Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) berharap majelis hakim dapat bertindak adil dan objektif, serta tidak bisa diintervensi dan atau terintervensi oleh kekuatan-kekuatan luar dalam memutuskan perkara gugatan pembatalan Kontrak Karya Freeport.
"Putusan atas kasus ini akan menjadi tolak ukur paling nyata bahwa Indonesia adalah bukan surganya para konglomerat hitam, bukan surganya korporasi besar yang serakah, bukan pula negara yang mengingkari konstitusinya sendiri," ujar Wakil Ketua Bidang Politik dan Jaringan IHCS, Ridwan Darmawan dalam keterangan resminya yang diterima redaksi (Rabu, 5/9).
Agenda pembacaan vonis sendiri direncanakan besok (Kamis, 6/9) pukul 10.30 WIB di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, jalan Ampera Raya. Gugatan disampaikan IHCS dan sudah disidang sejak 14 Juni 2011.
IHCS dalam gugatannya menilai, tarif royalti yang dibayarkan Freeport bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45/ 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di Kementrian ESDM. Tarif royalti tersebut merupakan kesepakatan yang terdapat dalam Kontrak Karya antara Freeport dengan Pemerintah RI yang dibuat sejak 1991. Menurut IHCS, pemberlakuan kontrak secara terus menerus tanpa adanya penyesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan secara ekonomi merugikan Indonesia sebagai negara berdaulat.
Menurut hitungan IHCS, total kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum yakni pembayaran royalti dari Freeport yang lebih rendah dari ketentuan beleid PNBP itu sebesar 256,2 juta dolar AS. Dalam gugatannya, IHCS menuntut biaya ganti rugi sebanyak Rp 70 triliun. IHCS juga menuntut penghentian kegiatan pertambangan Freeport.
"Putusan gugatan ini sangatlah penting karena berkaitan sekaligus mempertaruhkan kedaulatan hukum dan kedaulatan bangsa. Putusan ini justru harus bisa menegaskan kepada dunia, bahwa Indonesia adalah negara berdaulat. Berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya," tegas Ridwan.
Ditegaskan dia lagi, gugatan atas Kontrak Karya Freeport yang mereka ajukan bukan hanya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Akan tetapi agar para pihak tergugat dan umumnya kita semua dapat menghargai dan menjalankan secara konsekuen apa-apa yang telah termaktub dalam UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[dem]