Putusan itu mengharuskan Pemda DKI membayar ganti rugi Rp 391 miliar kepada perusahaan yang mengklaim pemilik sah laÂhan 15 hektar di Meruya Selatan.
Di atas lahan itu telah berdiri seÂÂjumlah perumahan. Yakni peÂruÂmahan pegawai Wali Kota JaÂkarta Barat, Perumahan DPR 3, KavÂling DKI, Kavling, Green Villa dan Intercon Taman Kebon Jeruk.
Porta Nigra meminta putusan yang memenangkan gugatannya segera dieksekusi. Warga yang tinggal di perumahan itu khawatir lahan yang mereka tempati bakal jadi obyek eksekusi. Seperti yang diutarakan Eli, warga di Kavling DKI, Meruya Selatan, KemÂbaÂngan, Jakarta.
Wanita berusia 35 tahun ini meÂngungkapkan keluarganya sudah tinggal di sini sejak dekade 1970-an. “Kami memiliki sertiÂfikat tanah dan rumah ini secara sah dan bisa dibuktikan di peÂngadilan,†kata Eli yang ditemui tengah menggendong bayi di teÂras rumahnya Jumat lalu meneÂgasÂkan, akan melakukan perlaÂwaÂnan jika tanah dan rumahnya terÂmasuk obyek yang bakal diÂeksekusi. “Nyawapun siap kami pertaruhkan demi menghalangi eksekusi itu,†kata wanita yang mengenakan jilbab ini.
Ia mengingatkan Porta Nigra agar tak mengeksekusi lahan yang ditempati warga. “Kami kan sudah perjanjian dengan perusaÂhaÂan itu tidak melakukan ekÂseÂkusi lahan yang ditempati warga. Kalau tetap dilakukan, kami akan melawan,†tegasnya
Sebenarnya, Eli merasa capek sengketa lahan ini tak kunjung seÂlesai. “Kami ingin Pemda DKI meÂnyelesaikan sengketa ini seÂcepatnya demi kebaikan semua pihaknya,†harapnya.
Pengamatan Rakyat Merdeka, di atas lahan Kavling DKI telah berÂdiri puluhan rumah mewah. MaÂyoritas berlantai dua. Ada beÂberapa lahan yang masih kosong di kawasan itu. Lahan itu dipeÂnuhi pepohonan.
Bersebelahan dengan peruÂmaÂhan ini terdapat Perumahan DPR 3. Di sini berdiri puluhan rumah dengan berbagai ukuran. Roin, warga di perumahan ini masih akan melihat apa langkah yang akan diambil Porta Nigra setelah tuntutan ganti rugi terhadap PemÂda DKI dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Namun dia berÂharap lahan yang dia tempati tak terÂmasuk dalam obyek yang baÂkal dieksekusi.
“Sejak tahun 2007, Porta Nigra berjanji tidak akan menggusur ruÂmah yang ada di Kompleks DPR 3. Saat ini kami hanya melihat saja bagaimana kelanjutan dari janÂji itu†kata dia.
Pria yang mengaku sudah tingÂgal di perumahan ini sejak dekade 1980-an ini mengatakan Porta Nigra pernah membuat perjanjian warga dihadapan anggota DPR dan Setjen DPR bulan April tidak akan mengusik pemukiman warga.
“Kalau mereka (Porta Nigra) masih mengingkari kesepakatan tersebut, kita akan tunjukkan doÂkumen perjanjian yang dulu perÂnah disepakati,†kata pria berÂtubuh subur ini.
Ia mengatakan, kini rumah yang berdiri di perumahan ini berÂjumlah 50 rumah. “Awalnya haÂnya 34 rumah. Semakin kesini semakin banyak warga yang tinggal disini,†katanya.
Ketika diputuskan kalah oleh Mahkamah Agung (MA), Pemda DKI bertekad mengajukan upaya huÂkum terakhir: peninjauan kemÂbali (PK). Tekad itu disampaikan Gubernur DKI Fauzi Bowo Februari lalu.
Setelah tersiar kabar bahwa Porta Nigra mengajukan perÂmoÂhonan eksekusi (aanmaning), Fauzi Bowo kembali meÂnyamÂpaikan tekad sama. Pihaknya Pihaknya bersikukuh tidak akan membayar ganti rugi kepada Porta Nigra.
Menurut dia, ada dua perkara yang bergulir ke pengadilan terÂkait sengketa lahan di Meruya SeÂlatan ini. Kasasi perkara meÂngenai perbuatan melawan huÂkum yang dimenangkan Porta Nigra. Di perkara lainnya Pemda DKI pemenangnya.
“Jadi, kasasi yang membuat kita kalah ini, akan kami ajukan PK kepada MA dengan mengÂguÂnakÂan novum kasasi MA yang meÂmenangkan Pemprov DKI. DaÂlam waktu dekat sedang diraÂpatÂkan dengan Biro Hukum,†katanya
Namun hingga Porta Nigra meÂngajukan permohonan eksekusi, Pemda DKI tak juga memaÂsukÂkan memori PK. Kenapa?
Manihar Situmorang, kuasa huÂkum Pemda DKI, mengaku pihaknya belum bisa mengajukan memori PK karena belum meÂneÂrima salinan putusan MA yang meÂmenangkan Pemda DKI.
“SaÂlinan putusan MA yang meÂmenangkan kami pada tahun 2010 belum kami diterima,†dalihnya. Walaupun salinan puÂtusan belum diterima, pihaknya sudah memutuskan tidak akan melakukan pembayaran apa pun kepada Porta Nigra. Sebab bila itu dilakukan bisa terkena delik korupsi.
Manihor mengatakan piÂhakÂnya juga akan meminta salinan putuÂsan perkara dengan terdakwa H Juhri, mandor yang diduga telah menÂjual lahan milik Porta Nigra. NaÂmun memori PK yang akan diÂsusun, pihaknya akan meÂnguÂraiÂkan upaya akal-akalan Porta Nigra yang mengklaim seÂbagai pemilik lahan di Meruya Selatan.
Juga mengajukan argumentasi bahwa hakim telah melakukan kekeliruan dalam memutus perÂkara. Yang terpenting, pihaknya akan mengajukan bukti (novum) baru atas perkara ini.
Berdamai Dengan Warga, Dengan Pemda DKI? No!
Kasus sengketa lahan ini berÂmula ketika pada 1972-1973, PorÂta Nigra melakukan pemÂbeÂbaÂsan tanah di Kelurahan Meruya Udik, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang sekarang di kenal seÂbagai Kelurahan Meruya Selatan.
Setahun kemudian pada 1974 sampai 1977, tanah itu dijual kemÂbali oleh Juhri yang mengaku sebagai mandor dan koordinator warga dengan bekerja sama deÂngan Lurah Meruya Udik, Asmat bin Siming.
Tanah dijual dengan mengÂguÂnakan surat-surat palsu kepada Pemda DKI seluas 15 hektar deÂngan alasan untuk proyek lintas Tomang. Lalu kepada PT LabÂrata seÂluas 4 hektar, PT Intercon seÂluas 2 hektar, PT Copylas seÂluas 2,5 hektar, Junus Djafar seÂluas 2,2 hektar dan Koperasi BRI 3,5 hektar.
Tahun 1985, Juhri cs dipiÂdaÂnaÂkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Ia dijatuhi hukuman 1 taÂhun dengan masa percobaan 2 taÂhun. Juhri berjanji akan meÂngemÂbalikan lahan PT Porta Nigra yang telah dijualnya.
Hingga 1996 janji itu tak diÂpeÂnuhi. Lahan seluas 44 ha di MeÂruya Selatan telah tumbuh menÂjadi pemukiman, sekolah, pusÂkesÂmas dan gedung pemerinÂtaÂhan. Porta Nigra pun mengajukan gugatan perdata ke PN Jakbar.
Tahun 1997, PN Jakbar mengeÂluarÂkan berita sita jaminan deÂngan perintah untuk mengoÂsongÂkan tanah-tanah sengketa dan menyerahkannya kembali kepada Porta Nigra dalam keadaan kosong. Permohonan ini hingga proses kasasi.
Kemudian tahun 2001, MahÂkaÂmah Agung (MA) mengeluarkan putusan Nomor 2863 K/Pdt/1999 tertanggal 26 Juni 2001 yang meÂmenangkan Porta Nigra. SeÂmenÂtara kawasan di Meruya Selatan makin ramai berdiri pemukiman.
Pada 9 April 2007, Porta Nigra meÂngirimkan permohonan ekÂseÂkusi ke PN Jakbar dan diÂkaÂbulÂkan. Kemudian pada 26 April 2007, dua belas instansi di Jakarta Barat melakukan pertemuan dengan Porta Nigra dan diÂseÂpaÂkati untuk melakukan eksekusi 10 RW di Meruya Selatan pada 21 Mei 2007.
Bulan Mei sampai November 2007, terjadi perlawanan dari warÂga. Gubernur DKI saat itu, SutiÂyoÂso dan DPRD Jakarta turun taÂngan. Kasus ini juga dibawa ke DPR.
Tahun 8 November 2007, PN Jakbar memutuskan sengketa Porta Nigra versus warga Meruya Selatan berakhir damai. Warga teÂtap berhak menetap di tempat tingÂgalnya selama ini.
Porta Nigra menerima, tetapi tidak ada kata damai untuk lahan yang dikuasai Pemda DKI. Porta Nigra pun menggugat Pemda DKI Jakarta. Majelis hakim agung yang diketuai M Taufik, Abdul Gani dan Abdul Manan mengaÂbulÂkan gugatan ini. Pemda DKI diÂharuskan membayar ganti Rp 391 miliar kepada Porta Nigra.
Kuasa Hukum Telat Datang, Sidang Ditunda
Zerry Safrizal, kuasa hukum Porta Nigra, meragukan langkah Pemda DKI Jakarta mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terÂhadap putusan kasasi MA yang mengharuskannya membayar ganti rugi Rp 391 miliar.
Menurut dia, sesuai Surat EdaÂÂÂran MA, pengajuan PK tiÂdak boleh melewati masa 180 hari, jika pemohon PK memÂpunyai bukti baru (novum). “Apa PemÂprov DKI Jakarta maÂsih punya bukti baru? Saya tidak yakin,†katanya.
Dalam peraturan MA juga disebutkan jika permohonan eksekusi diajukan sebelum peÂngajuan PK, pengadilan harus mendahulukan pelaksanaan eksekusi.
Sesuai runtutan fakta hukum itu, Zerry mengklaim pihaknya leÂbih dulu mengajukan permoÂhoÂnan eksekusi dibanding perÂmoÂhonan PK Pemda DKI. “DeÂngan fakta di atas, sebetulnya suÂdah tertutup Pemprop DKI JaÂkarta mengajukan PK,†jelasnya.
Porta Nigra telah mengajukan permohonan eksekusi ke PeÂngadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) sejak awal Juli 2012. “Kami telah mengajukan anmaning (permohonan peÂlakÂsanaan eksekusi) pertama seÂbeÂlum bulan puasa,†katanya.
Sidang anmaning dihadiri kuasa hukum Pemda DKI dan turut tergugat yaitu para ahli waÂris pemilik tanah di Meruya SeÂlatan. Karena kuasa hukum PemÂda DKI datang terlambat, sidang akhirnya ditunda.
“Kuasa hukum Pemprop DKI datang jam 3 sore, jadi dianggap sudah bukan jam kantor. AkÂhirnya sidang gagal,†katanya.
Karena sidang permohonan ekÂsekusi pertama gagal, PN JakÂbar akan mengundang Pemda DKI Jakarta untuk mengikuti siÂdang kedua. “Kami belum menÂdapat kabar terbaru soal itu. MuÂdah-mudahan minggu ini terÂlaksana aanmaning kedua,†harap Zerry.
Bila sudah ada PN Jakarta BaÂrat sudah membuat keputuÂsan, maka eksekusi harus dilakukan paling lambat sejak putusan itu.
Zerry mengklaim, tanah milik Portanigra di Meruya Selatan seluas 29 hektare. Di lahan itu kini berdiri beberapa perÂuÂmaÂhan. Yakni perumahan Unilever, perumahan karyawan wali kota Jakarta Barat, perumahan DPR 3, perumahan Mawar, Kavling BRI, Kavling DKI, perumahan Green Villa, dan Intercon Taman Kebon Jeruk.
“Yang kami sengketakan deÂngan Pemprop DKI adalah peÂruÂmahan yang berada di Kavling DKI. Sedangkan perumahan lainnya kami selesaikan melalui cara tersendiri,†katanya.
Mengenai lahan yang kini berdiri perumahan komersial, PorÂta Nigra akan menyeÂleÂsaiÂkanÂnya dengan pihak pengemÂbangnya. “Jadi warga tidak perlu khawatir juga,†kata Zerry.
Ia menjelaskan, seluruh serÂtiÂfikat tanah yang dimiliki warga di lahan yang disengketakan seperti di Kavling DKI Jakarta di Meruya Selatan asal-usulnya tidak jelas. “Sedangkan kami puÂnya asal-usul tanah tersebut dan dibisa dibuktikan dengan sertifikat tanah yang kami puÂnya,†jelasnya.
Namun lagi-lagi, Zerry meÂminÂta warga tidak perlu khawaÂtir. Pihaknya Portanigra tidak akan melakukan eksekusi tanah warga. Pihaknya hanya akan mengeksekusi uang yang harus dibayarkan Pemda DKI sebesar Rp 391 miliar.
“Kalau dengan warga kami suÂdah beres bahwa tanah mereka tiÂdak akan dieksekusi. Butir perÂjanjian ini sudah disepakati di depan anggota DPR,†katanya.
Zerry berharap, Pemda DKI paÂtuh terhadap putusan MA deÂngan segera membayarkan uang ganti rugi. Bila mereka masih ngotot dan tidak mau bayar, PorÂtanigra akan terus memÂperÂjuangÂkan hak tersebut.
“Bahkan bila diperlukan kami akan mengadu ke dewan HAM international. Biar seluÂruh dunia tahu bahwa mereka (Pemda DKI) tidak taat huÂkum,†ancamÂnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
UPDATE
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:48
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:38
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:31
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:17
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:20
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:25
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:58
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:30