Berita

Jacob Purwono

X-Files

Saksi Mengaku Transfer Duit Untuk Dirjen Listrik

Perkara Korupsi Di Kementerian ESDM
KAMIS, 15 NOVEMBER 2012 | 10:05 WIB

Saksi kasus korupsi pengadaan solar home system (SHS) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengaku pernah mentransfer uang untuk pejabat kementerian itu.

Di hadapan Majelis Hakim Pe­nga­dilan Tipikor Jakarta yang di­ketuai Sudjatmiko, kemarin, sak­si Witono memberi keterangan yang cukup menarik perhatian. Dia mengemukakan, pernah mentransfer uang beberapa kali ke rekening pejabat Kementerian ESDM yang menjadi terdakwa kasus ini.

Rekening yang dimaksud ada­lah milik terdakwa, bekas Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Kementerian ESDM Jacob Purwono. Witono me­ngaku, peng­­gelontoran dana di­lakukan agar upayanya me­me­nangi tender pro­yek SHS lancar atau berhasil.

Witono mengisahkan, proses penggelontoran dana miliaran di­awali dari pertemuan dengan koleganya, terdakwa Kepala Sub Usaha Energi Terbarukan Ditjen LPE ESDM, Kosasih Abbas pada Januari 2007.

Saksi yang kenal Kosasih sejak lama, ketika itu memberikan ucapan selamat atas terpilihnya Kosasih sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek SHS. Dalam pertemuan itu, Kosasih mengajukan permintaan dana.

Kata Witono, Kosasih me­nga­ku disuruh atasannya, Dirjen LPE ESDM Jacob Purwono untuk me­minta uang kepada Witono. “Pak Kosasih bilang, perlu uang satu miliar rupiah. Yang perlu uang itu, Pak Jacob,” ujarnya.

Mendapat permintaan demi­kian, Witono pun berupaya me­me­nuhinya. Dia mentransfer uang dua kali. Jumlahnya ma­sing-masing Rp 500 juta ke re­ke­ning Jacob di BCA. Sudjat­mi­ko mencecar saksi, “Kapan dana itu ditransfer saksi?” Namun, Wi­to­no mengaku lupa kapan per­sis­nya uang tersebut ditransfer. Yang jelas, Witono mentransfer uang itu setelah bertemu Kosasih pada Januari 2007, dan ada bukti trans­fer yang sudah disampaikannya kepada penyidik KPK.

Namun, terdakwa Jacob Pur­wo­no mengaku baru mengetahui ada transfer satu miliar rupiah itu, setelah kasus ini ditangani KPK. Jacob mengaku uang itu tidak pernah dia gunakan dan masih te­tap berada di rekening BCA mi­liknya. “Dari dulu tetap di situ, ti­dak saya gunakan. Sampai ak­hirnya ada pemblokiran dari KPK,” katanya.

Singkat cerita, menurut saksi Wi­tono, perusahaannya, PT Ba­ngun Baskara (BB) memenangi dua paket tender proyek SHS di Sulawesi Selatan-Sulawesi Se­la­tan Barat dan Sumatera Selatan-Bengkulu. Pengumuman pe­me­nang tender itu dilaksanakan pada pertengahan Januari 2007.  Ke­n­dati telah menyetor uang sebelum tender, Witono me­ngaku masih se­ring dimintai uang oleh Kosa­sih saat pela­k­sa­na­an proyek.

Witono mengaku tidak bisa me­nolak permintaan pejabat Ke­menterian ESDM itu. Alhasil, dirinya sempat beberapakali men­transfer uang untuk terdakwa Kosasih. Menurutnya, permin­ta­an Kosasih, jumlahnya kecil-ke­cil. “Kadang Rp 50 juta, kadang Rp 100 juta,” ujarnya. Hakim Sud­jatmiko pun bertanya, berapa kali permintaan uang disamp­ai­kan Kosasih. Tapi, Witono me­ngaku lupa.

Dalam sidang kemarin, jaksa penuntut umum (JPU) KPK juga menghadirkan tujuh saksi lainnya yang merupakan pemenang ten­der di Kementerian ESDM, yakni Direktur Utama PT Alkari Energi Surya (AES) Ayi Hambali, Di­rektur Utama Delbiber Cahaya Ce­merlang (DCC) Asrar, Direk­tur Utama PT Dwi Mukti Graha Elektrindo (DMGE) John Haris, Direktur Utama PT Adam Sen­to­sa Utama (ASU) Farizal, Direktur Utama Mitra Muda Berdikari In­donesia (MMBI) Alexander Mar­yaatmawan, bekas Direktur Uta­ma PT Wijaya Karya Intrade (WKI) Yoyon Mulyana dan Di­rektur Utama PT Alif Balkis Sen­tosa (ABS) Haromawi.

REKA ULANG

Didakwa Rugikan Negara Rp 144,8 Miliar

Bekas Dirjen Listrik dan Pe­man­faatan Energi (LPE) Jacob Purwono dan Pejabat Pembuat Ko­mitmen (PPK) Kosasih didak­wa merugikan negara Rp 144,8 miliar dalam pengadaan proyek solar home system (SHS) di Ke­menterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Mereka juga didakwa memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi.

Dalam surat dakwaan, Jacob disebut berperan mengatur reka­nan pelaksana proyek SHS, dan mengumpulkan dana dari para re­kanan itu. Tindakan itu dilakukan Jacob pada pengadaan SHS tahun anggaran 2007 dan 2008.

Jacob juga disebut menga­rah­kan Kosasih untuk mengatur pe­menang lelang dengan memberi sejumlah nama perusahaan. Atas perbuatan ini, Jacob didakwa mem­peroleh keuntungan Rp 5,3 miliar untuk anggaran tahun 2007, dan Rp 2,8 miliar untuk ang­garan tahun 2008.

Atas perbuatan itu, Jacob dan Ko­sasih didakwa dengan da­k­wa­an primer dan subsider sekaligus. Dalam dakwaan primer, jaksa mendakwa keduanya melanggar Pasal 2 (1) juncto Pasal 18 Un­dang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tin­dak Pidana Korupsi, se­ba­gai­mana diubah dengan Undang Un­dang Nomor 20 tahun 2001 ten­tang perubahan Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Pa­sal 55 (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 (1) KUHP.

Sementara dakwaan subsider ter­kait Pasal 3 juncto Pasal 18 Un­dang Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seba­gai­mana telah diubah dengan Un­dang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 jun­cto Pasal 55 (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 (1) KUHP. Dari dakwaan primer dan subsider ter­sebut, kedua terdakwa terancam pidana penjara paling lama 20 tahun.

Pada persidangan sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipi­kor Jakarta telah  menolak e­k­sep­si (nota keberatan) kedua ter­dak­wa. Hakim menilai, materi yang disampaikan dalam nota kebe­ra­tan sudah memasuki tahap pem­buktian dalam sidang.

“Dengan ini eksepsi terdakwa ditolak dan sidang akan dilan­jut­kan dengan pemeriksaan para saksi,” kata Hakim Ketua Sudjat­miko, Senin (22/10).

Menurut Hakim Anggota I Made Hendra, keberatan pena­si­hat hukum soal ketiadaan pen­je­lasan rumusan unsur delik dalam pasal yang didakwakan, tidak dapat diterima. Dia me­nyatakan, perkara itu harus di­buktikan ter­lebih dulu pada si­dang dengan agenda pe­me­rik­saan saksi. “Surat dakwaan jaksa sudah secara jelas menguraikan peran dua terdakwa dalam delik perkara,” tuturnya.

Keterangan Saksi Bisa Patahkan Alibi Terdakwa

Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir mengingatkan hakim agar benar-benar cermat menimbang keterangan para saksi kasus korupsi pengadaan solar home system (SHS) Ke­menterian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

Soalnya, menurut Nudirman, keberhasilan mengungkap ka­sus besar seringkali ditentukan dari keterangan para saksi. Ter­lebih, saksi-saksi tersebut ada­lah saksi yang masuk kategori penting, alias saksi kunci. “Saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan tersebut punya peran penting,” katanya.

Menurut dia, delapan saksi kasus SHS itu, merupakan saksi yang diduga ikut terlibat dalam perkara ini. Karena itu, kete­rangan mereka menjadi sangat penting atau krusial. Akan te­tapi, hakim tidak boleh lang­sung begitu saja mempercayai ke­terangan para saksi. Seka­li­pun mereka sudah diambil sum­pahnya, toh mereka bisa saja bohong.

Dia menambahkan, saksi-saksi bisa bohong karena takut keterlibatan mereka dalam kasus ini dibongkar atau diotak-atik hakim. “Saksi bisa bohong. Karena itu, perlu cermat saat men­­dalami keterangan me­reka,” ucapnya.

Lepas dari persoalan tersebut, keterangan saksi-saksi itu sa­ngat membantu penegak hu­kum. Dengan keterangan itu, kandungan kebenaran semua argumen terdakwa bisa diukur. Dari situ, upaya hakim memu­tus perkara akan terbantu.

“Dengan sendirinya, alibi terdakwa yang ditujukan untuk meloloskan diri, bisa dian­ti­si­pasi hakim,” ucapnya.

Politisi Partai Golkar ini ber­harap, keterangan para saksi berikut bukti-bukti yang ada, bisa menjadi masukan bagi ma­jelis hakim untuk memutus se­cara obyektif.

Yang Bohong Mestinya Jadi Tersangka

Edi Hasibuan, Komisioner Kompolnas

Komisioner Komisi Kepo­li­sian Nasional (Kompolnas) Edi Hasibuan mengingatkan, setiap orang yang melakukan tindak pidana harus ditindak. Termasuk para saksi jika mem­berikan keterangan bohong da­lam persidangan, seperti me­ngubah peristiwa transaksi suap atau konglikong menjadi pe­merasan.

“Hakim yang cermat pasti akan mengetahui apakah saksi-saksi memberi keterangan yang benar atau bohong. Hakim me­mi­liki kemampuan dan penga­la­man dalam me­nimbang se­mua keterangan dalam per­si­da­ngan,” katanya, kemarin.

Edi juga berharap, hakim jeli menyikapi semua fakta pers­i­dangan kasus ini, sehingga pu­tusan yang dikeluarkan mereka nanti, benar-benar obyektif. Se­lain itu, jika para saksi mem­berikan keterangan bohong, idealnya hakim meminta KPK untuk menetapkannya menjadi tersangka.

“Hakim bisa meminta atau memerintahkan jaksa untuk mengubah status saksi menjadi tersangka. Hal itu bisa dila­ku­kan jika pada pertimbangannya, hakim menemukan saksi ber­bohong,” tandas alumnus Insti­tut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) ini.

Menurutnya, saksi bisa ber­dusta karena bermaksud me­nye­lamatkan diri dari jerat hu­kum. Misalnya, jika saksi me­nyuap tapi memberikan ke­te­ra­ngan seolah-olah diperas. Se­hingga, saksi menempatkan dirinya sebagai korban, bukan pelaku kasus korupsi. Atau, ber­dusta lantaran ingin membantu meringankan ancaman hu­ku­man terdakwa. Karena itu, keje­lian hakim sangat penting.

“Jangan sampai, saksi-saksi dibiarkan memberikan kete­ra­ngan bohong. Jika saksi yang berbohong tidak disikapi secara se­rius, bukan tak mungkin, akan banyak terdakwa yang lolos dari hukuman berat.”

Momentum yang demikian, sambung Edi, mencederai pro­ses penegakan hukum itu se­n­diri. Terlebih dalam upaya mem­berantas dan memerangi korup­si yang jadi semangat Pe­nga­di­lan Tipikor.  [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya