Hotasi Nababan
Hotasi Nababan
RMOL. Jadi tersangka kasus dugaan sewa pesawat fiktif sejak Agustus 2011, kapan bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan dan anak buahnya dibawa Kejaksaan Agung ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi? Perkara ini mangkrak?
Tapi, menurut Kepala Pusat PeÂnerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, dua terÂsangka kasus korupsi sewa peÂsawat Boeing 737-400 dan 737-500 senilai satu juta dolar AmeÂrika Serikat pada 2006 ini, segera diadili di Pengadilan Tindak PiÂdana Korupsi (Tipikor).
“Untuk dua tersangka, peÂnyiÂdiÂkannya sudah selesai. SedangÂkan satu tersangka lainnya, masih dalam tahap penyidikan,†ujar Adi di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, kemarin.
Adi menjelaskan, dua terÂsangÂka yang segera naik ke tahap peÂnuntutan adalah bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara AirÂlines (MNA) Hotasi Nababan dan bekas GM Air Craft ProÂcuÂrement Tony Sudjiarto.
“Untuk tersangka HN dan TS, penyidik sudah melimpahkan ke bagian penuntutan, untuk diteliti apakah perkara ini sudah lengkap atau masih perlu penambahan. Tapi, rasanya sudah lengkap,†katanya. Sedangkan tersangka yang berkasnya belum lengkap, sehingga belum dilimpahkan ke bagian penuntutan, yakni bekas Direktur Keuangan PT MNA Guntur Aradea.
Para tersangka terancam pidaÂna selama 20 tahun, seperti diatur dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 tahun 1999, sebagaimana diÂubah menjadi Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000. Akan tetapi, hingga kemarin, para terÂsangka yang diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp 9 miliar ini, belum ditahan KeÂjaksaan Agung.
“Setelah tahap penelitian berÂkas, tentu ada tahap pelengkapan. Nanti biasanya dilakukan penaÂhanan. Saat ini belum dirasa perÂlu,†Adi beralasan.
Bahkan, dari ketiga tersangka haÂnya Guntur Aradea yang dikeÂnakÂan status pencegahan berperÂgian ke luar negeri. Padahal, dua tersangka lainnya disidik sejak Agustus 2011.
Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andi Nirwanto, seÂlain mengorek keterangan seÂjumÂlah saksi, jajarannya juga meÂminta keterangan ahli hukum piÂdana dan ahli pengadaan baÂrang dan jasa untuk menÂdalami kasus ini.
Kasus sewa pesawat ini terjadi pada tahun 2006. Saat itu, Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari ThirÂdstone AirÂcaft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar AS untuk setiap pesawat.
Tapi, setelah dilakukan pemÂbaÂyaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT MerÂpati Nusantara Airlines. Lantaran itu, lanjut Andhi, Kejaksaan Agung mencium indikasi korupsi sebesar satu juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 9 miliar dalam kasus tersebut.
TALG diduga melanggar konÂtrak karena tidak menyediakan dua pesawat jenis Boeing 737 seri 400 dan 500 yang dijanjikan seÂbelumnya. Padahal, Merpati telah mentransfer duit jaminan 1 juta doÂlar AS. Namun, duit yang diÂseÂtor ke rekening lawyer yang diÂtunjuk TALG, yakni Hume & AsÂsociates melalui transfer Bank ManÂdiri, tak bisa ditarik kembali.
Kebijakan mengirim uang ke rekening lawyer itulah yang memÂbuat Merpati sulit menarik kemÂbali duit jaminan tersebut. Seharusnya, duit jaminan disimÂpan pada lembaga penjamin resÂmi. Makanya, Kejaksaan Agung menyangka ada keinginan sejumÂlah pihak untuk menyelewengkan dana itu.
REKA ULANG
Tersangka Merasa Tidak Kongkalikong
Kuasa hukum tersangka Hotasi Nababan, Lawrence TB Siburian mengatakan bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka tidak tepat. Soalnya, menurut dia, kaÂsus sewa pesawat ini murni perÂkara perÂÂdata, bukan kasus pidana. LawÂrence menilai, Kejaksaan Agung terlalu memaksakan diri meÂneÂtapÂkan kasus ini ke ranah pidana.
Apalagi, lanjut Lawrence, perÂbuatan korupsi harus memiliki tiga unsur. Yakni melawan huÂkum, ada kerugian negara yang mengunÂtungÂkan diri sendiri, orang lain atau koorporasi. “KeÂtiga hal terseÂbut yang harus terÂpenuhi, tidak bisa jika hanya satu,†katanya.
Sedangkan Hotasi meminta Kejaksaan Agung tidak meÂngeÂsampingkan fakta hukum perkara ini, terutama putusan pengadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat. Menurutnya, Pengadilan Distrik Washington menerima gugatan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan mewajibkan Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) meÂngemÂbaÂliÂkan uang milik Merpati.
“Upaya kami menggugat TALG menunjukkan tidak ada kongÂkaÂlikong antara Merpati dan TALG. Ini murni persoalan wanprestasi. Bagi Merpati, ini merupakan riÂsiÂko bisnis,†kata Hotasi.
Di tempat berbeda, Direktur UtaÂÂma PT MNA Sardjono Jhoni meÂnyatakan bahwa Merpati proÂaktif menyelesaikan persoalan terÂsebut. Sikap proaktif itu, meÂnuÂrutÂnya, ditunjukkan dengan kedÂaÂtaÂngan dirinya dan sejumlah pejabat Merpati ke Kejaksaan Agung.
“Saya pernah datang ke KeÂjagung untuk mendampingi DÂiÂrekÂtur Keuangan dan Direktur OpeÂrasional yang dimintai keteÂraÂngan jaksa. Kedatangan saya bukan dalam kapasitas dipanggil, tapi diundang kejaksaan,†kataÂnya seraya membantah, keÂdaÂtaÂngannya ke Kejagung dalam kaÂpasitas sebagai saksi.
Menurutnya, yang patut dipaÂhami dalam kasus ini adalah, proÂses pengajuan penyewaan peÂsaÂwat didasari kebutuhan Merpati yang saat itu tidak punya uang. “Kami butuh pesawat, tapi tidak puÂnya uang, makanya diputuskan untuk menyewa. Merpati selalu merujuk pada kebijakan korÂpoÂrasi, bukan kebijakan perorangan. Karena itu, kami mengikuti saja proses huÂkum yang berjalan,†ucapnya.
Kasus sewa pesawat ini terjadi paÂda tahun 2006. Saat itu, Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari TALG di AmeÂriÂka Serikat, seharga 500 ribu dolar AmÂerika Serikta untuk seÂtiap pesawat.
Tapi, setelah dilakukan pemÂbaÂyaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut beÂlum pernah diterima Merpati. LanÂÂtaran itu, Kejaksaan Agung mencium indikasi korupsi sebeÂsar satu juta dolar Amerika SeÂriÂkat atau sekitar Rp 9 miliar dalam kasus tersebut.
Masyarakat Semakin Tidak Percaya
Naldy Nazar Haroen, Ketua Umum BUMN Watch
Ketua Umum LSM BUMN Watch Naldy Nazar Haroen berÂpendapat, para tersangka kaÂsus sewa pesawat ini layak diÂtahan dan segera disidang.
Jika para tersangka itu tidak ditahan dan tak kunjung dibawa ke persidangan, maka kecuÂriÂgaan publik akan semakin tingÂgi terhadap pimpinan KeÂjakÂsaan Agung. “Kalau ancaman hukumannya melebihi lima tahun, ya harus ditahan. Ini kan acaman sampai 20 tahun, tetapi kenapa tak ditahan? Ada apa ini,†herannya.
Menurut Naldy, penahanan terÂhadap tersangka kasus koÂrupsi seperti ini harus dilaÂkuÂkan. Hal itu tentu saja diÂbuÂtuhÂkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
“Nanti kalau orang-orang itu melarikan diri, ya habislah kita. Banyak kejadian tersangka lari dan menghilangkan barang bukti,†ujarnya.
Dia juga mengingatkan KeÂjakÂsaan Agung agar tidak berÂtindak diskriminatif dalam hal melakukan penahanan. “Jangan diskriminatif. Kok ada yang segera ditahan, tapi ini dari AgusÂtus 2011 tak ditahan,†katanya.
Menurut Naldy, dalam seÂjumÂlah kasus korupsi di Badan Usaha Milik Negara, patut diÂcurigai ada pihak-pihak yang bermain dan mengintervensi proÂses hukum.
“Karena di BUMN itu kadang-kadang bisa bermain. Merpati ini kan BUMN. Tetapi, biar bagaimanapun penegak huÂkum harus melakukan penaÂhaÂnan,†ujarnya.
Jika tidak segera diproses dan dilimpahkan ke pengadilan, lanÂjut dia, masyarakat akan semaÂkin tidak percaya pada program pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan Agung.
“Apa kasus ini mau di-peties-kan? Apakah mau di-SP3? PeÂnanganan kasus ini patut diÂpertanyakan jika tak kunjung sampai ke persidangan,†kaÂtanya.
Seperti Ada Yang Ditutupi
Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi menyampaikan, adalah hal yang wajar jika masyarakat memÂpertanyakan kinerja KeÂjaksaan Agung dalam mengusut kasus ini.
Menurut Politisi Golkar itu, kerugian negara harus dikemÂbalikan kepada negara dan para pelakunya mesti diproses hingÂga tuntas di pengadilan. “Ada apa dengan Kejaksaan Agung. Kenapa tampak tidak serius mengusut kasus ini. Kenapa jalan di tempat, sedangkan keÂrugian negara sudah ketahuan,†ujar Andi.
Andi mengingatkan, jika perÂkara korupsi yang menimÂbulkan kerugian negara miliaÂran rupiah prosesnya mengamÂbang, maka kinerja kejaksaan mengusut kasus lain yang nilai kerugian negaranya lebih kecil, bisa tidak jelas.
“Kasus yang keÂrugian negaÂranya miliaran saja begini, baÂgaimana dengan kasus korupsi yang nilainya ratusan juta. Tak jelas jadinya,†kata dia.
Andi juga menyarankan KeÂjaksaan Agung agar segera meÂlakukan penahanan terhadap para tersangka. Jika penahanan itu dilakukan, kata Andi, hal itu menjadi salah satu bukti bahwa Kejaksaan Agung benar-benar serius menegakkan hukum dan melakukan pemberantasan korupsi.
“Ada apa dibalik semua ini? Penyidikan sudah sejak AgusÂtus 2011, tapi tersangka tidak diÂtaÂhan-tahan. Penanganan kaÂsus ini tidak serius. Kenapa beÂlum dilimpahkan ke pengaÂdiÂlan. Bukti apa lagi yang dicari? KeÂnapa seperti ada yang diÂtuÂtupi,†ucapnya.
Dia pun meminta Kejaksaan Agung agar bersikap terbuka. MenÂjelaskan apa kesulitan dan bagaimana upaya yang dilaÂkuÂkan dalam menuntaskan kasus ini. “Apakah ada tekanan-tekaÂnan dari luar. Apa yang memÂbuat Kejaksaan Agung meÂngamÂbil sikap begini. Apakah ada tekanan, titipan dan lain-lain, itu semua harus dibuka seÂcaÂra transparan,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52