PT ChevÂron Pasific Indonesia
PT ChevÂron Pasific Indonesia
Menurut Kepala Sub Bagian Humas BPKP Tri Wibowo, piÂhakÂnya belum bisa memastikan angka kerugian negara dalam kaÂsus Chevron. Soalnya, masih baÂnyak kendala yang dihadapi BPKP dalam menghitung nilai kerugian negara pada perkara korupsi yang ditangani Kejagung ini. “Pimpinan juga menyatakan bahwa hal ini belum bisa disamÂpaikan,†ujarnya saat diÂkonÂfirmasi Rakyat Merdeka, Jumat lalu (21/9).
Dalam melakukan audit terÂseÂbut, lanjut Tri, BPKP hanya meÂngandalkan data dan informasi dari Kejaksaan Agung. “Kami tiÂdak bisa langsung ke pihak-pihak terperiksa,†ujarnya.
Persoalannya, dalam hal seÂperti itu, BPKP malah sering keÂsuÂlitan mendapatkan data. “BaÂnyak hal teknis yang butuh perÂhatian. Misalnya, banyak data dan dokumen yang kami peÂrÂluÂkan, tapi belum diserahkan pihak Kejaksaan Agung,†kata dia.
Tri berharap, Kejaksaan Agung bisa segera memberikan data yang diperlukan. “Kami teÂtap beÂkerja, dan sesegera mungÂkin kami berÂharap bisa diseÂleÂsaiÂkan. Ya, saling membantulah,†ucapnya.
Direktur Penyidikan pada JakÂsa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw mengakui, adaÂnya keterlambatan pasokan sejumlah data yang dibutuhkan BPKP. “Memang kadang kami terÂlambat menyerahkan doÂkuÂmen-dokumen itu. Saya sudah minta, jangan terlambat. KoorÂdinasi sudah kita percepat, karena memang banyak yang harus meÂreka hitung,†katanya.
Kendati begitu, menurut ArÂnold, keterlambatan itu tidak teÂrÂlalu bermasalah dan tidak meÂruÂsak hubungan baik antara piÂhakÂnya dengan BPKP. “Selama ini huÂbungan kami baik dengan BPKP,†ucap bekas Kepala KeÂjakÂsaan Tinggi Sulawesi Utara ini.
Sembari menunggu angka keÂrugian negara dari BPKP, peÂnyiÂdik kembali melakukan penyitaan sejumlah aset para tersangka perÂkara korupsi proyek pemuÂliÂhan lingkungan (bioremediasi) bekas lahan eksplorasi minyak PT ChevÂron Pasific Indonesia (CPI) di Riau.
Penyitaan itu untuk mengaÂmanÂkan aset yang akan dijadikan pembanding kerugian negara daÂlam proyek tersebut. “Sejak Rabu, 19 September, tim kami yang beranggotakan empat orang turun ke Riau untuk melakukan penyitaan barang dan aset milik para tersangka,†ujar Arnold pada Jumat lalu (21/9).
Menurut Arnold, penyitaan itu diperlukan untuk memÂbaÂndingÂkan biaya pemulihan lingkungan (cost recovery) dalam kasus koÂrupsi ini. “Diperlukan untuk memperdalam kerugian negara. Cost recovery yang dihitung, meÂliÂputi cost recovery pada wilayah darat, air dan udara,†katanya.
Mengenai penyidikan yang tak kunjung naik ke tahap penunÂtuÂtan, Arnold beralasan, pihaknya seÂdang mempersiapkan semua seÂcara matang agar tidak gagal di pengadilan. Dalam waktu dekat, lanjutnya, penyidik akan memeÂriksa semua tersangka.
“Surat panggilan sudah kami layangkan hari ini, untuk peÂmeÂriksaan pada Rabu 26 September. Jadi, sabar dulu, kita lihat perÂkembangannya. Mudah-muÂdaÂhan lebih cepat ke penuntutan,†ucap dia.
Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung sudah menetapkan lima tersangka dari PT Chevron, yakni Endah Rubiyanti, Widodo, KuÂkuh, Bachtiar Abdul Fatah dan AleÂxiat. Dua tersangka lainnya dari kelompok kerja sama operasi (KSO), yakni yakni Herland selaku Dirut PT Sumigita Jaya dan Ricksy Prematuri dari PT Green Planet Indonesia.
Menurut Kepala Pusat PeneÂrangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, semestinya Chevron melakukan pemulihan lahan bekas eksplorasi tambang mereka di Duri, Riau. Chevron mempercayakan proyek pemuÂliÂhan lingkungan yang mengÂguÂnakan Âteknologi bioremediasi itu, kepada PT Green Planet InÂdoÂneÂsia dan PT Sumigita Jaya.
Persoalannya, lanjut KapuÂsÂpenÂkum, kedua perusahaan itu tidak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi dari pejabat berÂwenang sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan limbah. Kedua perusahaan itu haÂnya kontraktor umum, sehingga dalam pelaksanaannya, proyek terÂsebut diduga fiktif.
REKA ULANG
Taksiran Awal Kerugian Negaranya Rp 200 M
Mulanya, Kejaksaan Agung meÂnaksir, kerugian keuangan neÂgara dalam kasus Chevron Rp 200 miliar.
Belakangan, Kejagung malah bergantung pada Badan PengaÂwaÂsan Keuangan dan PemÂbaÂnguÂnan (BPKP) untuk menentukan angka kerugian negara itu. PaÂdaÂhal, KeÂjagung sudah kadung meÂnetapkan tujuh tersangka. Ujung-ujungnya, belum satu pun terÂsangÂka kasus ini yang disidang di Pengadilan TipiÂkor, kendati surat perintah peÂnyiÂdikan terhadap mereka telah keluar seÂjak tujuh bulan lalu.
Perkara korupsi proyek pemuÂlihan lingkungan ini, berawal dari perjanjian antara Badan PeÂlakÂsaÂna Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan PT ChevÂron Pasific Indonesia (CPI). SaÂlah satu poin perjanjian itu meÂngaÂtur tentang biaya untuk melaÂkukan pemulihan lingkungan (cost reÂcovery) dengan cara bioremediasi.
Namun, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, kegiaÂtan bioremediasi yang seharusnya dilakukan selama perjanjian berÂlangsung, tidak dilaksanakan dua perusahaan swasta yang ditunjuk Chevron, yaitu PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ).
Padahal, lanjut Adi, anggaran untuk proyek bioremediasi terseÂbut sudah dicairkan BP Migas sebesar 23,361 juta Dolar AmeÂrika Serikat. “Akibat proyek fiktif ini, negara dirugikan Rp 200 miÂliar,†tegasnya.
Menurut Adi, penyelidikan atas kasus proyek fiktif ini dimulai sejak Oktober 2011 berdasarkan laporan masyarakat. Tujuh terÂsangÂkanya adalah ER, WB, KK, HL, RP, AT dan DAF. Surat perinÂtah penyidiÂkanÂnya (sprindiknya) diÂbagi tiga. Untuk tersangka HL nomor 26/F.2/FD.1/03/2012, terÂsangka ER, WB dan KK SpÂrinÂdik nomor 27. Sedangkan terÂsangka RT, AT, dan DAF SprinÂdik nomor 28.
Vice President Policy GoverÂnÂment and Public Affair PT ChevÂron Pacific Indonesia, Yanto SiaÂnipar membantah bahwa angÂgaÂran proyek bioremediasi sebesar 270 juta Dolar AS atau Rp 2,43 triÂliun. “Tidak ada itu angka 270 juta Dolar AS. Total anggaran dari proyek bioremediasi PT ChevÂron adalah 23 juta Dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar,†katanya.
Lantaran itu, Yanto mengaku bingung dengan angka-angka yang dikeluarkan pihak KejakÂsaÂan Agung dan kerugian negara yang diduga mencapai Rp 200 miliar. “Saya tidak tahu menahu angka-angka yang dikeluarkan Kejaksaan Agung. Yang pasti, kami memiliki seluruh data terÂkait proyek bioremediasi dan akan kami jelaskan selama berÂjalannya pemeriksaan,†kata dia.
Dia menjelaskan, kasus ini berawal dari perjanjian antara BP Migas dengan Chevron. Pada perÂjanjian tersebut juga ada pemÂbagian yang mengatur mengenai biaya untuk melakukan bioÂreÂmeÂdiasi.
Jangan Jadi Alasan Petieskan Kasus
Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago heran, kenapa Kejaksaan Agung terlalu berÂgantung pada angka kerugian negara versi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Soalnya, sebelum BPKP meÂnentukan nilai kerugian negara itu, Kejaksaan Agung sudah menetapkan tujuh tersangka kaÂsus Chevron. Sehingga, meÂnuÂrut Taslim, Kejagung semesÂtinya sudah yakin betul pada angka kerugian negara dalam kasus ini.
“Saya kira, hasil audit BPKP adalah bahan awal untuk melaÂkuÂkan penyelidikan, bukan dijaÂdikan alasan untuk berputar-puÂtar pada proses penyidikan, seÂhingga para tersangka itu tak kunÂjung dibawa ke pengaÂdiÂlan,†tandasnya.
Lantaran itu, Taslim meÂwanÂti-wanti Kejaksaan Agung agar tidak menghentikan penangaÂnan kasus ini dengan alasan meÂnunggu hasil audit BPKP. “JaÂngan sampai menunggu hasil audit BPKP, dijadikan alasan untuk mempetieskan kasus ini. Apalagi kasus ini sudah cukup lama, nilainya besar dan sudah penetapan tersangka. Ini harus menjadi perhatian semua piÂhak,†tegasnya.
Kendati begitu, Taslim juga meÂngingatkan BPKP agar tidak lelet menyelesaikan tugasnya melakukan audit. “Kita harap supaya BPKP menyampaikan hasil audit itu segera,†pinta angÂgota DPR dari Fraksi PAN ini.
Melihat penanganan perkara ini yang mulai tampak lamban, berputar-putar dan para terÂsangkanya tak kunjung dibawa ke pengadilan, Taslim jadi cuÂriga. Menurut dia, tidak cukup hanya Kejaksaan Agung yang menangani perkara ini.
“Saya mulai mencurigai ada sesuatu yang tidak beres. SuÂpaÂya kecurigaan ini tidak menjadi kenyataan, kita minta KPK meÂmonitor kasus ini, sesuai fungsi KPK yang diatur dalam undang undang,†katanya.
Bukan Wewenang BPKP Semata
Sandi Ebeneser Situngkir, Majelis Pertimbangan PBHI
Anggota Majelis PertimÂbaÂngan Perhimpunan Bantuan HuÂkum Indonesia (PBHI) Sandi Ebeneser Situngkir beÂrÂpenÂdaÂpat, jika para tersangka kasus Chevron tak kunjung disidang, maka publik bisa melakukan guÂgatan terhadap Kejaksaan Agung. “Kalau tidak naik ke peÂnuntutan, bisa di-praperadilan-kan,†katanya.
Sandi menilai, dalam penaÂngaÂnan perkara ini, pihak KeÂjakÂsaan Agung tidak prÂoÂfeÂsioÂnal. “Penanganan kasus ini menÂcerminkan kejaksaan tidak profesional. Kalau BPKP lamÂbat atau tidak melakukan audit, kejaksaan bisa menunjuk auÂdiÂtor lain,†ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai advokat ini.
Apalagi, menurut Sandi, daÂlam sistem pembuktian tidak perÂnah disebutkan bahwa hanya BPKP yang berwenang melaÂkuÂkan audit. “Bisa juga dilakukan lembaga lain, termasuk auditor inÂdÂependen nasional dan interÂnasional,†kata Ketua Majelis Indonesia Public Services Watch ini.
Sandi pun menilai, jika hasil audit BPKP tak kunjung keluar, maka lembaga yang dipimpin Mardiasmo itu tidak serius beÂkerja. “Sebagai auditor negara, BPKP harus menjalankan keÂwajibannya,†tandas dia.
Persoalan yang kerap terjadi, menurut Sandi, perkara mandek karena antar lembaga yang seÂharusnya saling mempermudah proses, malah saling memÂperÂsulit. “Egoisme lintas instansi. Seolah-olah itu hak masing-maÂsing lembaga, padahal itu keÂwajiban yang artinya kehÂaÂruÂsan,†ujarnya.
Sandi pun mengkritisi seÂjumÂlah kesepakatan atau meÂmoÂranÂdum of understanding (MoU) yang dibangun antar lembaga, namun kenyataannya tidak efekÂtif. “Salah kalau antar instansi ada MoU, seolah-olah MoU lebih tinggi dari undang unÂdang. MoU tidak perlu, tingÂgalkan, pakai undang undang saja, karena di situ semuanya suÂdah diatur,†katanya.
Sandi pun mempertanyakan, apakah pembuat undang unÂdang, yakni Pemerintah dan DPR sengaja tidak membuat sanksi apabila instansi negara tiÂdak menjalankan kewaÂjiÂbanÂnya. “Apakah karena terkait sanksi yang bisa mengenai pemÂbuat unÂdang undang,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52