Chevron
Chevron
Makanya, banyak yang khaÂwatir, perkara korupsi itu akan hilang ditelan waktu. Tapi, keÂmarin, Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jaksa Agung Muda PiÂdana Khusus Arnold Angkouw memberikan isyarat bahwa kasus korupsi proyek pemulihan tanah (bioremediasi) bekas lahan eksÂplorasi minyak PT Chevron PaÂsific Indonesia (CPI) itu, pada pertengahan September nanti akan naik ke proses penuntutan.
“Pada September ini kami keÂbut ke penuntutan. Jadi, dua mingÂÂgu ke depan akan ada kabar baik dalam penanganan perkara ini,†ujar Arnold di Gedung KeÂjakÂsaan Agung, Jalan Sultan HaÂsanuddin, Jakarta Selatan, kemarin.
Supaya para tersangka kasus ini bisa segera dibawa ke peÂnunÂtutan, lanjut dia, pihaknya sedang berupaya keras melengkapi seÂmua bukti dan berkas. Karena itu, Arnold mengaku, hari demi hari pada September ini, dia langsung memantau kerja penyidik agar mencapai kemajuan dalam melengkapi berkas para terÂsangka. “Tiap hari kami kumpul dan keÂbut. Ikan sepat ikan gabus, lebih cepat lebih bagus,†ujarnya.
Menurut Arnold, selama AgusÂtus lalu, jajarannya memang baÂnyak beraktivitas pada penyiÂdiÂkan sejumlah perkara lain. “SeÂkarang kami fokus dulu untuk seÂgera naikkan kasus Chevron ke penuntutan,†ujarnya.
Dia menambahkan, penanganÂan kasus ini harus betul-betul optimal. “Sehingga, kecil keÂmungÂkinan akan mengalami keÂgaÂgalan pada penuntutan,†alasan bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara ini. Selain itu, katanya, proses penguatan alat bukti terus dilakukan. “Kami perÂtajam terus,†ujarnya.
Penanganan kasus Chevron ini cukup mendapat sorotan dari kaÂlangan Komisi III DPR, LSM, pengamat dan praktisi hukum. SoalÂnya, tersangka kasus ini beÂlum juga dibawa ke pengadilan dan tak kunjung ditahan. Padahal, melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, Kejagung telah melansir bahwa perkiraan awal kerugian negara dalam perkara ini sekitar Rp 200 miliar.
Kalangan Komisi III, LSM, pengamat dan praktisi hukum juga curiga karena tersangka kaÂsus ini hanya dari pihak swasta. Tak seperti kasus korupsi lainnya, dimana tersangkanya dari pihak pemerintah dan swasta. Bahkan, kasus korupsi yang angka keruÂgian keuangan negaranya “haÂnya†di bawah Rp 10 miliar pun, tersangkanya berasal dari pihak pemerintah dan swasta.
Apalagi, menurut Arnold, salah satu sampel dalam kasus ini (Tph) tidak bisa diuji pihak KeÂmenterian Lingkungan Hidup kaÂrena tidak ada alat laboÂraÂtoriumnya. Tapi, lanjut dia, pihak KLH tetap memberikan rekoÂmenÂdasi kepada BP Migas untuk membayar proyek bioremediasi yang dikerjakan CPI dan dua perÂusahaan kerjasama operasionalÂnya. Akibatnya, menurut perkiraÂan awal Kejagung, negara diruÂgikan sekitar Rp 200 miliar.
Kendati begitu, kasus yang mulai diselidiki Kejaksaan Agung pada Oktober 2011 ini, tersangkanya masih itu-itu saja.
Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka kasus ini. Lima terÂsangka berasal dari PT CPI, yaitu Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja dan Bachtiar Abdul Fatah. Dua terÂsangka lainnya dari perÂusahaan swasta kelompok kerjasama (KKS) yakni, Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan Herlan (Direktur PT Sumigita Jaya). Semua terÂsangÂka itu telah dicegah ke luar negeri, kecuali Alexiat yang keburu pergi ke Amerika Serikat dengan alasan mengurus suaÂminya yang sakit di negeri Paman Sam.
REKA ULANG
Menanti Angka Kerugian Negara Dari BPKP
Sebelum Idul Fitri, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw menyatakan, kasus ChevÂron diupayakan segera maÂsuk ke persidangan seusai LeÂbaran.
“Ada penambahan alat bukti. Kini tinggal mencocokkan yang satu dengan yang lainnya. Dalam waktu dekat ke penuntutan. DiÂusahakan, sehabis Lebaran naik ke penuntutan,†ujar Arnold di Kompleks Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta.
Penyidik, lanjut Arnold, masih mencocokkan alat bukti yang satu deÂngan alat bukti yang lain agar saling berkaitan. Soalnya, kata dia, Kejaksaan Agung ingin mengÂantispasi kegagalan dalam meÂnangani perkara-perkara korupsi besar.
“Selain itu, masih kami tamÂbahkan alat buktinya supaya lebih kuat. Seperti, mencocokkan satu alat bukti dengan yang lain, miÂsalnya transaksi dan surat yang diperlukan,†ujarnya.
Kendati begitu, bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara ini mengaku, jajarannya sudah mengantongi alat bukti yang kuat untuk masuk ke proses peÂnunÂtutan. “Kami mau perkara ini seÂcepatnya disidangkan, sembari meÂlakukan pengusutan dan peÂngemÂbangan,†ujar Arnold.
Akan tetapi, dia mengatakan bahwa Kejaksaan Agung belum memastikan nilai kerugian negara dalam perkara korupsi ini. AlaÂsannya, Kejaksaan Agung masih meÂnunggu hasil audit Badan PeÂngawasan Keuangan dan PemÂbaÂngunan. “Masih dalam proses audit oleh BPKP,†alasannya.
Kemarin, Arnold menyatakan bahwa BPKP tidak memÂperÂlamÂbat proses penuntasan kasus Chevron. “BPKP membantu proÂses ini, dan penyidik punya weÂweÂnang untuk menyita, mengÂgeÂledah dan mengumpulkan bukti,†kata dia.
Sepanjang mekanisme itu dijaÂlanÂkan, menurut Arnold, sejauh ini tidak ada masalah yang diÂhadapi penyidik. “Berkas kasus CPI, suÂdah proses melengkapi semua kebutuhan untuk segera masuk ke penuntutan. Kami juga suÂdah firm atas CPI dan BP MiÂgas. Selain ke BPKP, kami ke BP Migas, berkoordinasi mengenai kerugian keuangan negara,†kataÂnya.
Kasus pemulihan lahan bekas eksplorasi minyak PT Chevron PaÂsific Indonesia ini diduga terÂjadi di Duri, Riau sejak 2003 samÂpai 2011. Proyek senilai 270 juta dolar AS ini, disangka Kejaksaan Agung fiktif.
Perkara ini bermula dari perÂjanÂjian antara Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Chevron. Salah satu poin perjanjian itu meÂngatur tentang biaya untuk meÂlakukan pemulihan lingkungan (cost recovery) dengan cara bioÂremediasi.
Tapi, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, keÂgiatÂan bioÂremediasi yang seharusnya diÂlakukan selama perjanjian berÂlangsung, tidak dilaksanakan dua perusahaan swasta yang diÂtunjuk Chevron, yaitu PT GPI dan PT SJ.
Padahal, anggaran untuk proÂyek bioremediasi itu sudah dicairÂkan BP Migas sebesar 23,361 juta Dolar Amerika Serikat. “Akibat proyek fiktif ini, negara dirugikan Rp 200 miliar,†ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau ini.
PT Chevron Pasific Indonesia yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi, tidak tinggal diam menghadapi sangkaan yang dilonÂtarkan Kejaksaan Agung. Pihak perusahaan ini, menampik pernyataan pihak Kejaksaan Agung bahwa anggaran proyek bioremediasi sebesar 270 juta Dolar AS atau Rp 2,43 triliun.
“Tidak ada itu angka 270 juta Dolar AS. Total anggaran dari proyek bioremediasi PT Chevron adalah 23 juta Dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar,†kata Vice President Policy Government and Public Affair PT Chevron Pacific Indonesia, Yanto Sianipar.
Lantaran itu, Yanto mengaku bingung dengan angka-angka yang dikeluarkan pihak KejakÂsaÂan Agung dan angka kerugian negara yang diduga mencapai Rp 200 miliar.
Sebuah Indikasi Ketidakseriusan
Frans Hendra Winarta, Dosen Hukum Pidana
Dosen ilmu hukum pidana Frans Hendra Winarta meÂnyamÂpaikan, semakin lama dan berÂtele-tele pengusutan dan peÂnunÂtasan sebuah kasus, akan mengindikasikan betapa tidak seÂriusnya penegak hukum meÂnegakkan keadilan.
“Keadilan yang ditunda-tunda adalah sama dengan tidak ada keadilan. Dalam paham hukum pidana, proses penyiÂdikan terhadap tersangka dan atau terdakwa harus cepat dan tuntas,†ujar dosen Universitas Pelita Harapan ini, kemarin.
Frans mengingatkan, bila penyidikan lemah dan buktinya tidak kuat, bisa jadi pihak keÂjaksaan tidak serius melakukan pengusutan. Akibatnya, para tersangka kasus ini tidak kunÂjung dibawa ke persidangan. “Kalau salah, ya diproses huÂkum. Kalau tidak salah, tidak adÂa bukti alias tidak cukup bukti, ya dibebaskan,†ujarnya.
Dia pun menegaskan, proses yang lamban dalam pengusutan kasus korupsi proyek pemuÂlihÂan tanah bekas lahan eksplorasi PT Chevron, akan mengganggu upaÂya pemberantasan korupsi secara nasional. “Membiarkan kasus ini bertele-tele, akan mengÂganggu program pemÂbeÂrantasan kejahatan korporasi yang marak akhir-akhir ini,†tandasnya.
Dengan pemikiran itu, lanjut Frans, seharusnya Kejaksaan Agung memecut diri untuk saÂngat serius mengusut tuntas kasus ini. “Jadi, ketegasan KeÂjaÂgung harus ada untuk menÂjaga wibawa Kejaksaan Agung,†ujarnya.
Hal senada disampaikan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) JaÂkarta Poltak Agustinus Sinaga. Dia malah mempertanyakan, apakah ada upaya mengaburkan kasus Chevron, sehingga para tersangkanya belum juga dibawa ke pengadilan.
Poltak juga mewanti-wanti pimpinan Kejaksaan Agung dan para penyidik kasus ini, agar tidak mau dilobi pihak manaÂpun untuk menghilangkan duÂgaan keterlibatan oknum peÂmeÂrintah. Jangan pula berÂsepakat deÂngan pihak manapun untuk menghilangkan kasus ini deÂngan cara tak kunjung memÂbawa para tersangka ke pengÂadilan. “Ini harus dipantau betul,†tandasnya.
Ia berharap, pemberantasan koÂrupsi menjadi salah satu prioritas Kejaksaan Agung. Caranya, dengan menangani kasus-kasus korupsi secara utuh dan sampai tuntas di pengaÂdilan. “Jangan omong doang alias omdo,†katanya.
Dalam perkara ini, lanjutnya, bila ada tekanan asing pun mesÂti dilawan. “Yang juga bisa jadi perÂsoalan, pihak penegak huÂkum membuka diri dan ruang untuk dilobi pihak-pihak yang berÂkepentingan,†katanya.
Apakah Kejaksaan Sudah Kebal Kritik Masyarakat
Desmon J Mahesa, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Desmon J Mahesa menilai, seÂjumlah perkara korupsi, terÂmaÂsuk dugaan proyek bioÂreÂmeÂdiasi fiktif PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) tidak getol diusut Kejaksaan Agung.
“Memang banyak perkara, terutama perkara korupsi yang saya lihat mandek penguÂsutÂannya di kejaksaan,†kata angÂgota DPR dari Fraksi Partai Gerindra ini.
Sepanjang pengalamannya, menurut Desmon, banyak perÂkara yang tidak kunjung selesai ditangani kejaksaan. “Nyatanya dari tahun ke tahun, seperti tidak ada perubahan signifikan yang mereka lakukan dalam penuntasan perkara,†ujarnya.
Akibatnya, tegas Desmon, publik kian apatis melihat kiÂnerja kejaksaan dalam mengÂusut perkara korupsi. “Saya melihat, kejaksaan sudah kebal mendengar berbagai kritik masyarakat atas kinerjanya yang lelet. Entah bagaimana lagi mendorong mereka supaya serius bekerja,†ucapnya.
Untuk mempercepat penunÂtasan kasus, lanjut Desmon, kiranya Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berdiam diri. MaÂkanya, dia meminta KPK meÂlakukan fungsi supervisinya kepada Kejaksaan Agung.
“Mau tidak mau, KPK harus melakukan fungsi supervisi kepada kejaksaan. Sehingga, kejaksaan masih bisa dihaÂrapkan bergerak menunÂtaskan korupsi,†ujarnya.
Akan tetapi, bila banyak perÂkara mandeg, Desmon berÂharap KPK segera mengambilalihnya. “KPK harus turun tangan untuk menuntaskan perkara korupsi yang mandek di Kejaksaan Agung, termasuk kasus ChevÂron ini,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52