Berita

PT Chev­ron Pasific Indonesia

X-Files

Kejagung Lambat Setor Data Kasus Chevron Ke BPKP

Belum Satu Pun Tersangka Dibawa Ke Pengadilan
SENIN, 24 SEPTEMBER 2012 | 09:15 WIB

Belum satu pun tersangka kasus Chevron dibawa kejaksaan ke Pengadilan Tipikor. Padahal, surat perintah penyidikan terhadap tujuh tersangka itu, telah dikeluarkan Kejaksaan Agung sejak 1 Maret lalu. Belum keluarnya angka kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadi kendala.

Menurut Kepala Sub Bagian Humas BPKP Tri Wibowo, pi­hak­nya belum bisa memastikan angka kerugian negara dalam ka­sus Chevron. Soalnya, masih ba­nyak kendala yang dihadapi BPKP dalam menghitung nilai kerugian negara pada perkara korupsi yang ditangani Kejagung ini. “Pimpinan juga menyatakan bahwa hal ini belum bisa disam­paikan,” ujarnya saat di­kon­firmasi Rakyat Merdeka, Jumat lalu (21/9).

Dalam melakukan audit ter­se­but, lanjut Tri, BPKP hanya me­ngandalkan data dan informasi dari Kejaksaan Agung. “Kami ti­dak bisa langsung ke pihak-pihak terperiksa,” ujarnya.

Persoalannya, dalam hal se­perti itu, BPKP malah sering ke­su­litan mendapatkan data. “Ba­nyak hal teknis yang butuh per­hatian. Misalnya, banyak data dan dokumen yang kami pe­r­lu­kan, tapi belum diserahkan pihak Kejaksaan Agung,” kata dia.

Tri berharap, Kejaksaan Agung bisa segera memberikan data yang diperlukan. “Kami te­tap be­kerja, dan sesegera mung­kin kami ber­harap bisa dise­le­sai­kan. Ya, saling membantulah,” ucapnya.

Direktur Penyidikan pada Jak­sa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw mengakui, ada­nya keterlambatan pasokan sejumlah data yang dibutuhkan BPKP. “Memang kadang kami ter­lambat menyerahkan do­ku­men-dokumen itu. Saya sudah minta, jangan terlambat. Koor­dinasi sudah kita percepat, karena memang banyak yang harus me­reka hitung,” katanya.

Kendati begitu, menurut Ar­nold, keterlambatan itu tidak te­r­lalu bermasalah dan tidak me­ru­sak hubungan baik antara pi­hak­nya dengan BPKP. “Selama ini hu­bungan kami baik dengan BPKP,” ucap bekas Kepala Ke­jak­saan Tinggi Sulawesi Utara ini.

Sembari menunggu angka ke­rugian negara dari BPKP, pe­nyi­dik kembali melakukan penyitaan sejumlah aset para tersangka per­kara korupsi proyek pemu­li­han lingkungan (bioremediasi) bekas lahan eksplorasi minyak PT Chev­ron Pasific Indonesia (CPI) di Riau.

Penyitaan itu untuk menga­man­kan aset yang akan dijadikan pembanding kerugian negara da­lam proyek tersebut. “Sejak Rabu, 19 September, tim kami yang beranggotakan empat orang turun ke Riau untuk melakukan penyitaan barang dan aset milik para tersangka,” ujar Arnold pada Jumat lalu (21/9).

Menurut Arnold, penyitaan itu diperlukan untuk mem­ba­nding­kan biaya pemulihan lingkungan (cost recovery) dalam kasus ko­rupsi ini. “Diperlukan untuk memperdalam kerugian negara. Cost recovery yang dihitung, me­li­puti cost recovery pada wilayah darat, air dan udara,” katanya.

Mengenai penyidikan yang tak kunjung naik ke tahap penun­tu­tan, Arnold beralasan, pihaknya se­dang mempersiapkan semua se­cara matang agar tidak gagal di pengadilan. Dalam waktu dekat, lanjutnya, penyidik akan meme­riksa semua tersangka.

“Surat panggilan sudah kami layangkan hari ini, untuk pe­me­riksaan pada Rabu 26 September. Jadi, sabar dulu, kita lihat per­kembangannya. Mudah-mu­da­han lebih cepat ke penuntutan,” ucap dia.

Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung sudah menetapkan lima tersangka dari PT Chevron, yakni Endah Rubiyanti, Widodo, Ku­kuh, Bachtiar Abdul Fatah dan Ale­xiat. Dua tersangka lainnya dari kelompok kerja sama operasi (KSO), yakni yakni Herland selaku Dirut PT Sumigita Jaya dan Ricksy Prematuri dari PT Green Planet Indonesia.

Menurut Kepala Pusat Pene­rangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, semestinya Chevron melakukan pemulihan lahan bekas eksplorasi tambang mereka di Duri, Riau. Chevron mempercayakan proyek pemu­li­han lingkungan yang meng­gu­nakan ­teknologi bioremediasi itu, kepada PT Green Planet In­do­ne­sia dan PT Sumigita Jaya.

Persoalannya, lanjut Kapu­s­pen­kum, kedua perusahaan itu tidak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi dari pejabat ber­wenang sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan limbah. Kedua perusahaan itu ha­nya kontraktor umum, sehingga dalam pelaksanaannya, proyek ter­sebut diduga fiktif.

REKA ULANG

Taksiran Awal Kerugian Negaranya Rp 200 M

Mulanya, Kejaksaan Agung me­naksir, kerugian keuangan ne­gara dalam kasus Chevron Rp 200 miliar.

Belakangan, Kejagung malah bergantung pada Badan Penga­wa­san Keuangan dan Pem­ba­ngu­nan (BPKP) untuk menentukan angka kerugian negara itu. Pa­da­hal, Ke­jagung sudah kadung me­netapkan tujuh tersangka. Ujung-ujungnya, belum satu pun ter­sang­ka kasus ini yang disidang di Pengadilan Tipi­kor, kendati surat perintah pe­nyi­dikan terhadap mereka telah keluar se­jak tujuh bulan lalu.

Perkara korupsi proyek pemu­lihan lingkungan ini, berawal dari perjanjian antara Badan Pe­lak­sa­na Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan PT Chev­ron Pasific Indonesia (CPI). Sa­lah satu poin perjanjian itu me­nga­tur tentang biaya untuk mela­kukan pemulihan lingkungan (cost re­covery) dengan cara bioremediasi.

Namun, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, kegia­tan bioremediasi yang seharusnya dilakukan selama perjanjian ber­langsung, tidak dilaksanakan dua perusahaan swasta yang ditunjuk Chevron, yaitu PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ).

Padahal, lanjut Adi, anggaran untuk proyek bioremediasi terse­but sudah dicairkan BP Migas sebesar 23,361 juta Dolar Ame­rika Serikat. “Akibat proyek fiktif ini, negara dirugikan Rp 200 mi­liar,” tegasnya.

Menurut Adi, penyelidikan atas kasus proyek fiktif ini dimulai sejak Oktober 2011 berdasarkan laporan masyarakat. Tujuh ter­sang­kanya adalah ER, WB, KK, HL, RP, AT dan DAF. Surat perin­tah penyidi­kan­nya (sprindiknya) di­bagi tiga. Untuk tersangka HL nomor 26/F.2/FD.1/03/2012, ter­sangka ER, WB dan KK Sp­rin­dik nomor 27. Sedangkan ter­sangka RT, AT, dan DAF Sprin­dik nomor 28.

Vice President Policy Gover­n­ment and Public Affair PT Chev­ron Pacific Indonesia, Yanto Sia­nipar membantah bahwa ang­ga­ran proyek bioremediasi sebesar 270 juta Dolar AS atau Rp 2,43 tri­liun. “Tidak ada itu angka 270 juta Dolar AS. Total anggaran dari proyek bioremediasi PT Chev­ron adalah 23 juta Dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar,” katanya.

Lantaran itu, Yanto mengaku bingung dengan angka-angka yang dikeluarkan pihak Kejak­sa­an Agung dan kerugian negara yang diduga mencapai Rp 200 miliar. “Saya tidak tahu menahu angka-angka yang dikeluarkan Kejaksaan Agung. Yang pasti, kami memiliki seluruh data ter­kait proyek bioremediasi dan akan kami jelaskan selama ber­jalannya pemeriksaan,” kata dia.

Dia menjelaskan, kasus ini berawal dari perjanjian antara BP Migas dengan Chevron. Pada per­janjian tersebut juga ada pem­bagian yang mengatur mengenai biaya untuk melakukan bio­re­me­diasi.

Jangan Jadi Alasan Petieskan Kasus

Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Taslim Chaniago heran, kenapa Kejaksaan Agung terlalu ber­gantung pada angka kerugian negara versi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Soalnya, sebelum BPKP me­nentukan nilai kerugian negara itu, Kejaksaan Agung sudah menetapkan tujuh tersangka ka­sus Chevron. Sehingga, me­nu­rut Taslim, Kejagung semes­tinya sudah yakin betul pada angka kerugian negara dalam kasus ini.

“Saya kira, hasil audit BPKP adalah bahan awal untuk mela­ku­kan penyelidikan, bukan dija­dikan alasan untuk berputar-pu­tar pada proses penyidikan, se­hingga para tersangka itu tak kun­jung dibawa ke penga­di­lan,” tandasnya.

Lantaran itu, Taslim me­wan­ti-wanti Kejaksaan Agung agar tidak menghentikan penanga­nan kasus ini dengan alasan me­nunggu hasil audit BPKP. “Ja­ngan sampai menunggu hasil audit BPKP, dijadikan alasan untuk mempetieskan kasus ini. Apalagi kasus ini sudah cukup lama, nilainya besar dan sudah penetapan tersangka. Ini harus menjadi perhatian semua pi­hak,” tegasnya.

Kendati begitu, Taslim juga me­ngingatkan BPKP agar tidak lelet menyelesaikan tugasnya melakukan audit. “Kita harap supaya BPKP menyampaikan hasil audit itu segera,” pinta ang­gota DPR dari Fraksi PAN ini.

Melihat penanganan perkara ini yang mulai tampak lamban, berputar-putar dan para ter­sangkanya tak kunjung dibawa ke pengadilan, Taslim jadi cu­riga. Menurut dia, tidak cukup hanya Kejaksaan Agung yang menangani perkara ini.

“Saya mulai mencurigai ada sesuatu yang tidak beres. Su­pa­ya kecurigaan ini tidak menjadi kenyataan, kita minta KPK me­monitor kasus ini, sesuai fungsi KPK yang diatur dalam undang undang,” katanya.

Bukan Wewenang BPKP Semata

Sandi Ebeneser Situngkir, Majelis Pertimbangan PBHI

Anggota Majelis Pertim­ba­ngan Perhimpunan Bantuan Hu­kum Indonesia (PBHI) Sandi Ebeneser Situngkir be­r­pen­da­pat, jika para tersangka kasus Chevron tak kunjung disidang, maka publik bisa melakukan gu­gatan terhadap Kejaksaan Agung. “Kalau tidak naik ke pe­nuntutan, bisa di-praperadilan-kan,” katanya.

Sandi menilai, dalam pena­nga­nan perkara ini, pihak Ke­jak­saan Agung tidak pr­o­fe­sio­nal. “Penanganan kasus ini men­cerminkan kejaksaan tidak profesional. Kalau BPKP lam­bat atau tidak melakukan audit, kejaksaan bisa menunjuk au­di­tor lain,” ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai advokat ini.

Apalagi, menurut Sandi, da­lam sistem pembuktian tidak per­nah disebutkan bahwa hanya BPKP yang berwenang mela­ku­kan audit. “Bisa juga dilakukan lembaga lain, termasuk auditor in­d­ependen nasional dan inter­nasional,” kata Ketua Majelis Indonesia Public Services Watch ini.

Sandi pun menilai, jika hasil audit BPKP tak kunjung keluar, maka lembaga yang dipimpin Mardiasmo itu tidak serius be­kerja. “Sebagai auditor negara, BPKP harus menjalankan ke­wajibannya,” tandas dia.

Persoalan yang kerap terjadi, menurut Sandi, perkara mandek karena antar lembaga yang se­harusnya saling mempermudah proses, malah saling mem­per­sulit. “Egoisme lintas instansi. Seolah-olah itu hak masing-ma­sing lembaga, padahal itu ke­wajiban yang artinya keh­a­ru­san,” ujarnya.

Sandi pun mengkritisi se­jum­lah kesepakatan atau me­mo­ran­dum of understanding (MoU) yang dibangun antar lembaga, namun kenyataannya tidak efek­tif. “Salah kalau antar instansi ada MoU, seolah-olah MoU lebih tinggi dari undang un­dang. MoU tidak perlu, ting­galkan, pakai undang undang saja, karena di situ semuanya su­dah diatur,” katanya.

Sandi pun mempertanyakan, apakah pembuat undang un­dang, yakni Pemerintah dan DPR sengaja tidak membuat sanksi apabila instansi negara ti­dak menjalankan kewa­ji­ban­nya. “Apakah karena terkait sanksi yang bisa mengenai pem­buat un­dang undang,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya