Selama ini, hakim ad hoc diÂgaji lumayan besar. Mereka menÂdapat sejumlah fasilitas. MeÂngapa masih main-main perkara? Apa yang mereka terima tak cukup? Yuk kita intip kehidupan hakim ad hoc.
Jam dinding di Pengadilan TinÂdak Pidana Korupsi (Tipikor) JaÂkarta menunjukkan pukul 3 sore, Kamis lalu. Persidangan kasus korupsi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang meÂngagendakan pembacaan vonis sudah memasuki tahap akhir
Tak sampai sejam, persidangan ditutup. Hakim anggota Made HenÂdrakusuma bergegas meningÂgalkan ruang sidang menuju ruang kerjanya. Ruang kerjanya terletak di belakang ruang sidang.
Ia hendak beristirahat sejenak. “Ini baru sidang pertama. Masih ada tiga sidang lagi yang harus saya jalani,†kata Hendra yang berasal dari Bali ini.
Bekas notaris ini tak meÂngeÂluhÂkan padatnya jadwal sidang yang harus dijalaninya setiap hari. Dalam sehari dia bisa meÂngikuti empat persidangan.
“Saya kosongnya (tidak berÂsiÂdang) hanya hari Rabu dan Jumat. Selebihnya harus mengikuti siÂdang dari pagi hingga malam hari,†katanya.
Aktivitasnya sebagai hakim ad hoc dimulai sejak pagi. PuÂkul 8 pagi dia sudah meningÂgalÂkan ruÂmah dinas di Apartemen Pejabat Negara milik SekÂreÂtaÂriat Negara (Setneg) di KemÂyoran, Jakarta Pusat.
Tak sampai sejam dia sudah sampai di Pengadilan Tipikor yang menempati gedung UppinÂdo, di Jalan HR Rasuna Said, KuÂningan, Jakarta Selatan. “Kalau nggak macet setengah jam juga sampai ke kantor,†katanya.
Setelah beristirahat sebenar, dia mengenakan toga mengikuti persidangan yang dijadwalkan dimulai pukul 9 pagi. “Kadang kala persidangan molor karena belum hadirnya saksi,†katanya.
Sehari-hari dia pulang ke ruÂmah dinas paling cepat setelah Maghrib. “Kadang kala bisa samÂpai jam setengah 2 dini hari. Jadi sangat tergantung dari jalannya persidangan,†ungkap Hendra.
Ia tak punya kiat khusus untuk menjaga staminanya agar tetap fit sepanjang hari. “Yang penting perÂbanyak minum air putih untuk menjaga kesehatan,†katanya.
Hendra adalah hakim ad hoc angÂkatan pertama di Pengadilan Tipikor. Ia mulai bertugas pada 2004. Saat itu, pengadilan khuÂsus kaÂsus korupsi itu hanya ada di JaÂkarta. Pengadilan ini berada di baÂwah Pengadilan Negeri JaÂkarta Pusat.
Kini, Pengadilan Tipikor sudah berÂdiri di sejumlah kota besar. MiÂsalnya, Bandung, Semarang dan SuÂrabaya. Mahkamah Agung (MA) pun merekrut hakim ad hoc untuk ditempatkan di pengadilan-pengaÂdilan tipikor yang baru didirikan.
Setelah menjadi hakim ad hoc, Hendra mendapat sejumlah faÂsilitas. Salah satunya rumah dinas di apartemen Pejabat Negara KeÂmayoran. “Listrik, air dan keÂamaÂnan gratis. Yang bayar hanya telepon sesuai dengan pemaÂkaian,†katanya.
Lantaran tak disediakan fasiÂlitas kendaraan dinas, Hendra pun membeli Toyota Avanza dengan cara kredit. Lama kreditnya lima tahun. “Saya membeli mobil itu kaÂrena harganya paling murah dan hingga kini mobilnya belum lunas. Masih kurang beberapa taÂhun lagi,†katanya.
Sebagai hakim ad hoc PengaÂdilan Tipikor tingkat pertama, dia mendapat gaji Rp 13 juta sebulan. Ia juga mendapat ruang opeÂraÂsional sidang sebesar Rp 300 ribu per hari.
Uang operasional itu hanya bisa diklaim paling banyak 20 hari kerja dalam sebulan. “Kalau menangani perkara lebih dari 20 hari, tidak mendapat uang opeÂrasional,†katanya. Bila dihitung-hitung penghasilan Hendra seÂbuÂlan hampir Rp 20 juta.
Hendra merasa penghasilannya cuÂkup untuk memenuhi keÂbuÂtuÂhan hidupnya. “Kebutulan saya tinggal sendiri di Jakarta,†katanya.
Keluarganya tetap tinggal di Bali. Pasalnya, istrinya masih kerja di salah satu bank peÂmeÂrinÂtah di Pulau Dewata. Begitu juga anak-anaknya masih bersekolah di situ.
Setiap dua minggu Hendra pulang ke Bali untuk menengok keluarganya. Ia pun bila jadwal persidangan tak padat. “Kalau ada banyak agenda terpaksa tidak pulang,†katanya.
Berdasarkan Peraturan PreÂsiden Nomor 86 Tahun 2010, haÂkim ad hoc Pengadilan Tipikor berhak atas uang kehormatan seÂtiap bulannya. Hakim pengadilan tingkat pertama sebesar Rp 13 juta. Hakim tingkat banding Rp 16 juta. Hakim tingkat kasasi meÂnerima lebih besar. Yakni Rp 22 juta per bulan.
Dalam Perpres 49 Tahun 2005, selain menerima uang kehorÂmaÂtan, hakim ad hoc diberikan faÂsiÂlitas perumahan, transportasi dan keamanannya. Hakim ad hoc yang melakukan perjalanan dinas sudah berhak atas uang transÂporÂtasi dan akomodasi.
18 Hakim Tipikor Diduga Bermasalah
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) EmerÂson Juntho mencatat 84 hakim tipikor di 14 Pengadilan Tipikor (tingkat provinsi) diduga berÂmasalah. Para hakim tersebut berÂmasalah dari segi integritas, kuaÂlitas, dan administratif.
“Dalam beberapa bulan kami telah melakukan tracking terÂhadap hakim tipikor, kerja sama dengan mitra daerah. Dari catatan yang telah dirangkum, kami (ICW) mendapatkan ada seÂjumÂlah perÂsoalan yang terjadi di 14 PeÂngaÂdilan Tipikor daerah meÂnyangkut integritas, kualitas, dan admÂiÂniÂsÂtratif hakim tipikor,†katanya.
Emerson menjelaskan, dari aspek persoalan administratif, maÂyoritas para hakim tipikor beÂlum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Demikian pula deÂngan hakim ad hoc. Selain itu, maÂsih adanya hakim ad hoc yang berhubungan kental denÂgan parÂtai politik karena kedudukannya sebagai bekas anggota DPRD.
Juga, ditemukan ketidakÂjuÂjuÂran, khususnya yang dilakukan saÂlah satu hakim ad hoc ketika meÂnyampaikan data kepada Mahkamah Agung (MA).
Dari aspek kualitas, lanjutnya, ditemukan adanya ketidakÂcerÂmaÂtan hakim tipikor dalam memÂpeÂlajari perkara. “Kalau hakim tidak berkualitas mudah kita lihat, kaÂlau hakim yang tidak berÂintegÂriÂtas putusannya juga tidak wajar. Indikasinya, hakim pasif di perÂsidangan, tetapi aktif di luar peÂrÂsiÂdangan, memang beda tipis anÂtara faktor kualitas dan integÂritas,†katanya.
Mengenai aspek integritas, kata Emerson, ada beberapa haÂkim tipikor yang patut diduga meÂlanggar kode etik hakim dan pernah dilaporkan ke KY dan Mahkamah Agung (MA).
Misalnya, ada seorang hakim yang sudah didemosi ke daerah terpencil, ada temuan hakim tipiÂkor yang masih membuka praktik kepengacaraan, ada hakim karier yang bertemu pihak berperkara atau pengacara, dan ada hakim karier masih menangani perkara nonkorupsi.
“Ini membuka peluang adanya inÂdikasi mafia peradilan yang menggurita masuk ke Pengadilan Tipikor daerah di mana hakim maÂsih menemui pengacara, kongÂkalikong untuk membebaskan koruptor atau menjatuhkan vonis ringan,†katanya.
Staf divisi hukum dan moniÂtoÂring peradilan ICW, Donald FaÂridz menambahkan, 84 orang hakim tipikor baik karier maupun ad hoc tersebut berasal dari 14 kota, di antaranya Pengadilan TiÂpikor Jambi, Bengkulu, SemaÂrang, Manado, Padang, Mataram, Kendari, Surabaya, Serang, MeÂdan, Makassar, dan Yogyakarta.
ICW, lanjut, sedang meÂnyeÂlesaikan riset mengenai hakim tiÂpikor. Dari hasil riset itu, setiÂdakÂÂnya ada sekitar 71 terdakwa kasus korupsi yang terdakwanya diÂvonis bebas oleh Pengadilan TiÂpiÂkor. Hal ini juga terkait deÂngan kompetensi, independensi, dan kemampuan hakim tipikor itu sendiri.
ICW juga melakukan eksaÂmiÂnasi putusan kasus korupsi 10 Pengadilan Tipikor. “Hasil proses reÂkam jejak itu sudah kita serahÂkan ke KY, ada indikasi suap dan pelanggaran kode etik. KY sudah merespons dan akan mempelajari serius laporan penyalahgunaan weÂwenang itu,†katanya.
Kerap Diteror, Pernah Ditawari Suap Rp 5 Miliar
Selama menangani perkara korupsi di Pengadilan Tipikor JaÂkarta, Made Hendrakusuma kerap mendapat ancaman pemÂbunuhan dari orang tak dikeÂnal. Ancaman itu disampaikan lewat pesan singkat (SMS) mauÂpun telepon.
Namun Hendra tak merasa genÂtar. Ancaman itu tak memÂpengaruhi dalam memutus perÂkara korupsi. “Diabaikan saja,†katanya.
Ia juga mengaku pernah diÂtawari suap Rp 5 miliar. Orang yang mencoba menyuapnya itu bersedia memberikan uang lebih besar asal Hendra mau mengiÂkuti orang itu. Hendra menolak tawaran itu mentah-mentah.
Untuk mencegah disuap, HenÂdra pun membatasi pergauÂlan. Ia pantang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan pihak yang berperkara.
“Biasanya bila tidak bisa berÂtemu, mereka (pihak berÂperÂkara) menghubungi melalui teÂlepon ataupun melalui orang lain. Tapi itu saya tidak peduliÂkan,†tegas Hendra.
Buktinya tak ada terdakwa yang divonis bebas oleh HenÂdra. Sikap tegas terhadap terÂdakÂÂwa kasus korupsi ini, meÂnurut dia, bukan lantaran dia taÂkut diawasi Komisi PemÂberÂanÂtaÂsan Korupsi (KPK).
Hendra mengaku selama ini menjatuhkan vonis bersalah kaÂrena sesuai fakta-fakta hukum. “Kalau kita benar dalam meÂmuÂtuskan, kenapa takut diawasi piÂhak lain?†katanya.
Selama menangani perkara korupsi, paling rendah ia memÂvonis terdakwa hukuman dua tahun penjara. Paling 15 tahun penjara.
Sebagai “senior†HenÂdra meÂngingatkan agar hakim ad hoc tipikor di daerah agar meÂngabdi secara total. Jangan menjadikan profesi hakim tipikor sebagai ajang mencari peÂkerjaan. SeÂbab, memang buÂkan tempatnya.
Apalagi persyaratan untuk jadi hakim tipikor harus meÂmiliki pengalaman selama 15 taÂhun. Dengan pengalaman panÂjang itu pendaftar dihaÂrapÂkan sudah mapan secara ekoÂnomi. “Jadi yang dilakukan seÂlaÂma jadi hakim adalah peÂngabÂdian,†kata Hendra.
Ada Yang Ketahuan Nyambi Jadi Advokat
Masih menurut ICW, ada haÂkim ad hoc tipikor yang diduga masih nyambi sebagai advokat. Mahkamah Agung (MA) pun akan menjatuhkan sanksi keÂpada hakim bersangkutan.
“Hal itu termasuk pelangÂgaran kategori berat dan akan segera ditindak MA,†kat RidÂwan Mansyur, Kepala Biro HuÂkum dan Humas MA.
Menurutnya, seorang hakim dilarang untuk memiliki profesi ganda. Dalam Undang-Undang Nomor 46/2009 diatur hukuÂman yang akan dijatuhkan bagi setiap pelanggaran yang dilaÂkukan oleh hakim.
“Hakim itu tidak boleh meÂrangkap sebagai advokat, piÂmÂpiÂnan perusahaan, makelar, meÂmimpin organisasi politik. Itu ada di undang-undang. Kalau dia melanggar undang-undang berÂarti melakukan pelanggaran berat,†katanya.
Ridwan menambahkan, huÂkuman terhadap pelanggaran beÂrat seperti itu adalah pemÂeÂcaÂtan dengan tidak hormat. “Bisa dipecat itu,†katanya.
Menurutnya MA tidak bisa mengawasi seluruh hakim yang ada di daerah. Seharusnya ketua pengadilan yang menegur haÂkim-hakim yang masih nakal. “Kadang-kadang mereka haÂrusÂnya ditegur oleh ketua peÂngaÂdiÂlannya dan disampaikan ke MA dan langsung mengirimkan baÂdan pengawas ke sana,†katanya.
Sejak tertangkap dua hakim ad hoc Pengadilan Tipikor karena diduga menerima suap, MA memutuskan menunda seleksi hakim ad hoc Tipikor. “Sudah kita undur jadi tanggal 17-18 September 2012, awalÂnya kan 4-7 September,†kata Juru Bicara MA.
Menurutnya, tempat seleksi untuk calon hakim ad hoc tipiÂkor akan dilakukan di dua loÂkasi, Jakarta dan Surabaya. MA bekerja sama dengan ICW meÂlakukan pengawasan terhaÂdap nama-nama yang dinyaÂtakan maÂsuk seleksi tahap selanjutnya.
Djoko menambahkan, terkait dengan tertangkapnya dua haÂkim ad hoc Tipikor di SemaÂrang, ICW juga meminta MA untuk mengundur waktu seleksi wawancara. Dengan kejadian tersebut, MA dan ICW harus leÂbih ketat lagi menyaring calon hakim agar kasus suap seperti ini bisa diminimalisir. “ICW minÂta diundur satu bulan ya suÂdah kita undur,†katanya.
Saat ini MA membutuhkan 76 hakim ad hoc Tipikor. Mereka akan ditempatkan di Pengadilan Tipikor di sejumlah kota besar di tanah air. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
UPDATE
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:48
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:38
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:31
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:17
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:20
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:25
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:58
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:30