DALAM pidatonya di depan peserta rapat BPUPKI 1 Juni 1945, Bung Karno sempat menyitir teori bangsa dari Ernest Renan. Bung Karno mengutip syarat bangsa menurut Renan ialah adanya “le desir d’ etre ensembleâ€, adanya “kehendak untuk hidup bersamaâ€.
Bangsa Indonesia atau dalam lagu kebangsaan kita sering meneriakannya dengan Indonesia Raya, memiliki 13.000 pulau, angka tersebut berdasarkan survei terakhir dari Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan Dan Perikanan.
Dalam keterangannya, Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan Dan Perikanan menyatakan penurunan jumlah pulau yang dimiliki Indonesia tidak berkaitan dengan hilangnya pulau akibat kenaikan muka air laut akibat pemanasan global, atau karena penggalian pasir laut, tetapi karena memang belum ada survei data yang final.
Indonesia tegak berdiri dengan 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dan rangkaian pulau-pulau ini disebut pula sebagai kepulauan Nusantara atau kepulauan Indonesia. Diantara rangkaian pulau tersebut, tidak sedikit pula yang tidak berpenduduk. Seringkali rangkaian ini kita maknai dengan nama, tanah air.
Kembali pada Bung Karno, tentang “le desir d’ etre ensembleâ€, adanya “kehendak untuk hidup bersamaâ€. Saat ini, menurut hemat kami penting kiranya kita memaknai pengertian “kehendak untuk hidup bersama†dalam pemahaman yang lebih mendalam, meluas dan meninggi, seperti pada tanah, air dan udara tempat kita berada dimana dalam pergaulan nasional dan internasional, pelbagai bidang yang kita sebut sebagai Indonesia.
Akan muncul pertanyaan mendasar akhirnya, apakah arti atau makna dari memiliki kehendak untuk hidup bersama? Mengapa pula penting bagi kita memegang prinsip persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia?
Tuhan Yang Maha Esa menganugrahkan rahmatnya kepada Indonesia sebagai negara kepulauan yang secara geografis terpisah daratan satu dengan yang lainya. Secara fakta alam tersebut tentu sulit bersatu, namun dengan segala kejeniusannya founding fathers mampu mengkerangkakan nusantara dengan segala kebhinekaanya menjadi satu negara kesatuan.
Artinya nusantara yang menjadi negara kesatuan dalam bentuk republik Indonesia dan tetap berdiri sampai saat ini mempunyai karakter dan tata nilai yang khas dibandingkan bangsa lainya.
Karena ke-khasan-nya itulah, memulai dengan pengertian tanah air, atau bagi saudara saudara kita di kepulauan Maluku sering menyebutnya dengan "tanah air beta", merupakan sikap yang mendasar.
Mendasar karena tanah air kita memiliki lebih dari 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif yang sebagian diantaranya berada di dasar laut. Tanah air kita merupakan tempat pertemuan rangkaian gunung berapi aktif (Ring of Fire), sekaligus puluhan patahan aktif lainnya.
Patahan aktif, dengan 8 celah seismik "seismik gap" (celah seismik) di wilayah Indonesia yang berpotensi mengalami gempa besar dan memunculkan gelombang tsunami. Celah seismik tersebut terbentang dari pulau Sumaera, Jawa hingga pulau-pulau di sekitar Nusa Tenggara Timur.
Direktur Pesisir dan Kelautan KKP Soebandono Diposaptono, menerangkan, celah seismik pertama berada di sejumlah daerah di Provinsi Sumatera Barat. Celah sisimik di wilayah ini, sambung dia, terpicu oleh gempa bumi berkekuatan 9,1 skala richter (SR) yang menyebabkan tsunami di Aceh pada tahun 2004 dan gempa Bengkulu tahun 2007.
Sedangkan celah kedua terbentang mulai Lampung sampai sekitar Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Sedangkan Kabupaten Pacitan masuk di celah ketiga, sejajar dengan Cilacap, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Trenggalek. Celah tersebut berada di antara peristiwa tsunami Jatim tahun 1994 dan tsunami Jabar tahun 2006.
Ke arah timur, celah seismik berada di sekitar Provinsi Bali dan muncul karena gempa di Banyuwangi pada 1994 silam dan Sumbawa Timur tahun 1977. Celah tersebut memanjang sampai ke Samudera Pasifik.
Selanjutnya ada di Selat Ambon, yakni Halmahera, juga di utara Flores, yang menimbulkan tsunami Flores tahun 1992.
Berjuta tahun tanah air kita berevolusi, berdiri, dan terus berevolusi bersama sama dengan makhluk yang hidup diatasnya, flora fauna, manusia. Diberi kemakmuran karena berkah gunung, berkebudayaan dengan aneka warna, dihantam bencana, pasang surut, digembleng berkali kali dan terus bangkit kembali.
Apakah ini berarti kehendak bersama, atau kesatuan ini bisa dimaknai tidak hanya diantara manusianya, atau idenya, namun juga lingkungan yang melingkupinya, tanahnya, airnya, udaranya, pendek kata alamnya, materinya. Kehendak itulah kesatuan ide dan materi.
Mari kita coba kaji dengan kehendak alam berikut ini, meski secara materi terpisahkan, tetapi sebagai ide kesatuan terwujud, ciri dari sebuah bangsa nusantara.
Dari informasi para ahli, seperti permah diulas harian Kompas, kita mensetujui, bahwa Pulau Jawa dengan Sumatera dahulu kala merupakan satu bagian tak terpisahkan bersama Kalimantan, membentuk satu dataran yang disebut Sunda Besar. Terpisahnya Jawa dan Sumatera dalam perkembangannya mengajukan dua teori besar, pertama teori pemisahan Jawa dan Sumatera disebabkan letusan Krakatau, dimana acuannya pada Pustaka Raja Purwa, yang ditulis pujangga Jawa, Ronggowarsito, pada tahun 1869.
Peristiwa ini disebutkan terjadi pada tahun 416 Masehi. Peneliti dari Los Alamos National Laboratory (New Mexico), Ken Wohletz mendukung teori ini, yang membuat Ken berbeda dengan Ronggowarsito, adalah waktu peristiwanya.
Pada akhirnya baik Ronggowarsito maupun Ken bertemu pada pendapat lainnya, berdasar penanggalan karbon dan radioaktif, para ahli geologi memastikan bahwa Krakatau pernah beberapa kali meletus hebat, dan pembentukan Selat Sunda tidak terjadi pada letusan tunggal besar.
Andang Bachtiar, geolog merdeka, sekaligus peneliti mandiri Anggota Tim Bencana Katastropik Purba, menemukan bukti awal dari pra risetnya di Situs Batujaya, Karawang, terkait teori pemisahan Jawa Sumatera.
Dari Survey Georadar yang ia lakukan memperlihatkan bahwa di beberapa situs bangunan batu bata merah yang hanya tersembul hanya beberapa meter dipermukaan, ternyata dibawahnya menunjukan ada bangunan yang terkubur sampai 15 meter yang bisa jadi merupakan bagian bangunan dengan umur sama (Abad 4 Masehi), atau seusia dengan thesis Ronggowarsito, bahkan peninggalan peradaban yang jauh lebih tua lagi, sepertihalnya Ken Wohletz.
Kemudian di sekitar situs ditemukan pula endapan marin (laut), ini artinya situs dahulu berada di dekat garis pantai. Dari sayatan horizontal dari hasil survey seismic 3D di utara Jakarta yang memperlihatkan jejak sungai purba dengan jelas sekali.
Dugaan terjadi tsunami besar diwilayah tersebut dimasa lalu dan membuat surutnya kejayaan Tarumanegara memang harus dilakukan. Terutamanya adalah apakah Tsunami purba tersebut terjadi tidak semata bidang kontak subduksi, namun juga vulkanasi krakatau.
Tentu dibutuhkan data lebih lengkap, seperti data seismic Pleistosen-Holosen guna pemetaan patahan aktif, pemetaan paleogeografi, dan kebencanaan. Data ini sekarang banyak dimiliki oleh industri Migas, dan seyogyanya mereka bisa mewakafkannya, setelah mendapat manfaat besar dari eksplorasi.
Teori kedua, adalah akibat gerakan lempeng bumi dimana pulau Jawa dan Sumatera bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda akibat tumbukan lempeng Indo-Australia ke Euro-Asia. Perbedaan ini menyebabkan terbukanya celah di dalam Bumi. Jadi justru Krakatau terbentuk karena pemisahan kedua pulau ini sebagai produk gerakan tektonik di dalam Bumi.
Menurut Dr Surono, Pulau Jawa telah bergerak ke arah timur dengan kecepatan sekitar 5 sentimeter (cm) per tahun, sedangkan Pulau Sumatera bergerak ke arah timur laut dengan kecepatan 7 cm per tahun. Proses ini menyebabkan Pulau Sumatera bergerak ke arah utara dan meninggalkan Pulau Jawa sehingga membuka kerak Bumi di Selat Sunda.
Terlihat jelas, bahwa teori pemisahan pulau jawa dan sumatera ini merupakan kehendak alam, bukan kehendak manusia. Lantas bagaimana kita bisa memiliki kehendak yang bersama, jika alam lebih memiliki determinisme dibanding kehendak manusia, yakni kemakmuran (ekonomi).
Disinilah manusia pada akhirnya seharusnya juga memahami perkembangan alam, disamping menginsyafi perkembanganya sendiri, yaitu perkembangan masyarakat. Penelitian kami tim bencana katasopik purba untuk situs Gunung Padang memberikan gambaran, tentang kearifan dan teknologi pada peradaban saat itu.
Gunung Padang sendiri dalam penelitian kami menunnjukan bahwa bangunan di lapisan atas telah ada sejak 2800 hingga 4500 tahun sebelum masehi (SM). Penentuan umur absolut itu didasarkan pada analisa 'carbon radiometric dating' terhadap sampel serpihan karbon dari situs yang berada di kedalaman tiga hingga empat meter di lapisan atas Gunung Padang. Dengan metoda Geolistrik, Georadar, dan Geomagnet, terlihat terdapat geometri-konstruksi bangunan berupa ruang-ruang besar sekitar 15 meter di bawah puncak Gunung Padang. Selain itu, tim juga menyatakan lapisan batuan tanah di kedalaman hingga 15 meter dari puncak Gunung Padang merupakan konstruksi bangunan buatan manusia dan bukan lapisan batuan alamiah dengan perkiraan umur maksimum 10.500 tahun sebelum masehi.
Gunung Padang adalah sebuah struktur punden-berundak raksasa yang menutup lereng bukit dan dibuat dengan desain arsitektur konstruksi canggih yang setara dengan konstruksi bangunan Michu-Pichu di Peru.
Membayangkan kemegahan Gunung Padang berdampingan dengan sesar aktif Cimandiri, tentu merupakan sebuah konsep kesatuan yang holistik, manusia, alam, tata pemerintahan dan religi. Sementara Sesar Cimandiri, sebuah sesar yang memanjang dari barat ke timur wilayah Sukabumi Selatan, yang diduga memanjang sampai ke lautan diketahui terbagi menjadi 5 segmen, yakni Cimandiri Pelabuhan Ratu-Citarik, Citarik-Cadasmalang, Ciceureum-Cirampo, Cirampo-Pegleseran, dan Pegleseran-Gandasoli, dimana sesar ini bergerak dengan kecepatan 4-6 mm per tahun.
Konsep hidup bersama, kehendak bersama secara faktual kami temukan pada saat melakukan uji sample dari permukaan sampai kedalaman kira-kira 3 meter, tim menemukan perlapisan susunan kolom andesit 10-40 cm (yang dibaringkan) diselingi lapisan tanah. Setiap kolom andesit tersebut dilumuri oleh semacam semen. Kemudian lapisan pasir-kerakal SUNGAI (epiklastik) yang berbutir.
Besar dugaan kami hamparan pasir ini dimaksudkan sebagai peredam guncangan gempa dari sebuah bangunan, mengingat keberadaan situs yang berada dekat dengan sesar gempa cimandiri, ini memberi arti bahwa masyarakat dimasa itu memiliki peradaban yang tinggi.
Sudah saatnya kita mengimplementasikan semangat revolusi kemerdekaan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yakni untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Semangat adalah juga menyertakan fakta fakta perkembangan alam didalamnya, tentang berkah alam atas kemakmuran, memahami perilaku dan risikonya, menjadikan kearifan buat kemajuan bersama.
Pemerintah 7 tahun terakhir berupaya mewujudkan hal tersebut. Seperti disampaikan Presiden, bahwa Sebagai negara ketiga terbesar di kawasan Asia Pasifik - setelah Republik Rakyat Tiongkok dan India, Indonesia mengedepankan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.
Kita telah memiliki UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang secara tegas mengamanatkan internalisasi aspek lingkungan hidup, dalam berbagai ranah pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Bahwa pemanfaatan sumber daya alam untuk menggerakan per-tumbuhan ekonomi, dijalankan dengan tidak mengorbankan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan.
Kehendak hidup bersama tersebut dikenalkan dalam pilar strategi pembangunan sosial-ekonomi yaitu pro-growth, pro-poor, pro-job, dan pro-environment. Kehendak bersama tersebut sejatinya adalah sustainable growth with equity.
Akhirnya, penting rasanya dalam pergulatan pengabdian hingga hari ini, untuk kami sampaikan, pertama, pentingnya melihat kembali hubungan fakta-fakta yang terjadi sepanjang masa (kesejarahan) dan kedua, sekaligus memperhatikan fakta-fakta yang berasosiasi dalam ruang bidang kebumian, dimana kita mampu menemukan kembali titik temu antara sejarah kemanusiaan dan ruang lingkup kondisi kebumian kita.
Hal itulah yang akan menjadi dimensi pokok tentang teori perubahan bumi dan manusia dan dimensi etis ditengah sejarah keserakahan dan penaklukan yang telah terjadi selama berabad abad lamanya, tidak hanya dalam ruang produksi namun juga pengetahuan.
Dirgahayu bangsaku, lestari alamku. [***]
Penulis adalah Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial Dan Bencana
Populer
Kamis, 21 November 2024 | 08:14
Jumat, 22 November 2024 | 09:27
Selasa, 26 November 2024 | 00:21
Sabtu, 23 November 2024 | 07:41
Minggu, 24 November 2024 | 16:14
Senin, 25 November 2024 | 18:57
Rabu, 27 November 2024 | 11:18
UPDATE
Sabtu, 30 November 2024 | 04:05
Sabtu, 30 November 2024 | 03:38
Sabtu, 30 November 2024 | 03:18
Sabtu, 30 November 2024 | 03:04
Sabtu, 30 November 2024 | 02:36
Sabtu, 30 November 2024 | 02:34
Sabtu, 30 November 2024 | 02:01
Sabtu, 30 November 2024 | 01:48
Sabtu, 30 November 2024 | 01:17
Sabtu, 30 November 2024 | 01:01