Tak menunggu lama, pintu mobil di bagian tengah terbuka. Kepala yang ditutupi rambut berwarna ungu perlahan-lahan menyembul dari pintu mobil yang sudah terbuka. Dialah MiÂranda Goeltom, tersangka kasus suap cek pelawat pemilihan DeÂputi Gubernur Senior Bank InÂdonesia 2004. Miranda meÂngeÂnakan baju tahanan KPK berÂlengan panjang berwarna putih.
Ia memadukan baju itu dengan rok dengan sepatu berhak tinggi berwarna hitam mengkilap. Baju seragam yang kini diwajibkan diÂpakai tahanan KPK setiap kali muncul di publik, tak mengurangi mood perempuan berusia 63 taÂhun itu untuk selalu tampil modis. Di tangan Miranda, baju putih yang bertuliskan “TAHANAN KPK†dan berukuran besar di punggung ini berubah jadi busana modis.
Ukurannya yang longgar membuat Miranda jadi punya ide untuk mengenakan ikat pinggang lebar menyerupai obi. Kerah baÂjunya dibikin tegak sehingga saat berpadu dengan kerah bajunya yang bergaya ruffles, tampak seperti blazer saja.
Senyum Miranda yang terukir di kedua bibirnya, seakan meneÂpis anggapan bahwa koruptor akan kehilangan wajah saat tamÂpil di muka publik. Bahkan,
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini masih bisa lambaikan tangan ke arah media yang hendak meliput persidangannya.
Penggunaan baju tahanan ini seÂngaja diterapkan KPK untuk meÂnimbulkan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. KPK menyediakan dua model baju tahanan yang wajib dipakai saat pemeriksaan, di dalam tahaÂnan, dan saat menghadiri persidangan.
Namun melihat gaya yang diÂperlÂihatkan Miranda, sepertinya tujuan penggunaan baju tahanan itu jauh panggang daripada api. Miranda justru sumringah dan penuh percaya diri. Tak sekalipun wajahnya menunduk malu dan menghindari kamera.
Kenapa baju tahanan tak juga membuat koruptor jera? Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan tindakan KPK memberi seragam kepada para tahanan kasus korupsi tidak akan menimbulkan efek jera. Pasalnya, kata dia, rasa malu pada diri koÂruptor sudah hilang.
“Jangan dihukum dengan rasa malu. Lebih tepat kalau dibuat taÂkut. Hukum 20 tahun penjara buat koruptor,†ujar Mahfud.
Kendati demikian, Mahfud tetap memuji upaya KPK memÂberi seragam kepada para terÂsangka sebagai upaya yang kreaÂtif. Menurutnya, seragam yang diÂkeÂnakan bisa memudahkan maÂsyaÂrakat mengetahui para koruptor.
Hanya bila dilihat dari efekÂtifitas, masih jauh. Menurut dia, satu-satunya cara untuk membuat jera adalah dengan menghukum seberat-beratnya. “Ini koruptor haÂnya dihukum dua setengah taÂhun, nggak mungkin takut meÂreka,†katanya.
Anggota Komisi Hukum DPR Martin Hutabarat juga pesimistis baju tahanan yang dibuat KPK tidak akan efektif untuk membuat jera pelaku korupsi. “Saya tidak yakin bahwa pengenaan baju koÂruptor itu efektif untuk menguÂrangi korupsi di Indonesia. KareÂna koÂrupsi itu sudah merasuk sampai ke mana-mana,†kata Martin.
Anggota Fraksi Partai Gerindra ini mengatakan, seharusnya KPK fokus pada penumbuhan efek malu untuk masyarakat. “Yang leÂbih efektif ke depan adalah usaÂha untuk memiskinkan mereka. KamÂpanye KPK untuk menumÂbuhkan rasa malu di masyarakat haÂrus konsisten dilakukan,†jelasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto meÂngatakan, pihaknya akan meÂwajibkan semua tahanannya meÂngenakan baju tahanan jika keÂluar dari ruang tahanan, termasuk menghadiri pengajian dan kebakÂtian sekalipun.
Tak tanggung-tanggung lemÂbaga antikorupsi itu menyiapkan ratusan baju tahanan bagi para koruptor yang ditahan KPK.
Rencananya baju tahanan terÂsebut akan dipakai untuk dua hal. Pertama, baju untuk tahanan yang akan dibawa. Kedua, baju untuk tahanan yang di ruang tahanan dan berbeda untuk tahanan laki-laki dan perempuan.
Selain itu, koruptor yang diÂtangÂkap KPK, tangannya akan diborgol. Bila dibawa dengan peÂsawat, mereka akan dilewatkan meÂlalui pintu umum sehingga semua pengunjung bandara bisa melihatnya.
Menurut Bambang, selama ini para tersangka korupsi belum meÂrasa malu dan jera karena perÂlaÂkuan yang diterima mereka masih kurang tegas. Karena itu, KPK tengah mempersiapkan berbagai perlakukan yang akan diterima koruptor.
“Dia (koruptor) akan menÂdeÂrita beserta seluruh kÂeÂturunannya. Jadi yang dimiskinkan bukan hartanya, tapi derajatnya. Jangan sampai orang ditahan tapi masih bisa petantang-petenteng meÂlamÂbaikan tangan. Bahkan cengenÂgeÂsan. Maka pimpinan KPK sepÂaÂkat membuat aturan yang lebih tegas,†kata Bambang.
Beberapa perlakuan disiapkan bagi koruptor. Di antaranya seÂmua tersangka dan tahanan KPK wajib mengenakan baju tahanan KPK. Bila melawan aparat akan langsung diborgol. Bagi tahanan dari luar kota yang akan dibawa ke Jakarta tidak akan lagi diberi keÂistimewaan melalui jalur khusus, tetapi menggunakan jalur umum.
“Selama ini, kalau diturunkan dari pesawat, selalu tidak melalui jalur umum. Saya bilang ke teÂman-teman pimpinan, tidak ada lagi. Lakukan itu di tempat biasa, pakai baju tahanan supaya semua bisa lihat. Masyarakat bisa lihat kelakuan para koruptor ini,†tegasnya.
Selain itu, sempat diusulkan untuk menghadirkan tersangka, tahanan maupun yang terjaring dalam operasi tangkap tangan di ruang konferensi pers KPK. Hal ini untuk memberikan ruang bagi media untuk menyorot para terÂsangka dari dekat. Perlakuan sama sudah diterapkan untuk kasus narkoba dan terorisme.
Usulan tersebut, kata BamÂbang, akan dipertimbangkan. Ia berjanji akan membicarakan usuÂlan tersebut dengan para pimÂpiÂnan yang lain. “Soal mengÂhaÂdirkan tersangka di ruang konÂferensi pers KPK akan kita biÂcaÂrakan dulu,†ucapnya.
Dengan cara itu, KPK berharap koruptor akan malu. Harga diriÂnya direndahkan dan harkatnya sebagai manusia terhormat diÂhinakan.
Koruptor Diabadikan, Biar Diingat Anak & Cucu
Upaya membuat koruptor jera didukung pihak-pihak di luar aparat penegak hukum. Caranya, mulai dari membuat ensiklopedia koruptor sampai rencana pencaÂbutan gelar akademiknya.
Transparency International InÂdonesia (TII) meluncurkan situs internet yang khusus untuk meÂngaÂbadikan para koruptor. Situs bernama Korupedia tersebut akan memuat profil para koruptor yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
“Tujuannya adalah untuk memÂberi efek jera berupa saksi sosial keÂpada para koruptor,†kata koorÂdinator Korupedia, Teten Masduki.
Teten, yang juga aktivis TransÂpaÂrency, mengatakan data yang dimasukkan ke situs diperoleh dari putusan pengadilan yang telah meÂmiliki kekuatan hukum tetap. AlaÂsan penggunaan data dari pengaÂdilan agar masyarakat tahu detail kasus yang menjerat koruptor itu.
“Prinsipnya sama seperti meÂngabadikan nama pahlawan naÂsional agar bisa dikenang maÂsyaÂrakat sampai anak cucu,†ucap Teten. Dia berharap para koruptor tersebut akan dikenang hingga lintas zaman untuk dijadikan peÂlajaran bersama.
Di dalam Korupedia, kata TeÂten, juga akan dimasukkan tautan dari media daring yang memuat kasus-kasus korupsi. “Sehingga masyarakat juga bisa terus meÂmantau kasus korupsi yang ada,†kata dia. Bahkan, maÂsyarakat bisa mengirim tulisan antikorupsi ke situs.
Di situs yang beralamat di http://www.korupedia.org itu, kasus yang ada dikelompokkan sehingga masyarakat mudah meÂngaksesnya. Pengelompokan terÂsebut adalah kasus korupsi APBN/APBD, pemerasan, puÂngutan liar, penggelapan, korupsi perbankan, gratifikasi, dan peÂnyaÂlahgunaan wewenang.
Ada juga peta Indonesia yang menggambarkan sebaran koÂrupÂsi. Setiap daerah yang ada kasus korupsinya ditandai warna meÂrah. Dengan mengklik tanda meÂrah, masyarakat bisa mengetahui kasus korupsi di daerah itu. “SeÂlain itu ada tautan untuk kasus-kasus yang macet,†kata Teten.
Sementara itu, Ketua DPR MarÂzuki Alie mengusulkan perÂguruan tinggi memberi sanksi bagi alumÂninya yang terbukti korupsi.
Seperti apa sanksinya? “MiÂsalÂnya ada komitmen dari perguruan tinggi untuk mencabut gelar akademik kepada alumninya yang korupsi,†ujar politisi Partai Demokrat ini.
KPK Cari Cara Gugat Perdata
Mau Miskinkan Koruptor
Negara sudah mengeluarkan uang Rp 73 triliun untuk memÂberantas korupsi. Namun uang negara yang bisa ditarik dari koruptor hanya Rp 5,33 triliun. Masih banyak koruptor yang tajir setelah keluar penjara.
KPK pun mencari cara untuk bisa memiskinkan koruptor. YakÂni dengan menerapkan huÂkuÂÂman finansial di luar memÂbayar denda dan uang pengÂganti. Hukuman finansial itu bisa berupa pembebanan biaya sosial korupsi bagi para koruptor.
“KPK memandang hukuman yang bersifat non badan atau penjara itu tidak sepenuhnya bisa merefleksikan dampak koÂrupsi yang ditimbulkan korupÂtor. Masih banyak koruptor yang bisa menikmati hasil koÂrupsi,†ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
Menurut Bambang, biaya triÂliun rupiah yang dikeluarkan neÂgara itu berdasarkan perhituÂngan Mahkamah Agung (MA) selama kurun 2001–2009. SeÂmentara mengenai biaya yang dibebankan pada para koruptor, itu diperoleh dari denda atau uang pengganti yang dibaÂyarÂkan. “Jadi, ada loss (kerugian) seÂbesar Rp 67,7 triliun atau seÂkitar 92 persen,†jelas Bambang.
Karena itu, lanjutnya, KPK segera mengembangkan metoÂde penghitungan biaya sosial korupsi. Dengan begitu, metode tersebut bisa segera diterapkan bagi para pelaku korupsi.
“Kami kembangkan biaya sosial korupsi sehingga koÂruptor menanggung biaya sosial yang dihasilkan dari perÂbuaÂtannya,†kata pria berjenggot lebat itu
“Saat ini kami meminta para ahli agar menghitung dan menÂcari metode yang tepat untuk penerapan biaya sosial korupsi terÂsebut. Memang tidak bisa seÂgera, tapi bukan tidak mungÂkin,†tegasnya.
Pasal 98 KUHP dinyatakan bahwa satu tindak pidana bisa digabungkan dengan perdata. Sebab pihak yang menderita kaÂrena korupsi bukan hanya negara, tapi juga pihak ketiga, bisa dimasukkan ke kerugian yang muncul dari korupsi, jelas Bambang.
Menurut pakar kejahatan ekonomi Rimawan Pradiptyo, kerugian total Rp 67,7 triliun itu akhirnya dibebankan kepada para pembayar pajak. IstilahÂnya, rakyat yang mensubsidi koÂruptor. Padahal, angka terÂsebut setara dengan empat kali lipat anggaran kesehatan.
“Bayangkan kalau Rp 67,7 triliun itu digunakan untuk banÂtuan langsung tunai (BLT). Dampaknya pasti dahsyat,†tegasnya.
Selama ini, lanjut pakar hukum asal Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut, aparat hanya menghitung biaya eksÂplisit yang dikeluarkan untuk menangani kasus korupsi. “BeÂlum biaya implisit yang meÂruÂpakan dampak dari tindakan korupsi para koruptor tersebut,†ujar Rimawan.
Untuk itu, lanjut dia, biaya yang keluar akibat perbuatan para koruptor tersebut harus dibebankan kepada koruptor itu sendiri.
Biaya tersebut disebut biaya sosial korupsi. Rimawan meÂlanjutkan, biaya sosial korupsi itu sudah diterapkan di negara-negara maju. “Jadi, setiap ada kejahatan, misalnya korupsi, langsung dihitung biaya soÂsialÂnya berapa,†jelas dia.
Ahli hukum pidana UI GanÂdjar Laksmana menambahkan, biaya sosial korupsi itu bisa mempertajam efek jera bagi peÂlaku korupsi. Penerapan biaya sosial korupsi tersebut berÂdamÂpak bagi masyarakat dan pelaku korupsi.
“Prevensi khusus bagi pelaku korupsi agar jera dan prevensi umum bagi masyarakat agar tidak meniru para koruptor,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03
Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21
Senin, 30 September 2024 | 05:26
Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45
Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46
Senin, 07 Oktober 2024 | 14:01
Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53
UPDATE
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:48
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:38
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:31
Kamis, 10 Oktober 2024 | 07:17
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 06:20
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:50
Kamis, 10 Oktober 2024 | 05:25
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:58
Kamis, 10 Oktober 2024 | 04:30