Meutia Hatta
Meutia Hatta
Menanggapi hal itu, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Meutia Hatta meÂminta semua pihak terkait menÂcari solusi jitu mencegah keÂkeÂrasan itu.
â€Stop kekerasan siswa. SeÂmuaÂnya harus introspeksi diri. Lalu menÂcari solusi yang jitu,’’ kata MeÂutia Hatta kepada Rakyat MerÂdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurut putri proklamator Bung Hatta itu, guru harus mamÂpu melakukan komunikasi perÂsoÂnal dan melakukan bimbingan leÂbih optimal terhadap peserta didik.
â€Saya melihat anak didik kita mengalami stres komulatif. BeÂban pelajarannya sangat berat. Padahal, ada pelajaran yang tidak menarik. Akhirnya stres dan meÂlakukan tindakan destruktif,’’ paÂparnya.
Berikut kutipan selengkapnya:
Kenapa Anda bilang ada stres komulatif?
Saya saudah meneliti, saat ini terlalu banyak bahan yang harus dipahami anak-anak. Mereka dipaksa untuk tahu semua pelajarÂan.
Terjadi tekanan mental, seÂhinga mudah marah, agresif dan meÂrusak.
Apa pelajaran yang tidak menarik itu?
Mata pelajaran dalam satu sÂeÂmesÂter terlalu banyak. Apalagi tiÂdak ada bimbingan yang makÂsiÂmal dari guru, sehingga kurang mendapatkan penjelasan mengeÂnai mata pelajaran yang diajarÂkan, terutama kepada anak yang merasa kesulitan memahami. Ini menimbulkan stres. Apalagi daÂlam satu semester mendaÂpatÂkan 19 mata pelajaran.
Memang idealnya berapa?
Idealnya dalam satu semester tujuh mata pelajaran saja, tapi yang fokus. Terutama pelajaran yang dapat mempersatukan kita dan membina karakter anak bangsa.
Tapi yang lebih bahaya lagi, saya melihat pelajaran Pancasila suÂdah terdistorsi. Padahal PanÂcaÂsila itu kan instrument untuk meÂnyatukan antar bangsa yang berbeda.
Anda bilang, guru kurang meÂlakukan komunikasi persoÂnal, dalam hal apa itu?
Saya dapat informasi, guru seÂkarang masuk kelas dan anak murid disuruh mengisi Lembar Kerja Siswa (LKS), lalu disuruh memÂbuat Pekerjaan Rumah (PR) dan dinilai. Guru kurang menÂjelaskan soal mata pelajaran itu, sehingga pendekatan komunikasi perÂsonal kurang. Itu yang perlu diÂtingkatkan.
Apa media massa, khususnya televisi yang menyuguhkan film atau sinetron mengenai keÂkerasan, mempengaruhi meÂreka?
Itu juga mempengaruhi periÂlaÂkÂu anak-anak yang membuat mental keras, agresif dan mengaÂrah pada perilaku merusak. TerÂlebih pergaulan mereka yang dibiarkan bebas.
Apa Kemendikbud kurang tegas?
Saya kira semua harus inÂtrosÂpeksi, tidak bisa lepas tanggung jawab. Apa yang dianggap kuÂrang, ya dibenahi. Jangan diam saja.
Ada yang menilai peran orangÂtua perlu dimaksimalkan untuk mengawasi anaknya, tanÂggapan Anda?
Saya rasa ini tanggung jawab bersama antara guru dan orangtua untuk memberikan pendidikan. Tidak hanya menggantungkan satu pihak saja.
Selama ini kan antara guru dan orangtua tidak mau mengaku paling bertanggung jawab atas kekerasan siswa.
O ya, apa sekolah yang sisÂwaÂnya sering tawuran digaÂbung menjadi satu?
Saya melihat psikologinya. KaÂlau digabung belum tentu mengÂhasilkan efek yang baik. Kalau digabung malah menjadi parah, tentu bisa rusuh semua. Tidak digabung saja, tawuran. Apalagi digabung, kekerasan bisa masuk ke kelas-kelas.
Apakah kepala sekolah yang siswanya tawuran perlu diÂganti?
Sebuah sekolah memiliki budaÂyanya masing-masing. Satu sekolah tentu memiliki ciri khas speÂsifik. Kalau itu menjurus pada hal yang negatif, maka ditata ulang, termasuk mengganti keÂpala sekolahnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30