Gerakan Mahasiswa Keguruan Nusantara (GMKN) mempertanyakan kebijakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam sistem penerimaan guru yang diberlakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam kebijakan tersebut tersurat bahwa profesi guru terbuka bagi semua lulusan program studi (prodi), kependidikan maupun non kependidikan, asal yang bersangkutan lulus PPG.
Koordinator Pusat GMKN, Achmad Ridlo, mengatakan aturan tersebut sangat tidak adil bagi lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Proses pendidikan selama empat tahun di LPTK seperti tidak ada artinya karena disandingkan dengan lulusan non-LPTK yang juga memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti PPG, sama-sama harus menempuh PPG selama 1 atau 2 semester bila mereka ingin menjadi guru.
"Bagaimana mungkin proses panjang selama sekitar delapan semester menempuh pendidikan disejajarkan hanya dengan paling lama satu semester kegiatan matrikulasi?" keluh Ridlo dalam keterangannya yang diterima redaksi, Jumat (21/9).
Dia mengatakan, proses membentuk kompetensi guru yang profesional sudah diamanatkan oleh UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 dan UU no 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dimana memerlukan waktu yang panjang, dan oleh sebab itu sudah harus dimulai sejak awal semester dalam delapan semester. Bukan sekedar lulus beberapa matakuliah matrikulasi dan bisa melakukan praktek mengajar secara instan.
"Lantas apa gunanya LPTK bila pada akhirnya siapa pun bisa menjadi guru hanya dengan menempuh pendidikan profesi selama satu atau dua semester," katanya.
Sementara, lanjut dia, dalam naskah akademik PPG sendiri dinyatakan, kompetensi guru merupakan sesuatu yang utuh, sehingga proses pembentukannya tidak bisa dilakukan secara instan. Sebab guru merupakan profesi yang akan menghadapi individu-individu, yakni pribadi unik yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang.
Tuntutan untuk menghasilkan guru yang profesional mengharuskan LPTK penyelenggara memiliki visi yang jelas dengan dilandasi prinsip good governance dan memiliki kapasitas yang menjamin keprofesionalan lulusannya. Dengan demikian, kualitas input menjadi sangat penting untuk menegakkan prinsip good governance, selain kualitas SDM, sarana prasarana, dan sebagainya. Pertanyaannya, mungkinkah PPG menghasilkan input seperti yang diharapkan?
Sumber dari permasalahan ini, jelas Ridlo, adalah adanya pasal Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yakni pasal 10 yang berbunyi, 'kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi'.
"Maka dari itu pasal ini harus dirubah atau di-judicial review di Mahkamah Konstitusi agar tidak menjadi 'keran' adanya lulusan selain kependidikan yang berhak mengikuti PPG atau menjadi guru," tandas dia.
[dem]