Berita

Siti Hartati Murdaya

X-Files

Siti Hartati Murdaya Segera Dibawa KPK Ke Pengadilan

Kasus Suap Bupati Buol Amran Batalipu
MINGGU, 28 OKTOBER 2012 | 08:24 WIB

KPK memastikan, pemeriksaan bos PT Hardaya Inti Plantations Siti Hartati Murdaya sudah final. Kini, berkas perkara tersangka kasus suap Bupati Buol Amran Batalipu itu masuk tahap penuntutan.

Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo me­ngatakan, pemeriksaan Hartati pada Jumat lalu (19/10), dit­u­ju­kan guna melengkapi berkas per­kara. Dia menyatakan, berkas per­kara tersangka juga sudah ma­suk tahap final. Artinya, pe­nyi­dikan akan ditingkatkan ke tahap penuntutan.

Peningkatan status penanganan kasus ini, otomatis bakal mem­per­cepat proses persidangan ter­ha­dap Hartati. Dikemukakan, intensitas pemeriksaan bos PT Hardaya Inti Plantations (HIP) itu untuk memperkuat sangkaan KPK, bahwa Hartati menyuap Bu­pati Buol Amran Batalipu. Sangkaan tersebut nantinya akan di­buktikan di persidangan. Na­mun, dia belum bisa memastikan, kapan persidangan Hartati bakal digelar. “Kita berharap kasus ini segera tuntas,” katanya.

Kendati begitu, Johan tidak mau memaparkan pemeriksaan Hartati secara mendetail. Pa­sal­nya, materi pemeriksaan me­ru­pa­kan kewenangan penyidik.

Indikasi keterlibatan Hartati dalam kasus suap Bupati Buol, antara lain terlihat dalam surat dakwaan terhadap General Ma­nager Supporting PT Hardaya Inti Plantations Yani Ansori. Dalam dakwaan itu, pada 15 Juni 2012, staf financial controller PT HIP Arim diperintahkan Direktur Uta­ma PT HIP Siti Hartati Murdaya dan Direktur PT HIP Totok Lis­tiyo berangkat ke Buol untuk me­ngambil uang Rp 1 miliar dari Seri Shiritorn, General Manager Finance PT HIP. Pada 20 Juni 2012, berdasarkan dakwaan ini, Hartati dan Totok memerintahkan Arim kembali menyiapkan dana Rp 2 miliar. Intinya uang Rp 3 miliar itu untuk menyuap Amran.

Hartati yang dikonfirmasi soal pemeriksaannya menolak bicara panjang lebar. Dia hanya me­nya­ta­kan, pemeriksaan masih ber­kutat seputar peran dirinya. Har­tati bersikukuh, dalam perkara yang melibatkan sejumlah anak buahnya, dia dalam posisi se­ba­gai obyek pemerasan. “Materi pe­meriksaan masih seperti seb­e­lumnya,” jelasnya.

Dia bersikukuh, tuduhan bah­wa dirinya terlibat suap Rp 3 mi­liar, dipaksakan. KPK me­nyang­ka Hartati memberi suap pada Amran Batalipu agar hak guna usaha perkebunan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah segera ter­bit. Atas perbuatan itu, Hartati di­jerat Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan b atau Pasal 13 Undang Un­dang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Kuasa hukum tersangka, Patra M Zein menyatakan, Hartati su­dah menyampaikan pemb­e­laan. Isinya, menyebutkan bahwa dia sama sekali tidak pernah meme­rintahkan anak buahnya untuk menyuap Amran Batalipu. Ti­n­da­kan suap, sambungnya, dilak­sa­na­kan atas inisiatif anak buahnya, Gondo Sudjono dan Yani Anshori yang sudah disidang di Penga­di­lan Tipikor Jakarta.

“Keterangannya sudah disam­pai­kan di pengadilan. Juga di­sam­paikan kepada penyidik KPK,” tegasnya. Oleh sebab itu, sampai saat ini kliennya merasa bahwa perusahaannya menjadi obyek pemerasan Bupati Buol.

Menyinggung soal peme­rik­sa­an Hartati, bekas Direktur YLBHI itu mengaku, kliennya sem­pat di­singgung mengenai keter­libatan Artalita Suryani alias Ayin. Tapi, Patra menolak mem­beberkan apa keterangan yang disampaikan Hartati mengenai Ayin.

Menurutnya, hal paling krusial dalam persoalan ini adalah, ba­gai­mana tim kuasa hukum mem­buktikan bahwa Hartati tidak ter­kait proses suap-menyuap se­perti yang disangkakan penyidik KPK. Dia bilang, untuk menepis tuduhan tersebut, pihaknya sudah me­nyiap­kan bukti-bukti pendukung.

 Bukti-bukti itu antara lain, ke­saksian Direktur PT HIP, Totok Lis­tiyo yang  mengaku telah me­ngam­­bil tindakan sepihak. Dia me­ngaku mengeluarkan dana sebesar Rp 2 miliar untuk Bupati Buol, Am­ran Batalipu. Apalagi pada ke­saksiannya, Hartati mem­be­narkan, pernah memberi uang  Rp 1 miliar kepazda anak buahnya, Arim untuk diberikan kepada warga.

Hartati beralasan, pemberian uang bertujuan agar warga tidak mengganggu keamanan perusa­haan. Namun, perintah pem­be­rian itu justru digunakan Arim un­tuk memberikan uang kepada Amran Batalipu. Fakta-fakta se­perti inilah yang tegas Patra akan dijadikan sebagai pembelaan untuk kliennya. “Hal itu harus di­buktikan oleh penyidik KPK,” katanya.

REKA ULANG

Anak Buah Hartati Dituntut 2 Tahun Enam Bulan Penjara

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Ko­rupsi (KPK) menuntut anak buah Hartati Murdaya di PT Hardaya Inti Platation (HIP), Gondo Sud­jono dua tahun enam bulan pen­jara dan pidana denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan.

Direktur Operasional PT HIP itu didakwa menyuap Bupati Buol Amran Batalipu untuk me­lancarkan pengurusan sertifikat hak guna usaha (HGU) pe­r­ke­bu­nan PT HIP di kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.

“Menuntut ter­dak­wa pidana pen­jara dua tahun enam bulan, denda Rp 50 juta subsider tiga bu­lan kurungan,” kata jaksa Eva Yustisiana, saat mem­bacakan tuntutan di Pengdilan Tipikor Jakarta pada Kamis (18/10).

Dalam menjatuhkan tuntutan, jak­sa memperhatikan hal-hal yang meringankan dan memb­e­rat­­kan ter­dakwa. Hal yang mem­beratkan, kata jaksa, terdakwa tid­ak men­du­kung upaya pemerin­tah dalam pem­berantasan tindak pidana ko­rupsi. Sedangkan hal yang me­ringankan, yakni ter­dak­wa bukan aktor intelektual, ber­sikap sopan dalam persidangan dan masih me­miliki tanggungan keluarga.

Gondo Sudjono didakwa ikut menyuap Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu sebesar Rp 3 miliar. Tujuan pemberian uang agar Amran menerbitkan su­rat rekomendasi izin usaha perkebunan dan hak guna usaha perkebunan sawit PT Cipta Cakra Murdaya dan PT Hardaya Inti Plantation.

Atas perbuatannya, Gondo dan General Manager Supporting PT Hartati Inti Plantations Yani An­sori dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang Undang Pemberantasan Tin­dak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Patra M Zein, kuasa hukum kedua terdakwa menyatakan, klien mereka semestinya dituntut bebas. Soalnya, jaksa melihat Gondo dan Yani hanya anak buah yang disuruh. Apalagi, Patra menambahkan, selama proses persidangan terungkap bahwa pemberian uang terhadap Bupati Buol tidak terkait penerbitan su­rat-surat hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit. “Jaksa sepakat bahwa Yani dan Gondo itu hanya kurir, jadi tidak sepan­tas­nya mereka dituntut pidana. Seharusnya jaksa menuntut bebas keduanya,” tegasnya.

Menurut Patra, jaksa memak­sakan tuntutan tersebut. “Orang yang disuruh melakukan tanpa tahu maksud dan tujuan pembe­ri­an uang, tidak dapat dipidana,” kata Patra seusai sidang.

Bantahan Akan Dibandingkan  Dengan Alat Bukti

Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari meminta penyidik KPK optimal dalam menyelesaikan perkara suap yang melilit pengusaha Siti Har­tati Murdaya.

Silang pendapat antara pihak tersangka dan pihak KPK, me­nu­rutnya layak dikaji kebe­na­ran­nya melalui proses hukum yang pasti. “Proses hukum ka­sus ini harus dilaksanakan se­suai konstitusi. Perbedaan pen­dapat antara tersangka dan pe­nyidik merupakan hal yang wajar,” katanya.

Setiap pihak, diyakini mem­punyai argumen sendiri-sendiri. Nantinya, tinggal bagaimana hakim menilai dan menyikapi perbedaan tersebut. Jadi, sam­bungnya, proses persidangan ka­sus ini menjadi kunci dalam menjawab semua perbedaan tersebut.

“Akan terlihat dalam per­sidangan, siapa yang benar dan siapa yang salah,” katanya.

Hakim, menurutnya, mesti jeli dalam menilai keterangan dan barang bukti. Artinya, kete­rangan saksi dan barang bukti akan sangat membantu hakim dalam menarik kesimpulan seputar keterlibatan seseorang.

“Mekanisme yang paling tepat dalam menjawab semua persoalan yang ada tentu ada di pengadilan. Makanya, kasus ini perlu segera dilimpahkan ke pengadilan.”

Masuknya perkara ke penga­dilan, kata Eva, akan menjawab se­gala persoalan yang muncul. Soalnya, dalam persidangan yang ideal, semua keterangan, ke­­saksian atau bantahan terdak­wa akan diukur dan diban­ding­kan dengan bukti-bukti yang ada. Dari situ, dapat terlihat apa dan bagaimana peran seseorang dalam sebuah perkara.

“Persidangan akan meng­hasil­kan kepastian hukum yang jelas. Apapun putusan hakim, tentu didasari argumen hukum yang pasti,” ucap anggota DPR dari PDIP ini.

Dakwaan Tentu Berdasarkan Bukti Konkret

Fadli Nasution, Ketua PMHI

Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) Fadli Nasution menilai, proses hu­kum terhadap pengusaha Siti Har­tati Murdaya sudah optimal. Segala tuduhan yang dialamat­kan kepada Hartati tentu di­dasari bukti-bukti konkret.

“Penyidik KPK tentu punya dasar dalam menentukan tudu­han. Karena itu, tidak ada alasan untuk menggantung  penun­ta­san perkara tersebut,” katanya.

Dia meminta semua kalangan mendukung upaya KPK untuk menyelesaikan kasus ini. Soal­nya, dukungan masyarakat ke­pa­da KPK akan menguatkan kinerja KPK dalam menying­kap perkara-perkara korupsi.

Fadli pun mengapresiasi lang­kah tersangka yang ber­upa­ya menepis sangkaan penyidik. “Itu adalah hal yang sah. Yang paling penting nantinya, apakah tersangka bisa membuktikan pembelaannya itu,” tandasnya.

Ia menyatakan, tuntutan dan putusan hukuman pada anak buah Hartati di Pengadilan Ti­pi­kor sesungguhnya bisa me­nun­jukkan arah kasus ini. Se­jauhmana keterlibatan Hartati dalam kasus ini.

“Sekalipun Hartati sudah mem­beri kesak­sian berisi pem­belaan diri, hal itu tetap harus diuji lagi oleh hakim,” ucapnya.

Fadli menambahkan, jika berkas perkara atas nama Har­tati masuk ke pengadilan, ha­kim bisa memanggil kembali saksi-saksi yang pernah di­mintai keterangan seputar hal ini. Apabila jaksa kasus ini cer­mat, mereka pun tentu akan men­­cari dan menghadirkan sak­si lain yang dianggap s­ebagai kunci dalam membuktikan tuduhannya.

“Kita lihat apa langkah jaksa di sini. Jika mereka punya ke­yakinan bahwa Hartati terlibat kasus suap, pasti mereka akan menghadirkan saksi yang di­ang­gap kunci,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya