misalnya, jika saksi meÂnyuap tapi memberikan keÂteÂraÂngan seolah-olah diperas. SeÂhingga, saksi menempatkan dirinya sebagai korban, bukan pelaku kasus korupsi. Atau, berÂdusta lantaran ingin membantu meringankan ancaman huÂkuÂman terdakwa. Karena itu, kejeÂlian hakim sangat penting.
“Jangan sampai, saksi-saksi dibiarkan memberikan keteÂraÂngan bohong. Jika saksi yang berbohong tidak disikapi secara seÂrius, bukan tak mungkin, akan banyak terdakwa yang lolos dari hukuman berat.â€
Momentum yang demikian, sambung Edi, mencederai proÂses penegakan hukum itu seÂnÂdiri. Terlebih dalam upaya memÂberantas dan memerangi korupÂsi yang jadi semangat PeÂngaÂdiÂlan Tipikor. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30