Berita

Jerit Nani, Mantan Penyanyi Istana yang di-PKI-kan

SENIN, 07 MEI 2012 | 13:15 WIB | LAPORAN:

RMOL. Di era Orde Lama (Orla), tak banyak penyanyi atau penari yang bisa manggung untuk menghibur keluarga Istana dan para tamunya. Nani, wanita kelahiran 23 Februari 1941, salah satu yang beruntung.

Dia jadi langganan Presiden Soekarno untuk pentas di pertemuan resmi pemerintah baik daerah dan pusat di Istana Negara. Namun, Bung Karno tak memintanya untuk bernyanyi saja, tapi juga menari.

"Ibu sih lebih banyak menyanyikan klasik Cianjur, namun beliau (Bung Karno)  menyuruh menari karena bisa juga menari," kata Nani kepada wartawan JakartaBagus.Com baru-baru ini.


Menurut Nani, tarian yang kerap dipersembahkannya kepada Bung Karno dan para tamu adalah tarian daerah, Dipatikarna. Biasanya tarian ini dibawakan oleh lelaki.

Nani mengatakan, dirinya juga pernah mengisi acara peringatan organisasi PKI tahun  1965 di kawasan Cianjur, Jawa Barat. Acara itu  dihadiri para pejabat daerah seperti bupati, pejabat militer serta beberapa jajaran pemerintah lainnya.

Sayang sungguh sayang, penampilannya yang memukau itu justru jadi awal hidup baru yang kelam bagi dirinya. Penampilannya jadi catatan hitam rezim pengganti Orla. Begitu terjadi pergantian kepemimpinan nasional dari Bung Karno ke Soeharto, Nani dicap sebagai anggota ataupun simpatisan PKI. Bahkan, label sebagai anggota PKI melekat sampai pemerintahan Soeharto runtuh.

"Padahal saya sama sekali tidak pernah ikut organisasi PKI. Saat itu hanya disuruh menari dalam mengisi acara peringatan hari ulang tahun PKI," kenangnya.

Tak itu saja, Nani pun pernah meringkuk di sel yang dingin. Tiga tahun setelah dia mangggung di acara PKI, dia pun ditangkap. Penangkapan kepada Nani terjadi pada 23 Desember 1968 sekitar pukul 10 malam. Perempuan ini ditodong senjata api. Pihak yang menciduknya mengaku dari jajaran Polisi Militer (CPM). Tak hanya Nani, ayahnya ikut digiring ke penjara.

Tanpa adanya proses pengadilan enam hari kemudian Nani dijebloskan ke penjara Cianjur. Setelah itu dia dipindahkan  ke Rutan Guntur (Markas PM) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Khusus wanita Bukit Duri.

Akibat penahanan tersebut, perempuan asal Desa Cikondang, Cianjur, itu kehilangan kebebasannya selama tujuh tahun tanpa dasar hukum yang jelas.

"Selama di penjara saya diberi nasi dari beras yang sudah berkutu dan tempe rebus dengan potongan kecil," ujarnya,

Nani menuturkan, selama ditahan dia bersama dengan para napi yang di PKI-kan membunuh waktu dengan membuat kerajinan tangan, seperti menjahit dan mengaji, juga membaca buku agama. Hanya itu yang izinkan dilakukan oleh Nani dan kawan-kawan. Namun, untuk akses mengetahui informasi lainnya sangat tertutup. Radio jadi barang terlarang.

Setelah tujuh tahun mendekam, akhirnya Nani dibebaskan pada 19 November 1975. Setelah  dibebaskan dari Bukit Duri, Nani dikenakan wajib lapor. Dia kemudian  menjadi asisten pribadi Marini Suryo Suwarso. Tahun 1976 dia mengantongi surat kebebasan secara penuh.  Dua tahun kemudian, barulah Nani memiliki KTP yang ditandai 'ET' (Ekstapol). Kode ET tersebut sangat mengusik. Nani mengaku tidak bisa bebas bergerak, termasuk bepergian ke luar negeri.

Ketika terjadi kasus berdarah Tanjung Priok tahun 1984, entah mengapa Nani disuruh wajib lapor selama tiga bulan ke kecamatan, serta satu bulan sekali ke kelurahan hingga tahun 2000.

Atas pelanggaran HAM masa lalu itu, lewat LBH Jakarta, kini Nani menggugat pemerintah sebesar Rp 7,46 miliar. Baru-baru ini terkabarkan bahwa gugatannya ditolak PN Jakarta Pusat. Atas putusan itu, mantan penyanyi Istana itu mengajukan banding.

Seiring upayanya mencari keadilan, Nani tidak pernah kehilagan jiwa seninya. Di usianya yang senja, ibu murah senyum ini sibuk mengisi waktu luang bernyanyi lagu-lagu klasik daerah bersama paduan suara dan kelompok  drama yang diisi rekan-rekannya.

"Ibu sadar apa itu kehormatan dan harga diri. Ayah ibu sempat berkata, kami bukan apa-apa dan bukan siapa- siapa namun kami keluarga terhormat. Karena kami bukan penghianat bangsa negara," tutur putri veteran republik ini. [ald]

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Cegah Penimbunan BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 02:00

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

UPDATE

Eddy Soeparno Bicara Komitmen Prabowo Percepat Dekarbonisasi

Senin, 15 Desember 2025 | 16:13

Praperadilan Kakak Kandung Hary Tanoesoedibjo Dua Kali Ditolak Hakim

Senin, 15 Desember 2025 | 15:55

Miliarder Siapkan Hadiah Besar Atas Aksi Heroik Warga Muslim di Bondi Beach

Senin, 15 Desember 2025 | 15:48

DPR Tegaskan Perpol 10/2025 Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:41

Ketaatan pada Rais Aam Fondasi Kesinambungan Khittah NU

Senin, 15 Desember 2025 | 15:39

Gubernur Sulut Dukung Penguatan Kapasitas SDM Bawaslu

Senin, 15 Desember 2025 | 15:29

Keselamatan Masyarakat Harus Jadi Prioritas Utama Selama Nataru

Senin, 15 Desember 2025 | 15:19

Pramono Terima Hasil Kongres Istimewa MKB Demi Majukan Betawi

Senin, 15 Desember 2025 | 15:12

KPK Geledah Rumah Dinas Plt Gubernur Riau SF Hariyanto

Senin, 15 Desember 2025 | 14:54

Command Center Diresmikan Percepat Digitalisasi dan Pengawasan Kopdes Merah Putih

Senin, 15 Desember 2025 | 14:43

Selengkapnya