Setiap hari lelaki berusia 53 tahun ini berangkat kerja dari rumahnya pukul 06.00 WIB. Satiman tinggal di daerah peÂmukiman padat di Utan Kayu, JaÂkarta Timur.
Dia bertugas di pos 40 di Jalan Pramuka Raya, Jakarta Pusat. Satiman wajib tiba di tempatnya bertugas sebelum pukul 07.00 WIB. Karena itu walaupun antara rumahnya dengan pos jaga tidak terlalu jauh, dia tetap berangkat sedini mungkin.
Saat ditemui, Satiman meÂngenakan seragam khas penÂjaga palang pintu pelintasan keÂreta api, kemeja berwarna biro teÂlor asin dipadu celana bahan berÂÂwarna hitam.
Tempat kerja Satiman hanya bangunan kecil. Ukuran dan bentuknya tidak berbeda dengan pos keamanan kebanyakan. PoÂsisinya persis di pinggir rel kereta pada jalur yang menuju ke arah Salemba, Jakarta Pusat.
Satiman sudah mengabdi menÂjadi petugas penjaga palang pintu kereta api sejak tahun 1982. Selama itu dia hanya beberapa kali saja pernah mendapatkan libur pada hari pertama Lebaran.
“Bisa dikatakan saya lebih banyak masuknya ketimbang liburnya mas. Tetapi biarlah semua ini amanah dari yang maha kuasa, “ kata Satiman saat berÂbincang dengan Rakyat Merdeka.
Satiman menuturkan, sebagai manusia biasa dia sering merasa sedih tidak bisa berkumpul deÂngan keluarga pada hari raya pertama Idul Fitri. Namun karena menjaga pintu pelintasan amanah yang harus dijalankan, Satiman selalu berupaya keras menepis kesedihan tersebut. Satiman seÂlalu berupaya memberikan seÂmangat kepada diri sendiri bahwa pekerjaan yang dilakukan untuk kebaikan semua orang, terutama pengguna jalan. Dia pun selalu bersyukur masih diberikan peÂkerjaan oleh yang maha kuasa.
Bagaimana dengan keluarga? lelaki yang memiliki tiga anak ini menjawab keluarga tentu sedih melihat dirinya. Anak-anaknya saat masih kecil sering protes terhadapnya. Mereka iri dengan teman-temannya yang orang tuanya bisa berkumpul pada saat hari raya Idul Fitri. Mereka juga ingin bisa jalan-jalan bersama keluarga.
Tapi protes itu menurutnya berangsur-angsur berkurang seÂiring anak-anak tumbuh deÂwasa. MeÂreka memahami bahwa apa yang dilakukannya untuk keÂpenÂtingan kepentingan masyarakat.
Selain itu, anak-anak meÂmaÂhaminya karena dia tidak letih menjelaskan bahwa pekerjaan yang dilakukannya pekerjaan mulia. Meskipun gaji kecil naÂmun manfaatnya luar biasa untuk masyarakat. Kalau tidak ada yang mau bertugas menjaga palang pelintasan maka kondisi bisa kacau. Apalagi pada saat LeÂbaran, lalu lintas kereta api cukup tinggi.â€Saya bersyukur dengan penjelasan tersebut anak-anaknya memahaminya. Meskipun saya tahu penjelasan itu tidak bisa seÂpenuhnya mengobati kekeÂceÂwaÂan mereka,†katanya.
Terkait tunjangan lembur, SaÂtiman mengatakan, ada tamÂbahan yang diterimanya. Tapi jaÂngan membayangkan tunjangan terseÂbut sama dengan karyawan kanÂtoÂran. Di hanya mendapatkan uang bonus lembur sama seperti saat bekerja pada hari besar lainnya.
“Kalau masuk pada hari besar atau tanggal merah, itu dihitung lembur, bayarannya dua kali lipat dibanding lembur biasa. Lembur hari biasa bayarannya Rp 10 ribu per jamnya. Jadi kalau lebaran, berarti Rp 20 ribu per jamnya,†bebernya.
Satiman mengaku punya trik sendiri untuk mengurangi keseÂdihan dan kesepian pada hari raya Idul Fitri. Dia biasa membawa bekal makanan khas hari LeÂbaÂran, ketupat sayur ke tempat kerÂjanya. Dengan makan ketupat dia merasa tetap ikut merayakan hari raya Idul Fitri.
Hanya beda tempatnya saja. Biasanya, dia membawa ketupat lengkap deÂngan sayur papaya muda dan opor ayam. “Jadi, biar tidak leÂbaran yang penting masih bisa menikmati makanannya,†kataÂnya sambil tertawa.
Kesigapan Satiman di dalam menjaga palang pintu kereta api cukup bagus. Itu terlihat ketika sedang berbincang dengannya, Satiman bergegas membunyikan sirine pelintasan kereta api saat mendengarkan sinyal dari suara alarm petanda kereta api mau melintas di pos jaganya. Sirene yang dibunyikannya untuk mengÂingatkan para pengguna jalan agar berhati-hati dan berhenti karena kereta api mau melintas.
Selain menyalahkan sirine, di saat bersamaan dia menekan tombol Gate yang berfungsi untuk menurunkan pintu secara otomatis.Alarm sinyal pembeÂritahuan kereta api berada meÂnempel pada dinding ruangan sebelah kanan di pos Satiman bertugas. Ukuran alat itu sekitar 30 cm x 30 cm. Tak hanya berÂbunyi, di alarm itu terdapat sinyal lampu yang ikut berkedip bila alarm berbunyi.
Selain memantau dari sirine, mata Satiman selama bertugas terlihat tidak bisa diam. Matanya bergerak ke kiri dan ke kanan memantau kereta api.
Tidak hanya mengandalkan teknologi, untuk memastikan keÂreta api melintas sekaligus menÂjaga keselamatan para pengguna jalan, Satiman tidak letih-letih meniupkan pluit sambil tanganÂnya mengatur kenÂdaraan lalu lintas yang banyak yang tidak tertib.
Satiman menginbau maÂsyaÂrakat agar tertib melintasi kereta api. Dia sedih melihat banyaknya pengguna jalan yang tidak tertib. Karena ketidakdisiplinan bisa berakibat fatal. “Saya sering meÂnyakÂsikan maÂsih banyak orang yang tetap nekat melintas walauÂpun pintu sudah ditutup, itu sangat berbahaya,†tuÂtup SaÂtiman.
Ini Kisah Pahit Satiman Dan Hendra Saat Lebaran
Kesedihan Satiman menjaga palang pintu pelintasan kereta api pada hari raya Idul Fitri, tidak hanya karena tidak bisa berÂkumpul dengan keluarga. Namun juga, dia sering dimaki-maki pengguna jalan yang emosional.
Menurutnya banyak pengÂguna jalan memaki-makinya, marah karena palang pintu lintas kereta api sering ditutup.
“Mereka mungkin anggap saya sengaja memain-mainkan palang pintu secara berlama-lama jadiÂnya marah kepada saya,†katanya.
Dia menerangkan, palang pintu sering ditutup karena pada saat Lebaran lalu lintas kereta api padat. Karena jalur peÂlintasan yang dijaganya dilalui kereta api antar kota. Melayani pemudik.
Dia berharap masyarakat bisa memahaminya. Karena jika paÂlang pintu tidak ditutup bisa berakibat fatal.
Satiman menceritakan pernah menegur pengguna jalan yang nekat ingin menerobos jalan. Tapi sayang orang tersebut bukannya mengucapkan terima kasih malah memaki-makinya.
Satiman menuturkan, menjadi petugas palang pintu kereta api harus tebal kuping. Jika tidak bisa stres di maki-maki orang. Dia punya prinsip tidak mau memÂperdulikan celotehan dan maki-maki para pengguna jalan. Dia yakin apa yang dilakukannya bertujuan baik yakni untuk menjaga keselamatan para pengÂguna jalan dan kelancaran lalu lintas kereta api.
Selain Satiman, Hendro juga punya cerita menyedihkan. KataÂnya, dia merasa sedih ketika meÂlihat orang meÂmakai baru baru pada hari perÂtama Idul Fitri. Dia ingin sekali berpenampilan rapih, merayakan hari raya Lebaran seÂtelah sebulan berpuasa.
“Mana bisa saya pakai baju bagus. “Namanya penjaga maÂkam, urusannya sama tanah dan rumput,†katanya.
Dia juga merasa sedih tidak bisa mudik ke kampung halaman seperti orang kebanyakan. [HARIAN RAKYAT MERDEKA]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
UPDATE
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:48
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:38
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:31
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:17
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:20
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:25
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:58
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:30