Berita

PT Chevron Pa­sific Indonesia (CPI)

X-Files

Kasus Chevron Tak Kunjung Naik Ke Tahap Penuntutan

Diselidiki Kejaksaan Agung Sejak Oktober 2011
JUMAT, 11 MEI 2012 | 10:28 WIB

RMOL. Selain belum ditahan, tujuh tersangka kasus Chevron juga belum digiring Kejaksaan Agung ke tahap penuntutan. Padahal, Korps Adhyaksa sudah cukup lama menangani perkara yang nilai kerugian negaranya sekitar Rp 200 miliar ini. Kejagung memulai penyelidikan kasus ini

pada Oktober 2011.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman beralasan, pe­nyidik masih mengembangkan pe­nyidi­kan terhadap para ter­sang­ka ka­sus proyek fiktif nor­malisasi (bio­remediasi) bekas la­han eksplorasi PT Chevron Pa­sific Indonesia (CPI).

“Kami berupaya agar se­gera bisa naik ke penuntutan, agar se­gera ke pengadilan,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Ke­pu­lauan Riau ini.

Kejaksaan Agung sudah mene­tapkan tujuh tersangka kasus ini. Lima tersangka dari PT Chevron, yaitu Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja dan Bachtiar Abdul Fatah. Dua ter­sangka lainnya dari perusahaan kelompok kerjasama (KKS) yak­ni Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan Her­lan (Direktur PT Sumigita Jaya). Enam tersangka sudah menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan. Ter­sangka yang belum menjalani pe­meriksaan adalah Alexiat.

Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw, jaja­rann­ya sudah mengantongi alat bukti yang cukup. “Kami tinggal melihat hasil uji laboratorium terhadap bukti-bukti yang dibawa dari kunjungan ke lokasi proyek bioremediasi,” katanya di Ge­dung Bundar.

Arnold yakin, hasil laborato­rium bakal mendukung bukti-buk­­ti yang sebelumnya sudah ada, sehingga akan memperkuat pro­ses penuntutan di penga­dilan. Pe­kan depan, menurut­nya, hasil uji la­bo­ratorium itu akan ketahuan.

Kendati begitu, dia belum bisa memastikan kapan para tersangka kasus ini bakal ditahan. Pena­ha­nan para tersangka dari PT Chev­ron, Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya bergantung pertimbangan tim penyidik.

“Kita tunggu saja, sebab pe­nyidikan masih berlangsung. Kami sudah berkomitmen untuk menuntaskan perkara proyek bioremediasi ini sampai ke akar­nya,” tandas dia.

Sejauh ini, enam tersangka baru sebatas dicegah ke luar ne­ge­ri. Satu tersangka, yakni Ale­xiat berada di Amerika Serikat dengan alasan mengurus sua­mi­nya yang sakit. Kasus proyek fik­tif pemulihan lingkungan ini, ber­awal dari perjanjian antara Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Chevron. Salah satu poin per­jan­jian itu mengatur tentang biaya un­tuk melakukan pemulihan ling­kungan (cost recovery) de­ngan cara bioremediasi.

Namun, menurut Adi Toe­ga­ris­man, kegiatan bioremediasi yang seharusnya dilakukan selama perjanjian berlangsung, tidak di­laksanakan dua perusahaan swasta yang ditunjuk Chevron, yaitu PT GPI dan PT SJ.

Padahal, anggaran untuk pro­yek bioremediasi itu sudah di­cair­kan BP Migas sebesar 23,361 juta Dolar Amerika Serikat. “Akibat proyek fiktif ini, negara dirugikan sekitar Rp 200 miliar,” ujarnya.

Menurut Adi, penyelidikan atas kasus proyek fiktif ini dimulai sejak Oktober 2011 berdasarkan laporan masyarakat.

PT Chevron menampik apa yang dilontarkan Kejaksaan Agung, bahwa anggaran proyek bioremediasi sebesar 270 juta Dolar AS atau Rp 2,43 triliun. “Ti­dak ada itu angka 270 juta Dolar AS. Total anggaran dari proyek bioremediasi PT Chevron adalah 23 juta Dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar,” kata Vice President Policy Government and Public Affair PT Chevron Pacific Indonesia, Yanto Sianipar.

Lantaran itu, Yanto mengaku bingung dengan angka-angka yang dikeluarkan pihak Kejak­saan Agung dan angka kerugian negara yang diduga mencapai Rp 200 miliar.

REKA ULANG

Orang BP Migas Dan PT Chevron Diperiksa Penyidik Sebagai Saksi

Penyidik Kejagung masih mengorek keterangan para saksi kasus proyek fiktif normalisasi la­han bekas eksplorasi PT Chev­ron yang diduga merugikan ne­gara sekitar Rp 200 miliar. Pada Senin lalu (7/5) misalnya, penyi­dik memeriksa dua saksi, yakni Vice President PT Chevron Yanto Sianipar dan Agung P Budiono dari BP Migas. Namun, seusai di­periksa, mereka tidak mau mem­beberkan materi pemeriksaan.

Direktur Penyidikan pada Jak­sa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw pun me­negas­kan, Yanto dan Agung memang diperiksa sebagai saksi. “Iya, me­reka diperiksa sebagai saksi,” katanya. Proyek bioremediasi be­kas lahan eksplorasi Chevron di­duga tidak membuahkan hasil se­bagaimana yang ditentukan, yak­ni menormalkan kembali tanah yang terpapar radiasi minyak dan gas hasil pengeboran.

Imbasnya, dalam proyek mul­tiyears yang dikerjakan pada ta­hun 2003 hingga 2011 itu ter­dapat indikasi korupsi.

Menurut Kejagung, negara di­rugikan sebesar 23 juta Dolar Ame­rika Serikat atau setara de­ngan Rp 200 miliar dari biaya pro­yek yang nilainya 270 juta Do­lar Amerika atau berkisar Rp 2,5 triliun itu.  

Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto, penyidikan dalam kasus ini masih berjalan dan dievaluasi. Pihaknya juga masih menganalisa uji la­bo­ratorium barang bukti tanah yang dibawa tim penyidik dari lo­kasi pengeboran di Riau. “Ka­sus Chev­ron jalan terus,” katanya.

Ahli bioremediasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Edison Nababan yang memimpin uji laboratorium itu, enggan mem­beberkan hasil analisa se­mentara. “Jangan tanya saya, ta­nya penyi­dik. Mana mungkin Kejaksaan Agung menetapkan ter­sangka tan­pa ada masalah,” katanya.

Sebelumnya, pihak BP Migas merasa sudah melakukan tugas pengawasannya dalam proyek bioremediasi ini. “Selama ini, kegiatan bioremediasi Chevron justru kami anggap sebagai pro­yek percontohan,” ujar Humas BP Migas Gde Pradnyana, ke­pada Rakyat Merdeka.

Bahkan, lanjut Gde, Chevron terikat dengan regulasi ketat anti korupsi Amerika. “Chevron ada­lah perusahaan yang terikat de­ngan undang-undang anti korupsi Amerika. Mereka tidak akan berani main-main dalam mela­ku­kan proses pelelangan,” ujarnya.

BP Migas, kata Gde, tidak me­nemukan kerugian negara seperti yang disangkakan Kejagung. “Sebab, itu menggunakan da­na­nya Chevron. Baru akan dibayar kembali jika tidak ada temuan audit atau pelanggaran yang me­reka lakukan sendiri,” ujarnya.

Proses cost recovery itu, lanjut Gde, berlaku reversible. Artinya, masih harus direkonsiliasi de­ngan temuan-temuan audit dan se­bagainya. “Sepanjang kita ma­sih berkontrak dengan Chevron, maka proses rekonsiliasi cost recovery itu bisa dilakukan kapan saja dalam masa kontrak kita dengan mereka,” katanya.

Yang Terlalu Lama Akan Masuk Angin

Alex Sato Bya, Pensiunan Jaksa Agung Muda

Pensiunan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Alex Sato Bya, mengingatkan para junior­nya di Kejaksaan Agung agar tidak berputar-putar dalam me­nangani kasus Chevron yang di­duga merugikan negara sekitar Rp 200 miliar.

Jika alat buktinya sudah cukup, lanjut Alex, maka berkas para tersangka kasus Chevron mesti segera dilengkapi dan di­naikkan ke penuntutan.

“Sudah seharusnya dilimpah­kan ke pe­ngadilan. Kalau ter­lalu lama, akan masuk angin, ber­bahaya. Selain itu, akan men­coreng nama baik kejak­saan jika tidak segera naik ke pe­nuntutan,” ujarnya.

Alex pun mengingatkan, apa­rat penegak hukum lain juga sedang giat mengusut sejumlah kasus korupsi di sektor per­tam­bangan, minyak dan gas (mi­gas). Jika Kejaksaan Agung ti­dak cekatan, maka kasus Chev­ron bisa diambil alih penegak hukum lain.

 â€œKalau kasus Chevron di­ambil alih penegak hukum lain, itu artinya Kejaksaan Agung tidak mampu menanganinya,” tandas bekas Ketua Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar (Kappi) Sumatera Selatan ini.

Lantaran itu, dia mendorong agar proses penyidikan tidak berlama-lama lagi. Soalnya, membawa kasus ini segera ke pe­ngadilan, berarti menun­juk­kan kepada masyarakat bahwa Kejaksaan Agung serius mem­buk­tikan kerugian negara yang sampai Rp 200 miliar itu. Se­lain itu, menunjukkan ke­se­riusan Ke­jagung mengem­bali­kan kerugian negara tersebut ke kas negara.

“Miris kalau kasus ini di­ambil alih penegak hukum lain, seperti KPK. Segeralah K­e­jak­saan Agung menaikkan kasus ini ke penuntutan,” sarannya.

Jangan Mau Diatur Tersangka

Syarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Suding mengingat­kan Kejaksaan Agung agar ja­ngan mau diatur tersangka.

Pemeriksaan tersangka kasus Chevron Alexiat Tirtawidjaja harus dilakukan seperti terha­dap enam tersangka lainnya. “Sungguh saya sesalkan, kare­na Kejagung memberikan ke­sempatan enam bulan bagi ter­sangka untuk menunda peme­rik­saan. Saya tidak terima ke­jak­saan diatur-atur tersangka se­perti itu,” tegasnya.

Sikap Kejaksaan Agung yang lembek seperti itu, kata Sya­ri­fuddin, membuat proses pe­ngu­sutan kasus ini akan me­ng­gan­tung. “Bagaimana penyi­di­kan akan berjalan baik, ketika ter­sangka mengatur jadwal peme­ri­ksaannya? Ini suatu preseden buruk dalam penegakan hu­kum,” ujarnya.

Lantaran itu, Syarifuddin me­minta Jaksa Agung Basrief Arief mengingatkan anak buah­nya agar tidak melakukan kom­promi dalam pengusutan kasus ini. “Jangan membuka ruang un­tuk diatur-atur tersangka. Kre­dibilitas Kejaksaan Agung di­pertanyakan karena mau di­atur-atur tersangka,” tandasnya.

Makanya, Syarifuddin me­nya­rankan Kejaksaan Agung agar memeriksa Alexiat yang kini berada di Amerika Serikat secepatnya. “Seharusnya ke­jak­saan menetapkan yang ber­sang­kutan dalam DPO, ke­luar­kan red notice supaya ada tin­dakan konkret. Atau perlu upa­ya menghadirkan secara pak­sa,” ucapnya.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman menyampaikan, penyidik mempertimbangkan pengaturan penjadwalan peme­riksaan terhadap tersangka Ale­xiat Tirtawidjaja dengan alasan kemanusiaan.

“Kebetulan suaminya sedang sakit yang butuh perawatan hingga enam bulan. Dalam pro­ses perawatan itu dia harus me­nunggui suaminya,” ujarnya.

Menurut Adi, pemanggilan terhadap Alexiat sudah dilaku­kan, namun yang bersangkutan meminta waktu pemerik­saan­nya diundur. “Keterangan yang bersangkutan dilampiri kete­ra­ngan dokter yang merawat sua­mi­nya. Yang bersangkutan me­nya­takan siap hadir dan datang ke Indonesia untuk diperiksa. Tentunya kami menyikapi, memb­eri waktu,” ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya