Berita

PT Chevron

X-Files

1 Tersangka Kasus Chevron Masih Di Amerika Serikat

6 Tersangka Di Indonesia Tak Kunjung Ditahan
KAMIS, 26 APRIL 2012 | 09:55 WIB

RMOL. Kejaksaan Agung masih mengumpulkan bukti-bukti kasus dugaan proyek fiktif perbaikan lingkungan (bioremediasi) bekas lahan eksplorasi minyak PT Chevron di Riau, Sumatera.

Setelah menerjunkan 10 tim ke lokasi proyek bioremediasi untuk mengumpulkan bukti-bukti berupa tanah, penyidik akan mengkonfirmasi benar atau ti­dak­nya proyek bioremediasi dil­a­ku­kan kepada ahli bioremediasi dari Universitas ITB, Bandung, Pro­fe­sor Edison Nababan.

Pada 9 sampai 11 April, pe­nyi­dik turun ke lapangan mengecek fisik lapangan proyek bio­re­me­diasi. “Penyidik melakukan pe­me­riksaan di dua lokasi, me­ngam­bil sampel proyek biore­me­diasi, mulai dari penampungan tanah yang kena limbah hingga pe­ngecekan tanah yang dibio­re­mediasi. Hasilnya kita crosscheck kepada ahli,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, kemarin.

Penyidik juga memeriksa kem­bali empat saksi dalam kasus yang diduga merugikan negara se­besar Rp 200 miliar ini, yaitu Pe­nanggung Jawab Proyek Bio­remediasi PT Chevron Pasifik In­donesia (CPI) Mukhlis, Ketua Pa­nitia Pengadaan Proyek Bio­re­me­diasi PT CPI Sudjono Adimulyo, Tim SMO Budgeting & Repor­ting PT CPI Lily Siana dan Ac­count Payable PT CPI Sugeng Hartono.

Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh ter­sangka. Enam diantaranya su­dah dicegah ke luar negeri. Lima orang dari PT CPI yaitu Endah Ru­biyanti, Widodo, Kukuh, Ale­xiat Tirtawidjaja dan Bachtiar Ab­dul Fatah. Dua tersangka lain­nya dari perusahaan swasta k­e­lom­pok kerjasama (KKS) yakni, Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan Her­lan (Direktur PT Sumigita Jaya).

Jaksa Agung Muda Pidana Khu­sus (Jampidsus) Andhi Nir­wan­to mengatakan, penyidik te­rus berkomunikasi dengan Ale­xiat Tirtawidjaja yang hingga pada saat ini belum diperiksa pe­nyidik karena sedang menemani suami yang sakit di Amerika Serikat. Dia tidak khawatir jika Alexiat sebagai tersangka yang belum diperiksa, menghilangkan barang bukti.

“Yang dihilangkan apanya ka­lau barang buktinya tanah. Kalau dokumen, sudah diperoleh sama teman-teman penyidik. Terus luas tanahnya sudah difoto, sudah di­bawa barangnya,” kata Andhi.

Dia menyatakan kasus tersebut akan dituntaskan. Ditetapkannya tujuh orang sebagai tersangka ka­sus ini, karena penyidik memiliki bukti yang cukup sewaktu pe­nye­lidikan dilakukan.

“Waktu pe­nyelidikan, tujuh ter­sangka saling kait, rupanya ini ber­tanggungjawab, itu ber­tang­gung­jawab maka semua jadi ter­sang­ka.Ya namanya penyidik kan pasti menduganya ke sana. Case ini ha­rus keseluruhan selesai,” tegasnya.

Menurutnya, ketujuh tersangka nantinya akan ditahan penyidik jika dinyatakan perlu. Begitu juga dengan memeriksa pihak BP Migas sebagai pengawas pe­ke­r­jaan proyek bioremediasi. “Kalau soal penahanan, penyidik belum menganggap perlu. Bukan berarti tidak, lihat perkembangannya, tergantung penyidik,” ujarnya.

Perkara dugaan korupsi proyek pemulihan lingkungan ini, ber­awal dari perjanjian antara Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Chevron. Salah satu poin perjan­jian itu mengatur tentang biaya un­tuk melakukan pemulihan ling­kungan (cost recovery) dengan cara bioremediasi.

Akan tetapi, menurut Kepala Pu­sat Penerangan Hukum Kejak­saan Agung Adi Toegarisman, kegiatan bioremediasi yang se­ha­rusnya dila­kukan selama per­jan­jian ber­lang­sung, tidak dilak­sanakan dua pe­ru­sahaan swasta yang ditunjuk Chev­ron, yaitu PT GPI dan PT SJ.

Padahal, anggaran untuk pro­yek bioremediasi itu sudah di­cairkan BP Migas sebesar 23,361 juta Dolar Amerika Serikat. “Akibat proyek fiktif ini, negara dirugikan Rp 200 miliar,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau ini.

PT Chevron Pasific Indonesia yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi, tidak tinggal diam menghadapi sangkaan yang di­lontarkan Kejaksaan Agung. Pe­ru­sahaan multinasional ini, me­nampik pernyataan pihak Ke­jak­saan Agung bahwa anggaran pro­yek bioremediasi sebesar 270 juta Dolar AS atau Rp 2,43 triliun.

“Tidak ada itu angka 270 juta Dolar AS. Total anggaran dari proyek bioremediasi PT Chevron adalah 23 juta Dolar AS atau seki­tar Rp 200 miliar,” kata Vice Pre­sident Policy Government and Public Affair PT Chevron Pacific Indonesia, Yanto Sianipar.

Lantaran itu, Yanto mengaku bingung dengan angka-angka yang dikeluarkan pihak Kejak­saan Agung dan angka kerugian negara yang diduga mencapai Rp 200 miliar.

REKA ULANG

Disangka Berkonspirasi Dengan 2 Perusahaan Lokal

Kejaksaan Agung sudah me­netapkan tujuh tersangka kasus proyek fiktif normalisasi (bio­re­me­diasi) tanah yang terkena lim­bah akibat penambangan minyak PT Chevron.

Lima tersangka dari Chevron yaitu Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirta­wid­jaja, dan Bachtiar Abdul Fa­tah. Dua ter­sangka lainnya dari perusahaan swasta kelompok kerjasama (KKS) yakni, Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Pla­net In­donesia) dan Herlan (Di­rektur PT Sumigita Jaya).

Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Edwin Pamimpin Situmorang sudah mengeluarkan surat cegah ke luar negeri kepada enam tersangka.

Yang sudah dicegah itu ada­lah, Ricksy Prematuri (RP) dengan surat Kep-067/D/Dsp 3/03/2012 tang­gal 30 maret 2012; Kukuh (KK) Kep-068; Widodo (WID) Kep-069; Bachtiar Abdul Fatah (BAF) Kep-070; Endah Rubi­yanti (ER) Kep-071 dan Herlan (HO) Kep-72. “Dicegah untuk enam bulan ke depan,” kata Edwin.

Jaksa Agung Muda Pidana Khu­sus (Jampidsus) Andhi Nir­wanto menyampaikan, ada peng­gelapan pengadaan proyek bio­re­mediasi dalam kasus ini. Per­hi­tungan sementara yang dilakukan penyidik, telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp 200 miliar. “Ada konspirasi antara Chevron dengan dua perusahaan lokal. Ini kasus korupsi, khusus­nya pengadaan barang dan jasa,” ujar Andhi.

Dugaan korupsi dalam pelak­sanaan bioremediasi di PT Chev­ron Pasific Indonesia terjadi an­tara tahun 2006-2011. PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya sebagai pihak ketiga, tidak memiliki atau tidak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi dari pejabat berwenang sebagai perusahaan yang bergerak di bi­dang pengolahan limbah. Kedua perusahaan tersebut hanya peru­sahaan umum, sehingga dalam pelaksanaannya proyek tersebut diduga fiktif belaka.

Namun, pihak PT Chevron Pa­sific Indonesia (CPI) membantah sangkaan Kejaksaan Agung itu. Me­nurut Coorporate Commu­ni­ca­tion Manager PT CPI Dony Indrawan, pekerjaan pemulihan bekas lahan eksplorasi CPI dila­ku­kan secara terbuka.

“Chevron memilih kontraktor melalui proses yang transparan dan bertanggung jawab, sesuai pro­sedur yang ditetapkan Peme­rintah Indonesia. Itu bisa dicek ke BP Migas,” ujarnya.

Desain dan penggunaan tek­nologi bioremediasi, kata Dony, juga telah dievaluasi dan disetujui badan-badan pemerintah yang berwenang, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan BPMigas.

“Chevron bahkan mendapat predikat PROPER Rating Biru dari Kementerian Lingkungan Hidup karena ketaatan terhadap pe­raturan lingkungan pada 2011,” ujar Dony.

Teknologi bioremediasi, lanjut Dony, melalui uji laboratorium dan uji lapangan, terbukti sebagai teknologi yang paling efektif dan efisien untuk menangani masalah perbaikan kondisi tanah, mengi­ngat karakteristik tanah yang terkontaminasi.

“Sampai saat ini, proyek bio­remediasi di Sumatera telah ber­hasil meremediasi 520.000 meter kubik tanah terkontaminasi di 132 lokasi,” ujar Dony.

Patut Dicurigai Apakah Ada Permainan

Sandi Ebeneser, Majelis PBHI

Anggota Majelis Perhim­pu­nan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sandi Ebeneser Situng­kir heran, mengapa para ter­sangka kasus ini tidak ditahan Ke­jaksaan Agung. Padahal, ni­lai kerugian negara dalam per­kara ini, menurut Kejagung se­kitar Rp 200 miliar.

Menurut Sandi, penetapan sta­tus tersangka semestinya su­dah didasarkan alat-alat bukti yang kuat. Sehingga, tersangka bisa ditahan dan segera dise­le­saikan pemberkasannya untuk dituntut di pengadilan.

“Kalau tidak ditahan, se­hing­ga lambat ke pengadilan, patut di­curigai ada permainan,” ujar San­di, kemarin.

Apalagi, kasus ini berkenaan dengan perusahaan asing, se­hing­ga Kejaksaan Agung se­mes­tinya segera melakukan pe­na­hanan terhadap tersangka, agar tidak melarikan diri dan meng­hilangkan barang bukti. “Patut di­pertanyakan, apakah ada ne­gosisasi, sehingga proses pe­ngusutan masuk angin,” ujarnya.

Kasus ini, lanjut dia, sudah menjadi perhatian publik. Ka­rena itu, sudah selayaknya di­seriusi pengusutannya. “Kasus-kasus ini menyangkut hidup orang banyak, jangan main-main,” ujar Sandi.

Dalam pengusutan kasus ko­rupsi, kata dia, pastinya ada ge­lar perkara. Pada gelar perkara, bukti-bukti tentu sudah jelas ka­rena telah ada penetapan te­r­sangka. Langkah yang akan di­lakukan juga harus jelas.

“Gelar kasus antar unit itu jelas, dan di situ dibicarakan se­muanya. Persoalannya, apakah be­nar-be­nar dilakukan,” ucapnya.

Mesti Jelas Hingga Tuntas Di Pengadilan

Dasrul Jabar, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Dasrul Jabar juga berpendapat, semestinya Kejaksaan Agung menahan semua tersangka ka­sus Chevron. Baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Apalagi, Kejagung telah melansir nilai kerugian negara dalam kasus ini Rp 200 miliar.

“Mereka telah ditetapkan se­bagai tersangka. Kejaksaan ha­rus serius. Apalagi sudah ada bukti-bukti, maka semua ter­sang­kanya mesti diseriusi pro­ses­nya,” ujar Dasrul, kemarin.

Dasrul mengingatkan, kasus ini jangan sampai hilang dan dibiarkan menggantung tanpa proses yang jelas hingga ke pe­ngadilan. “Sebab, bila memang sudah ditemukan adanya ke­ru­gian negara, harus ada pihak yang bertanggung jawab. Ini harus diusut tuntas,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrat ini me­ngingatkan Kejaksaan Agung tidak bermain mata de­ngan para tersangka dan pihak-pihak yang berkepentingan.

“Kejaksaan harus sungguh-sungguh mengusut. Kesung­gu­han itu bisa dilihat dari kinerja, misalnya dengan segera mela­ku­kan penahanan terhadap para tersangka karena sudah cukup bukti jadi tersangka,” ujar Dasrul.

Jika Kejaksaan Agung tidak serius, kata dia, maka publik akan mempertanyakan kinerja mereka. Publik tidak akan ting­gal diam. “Apakah Kejaksaan Agung sudah diamankan pihak-pihak berkepentingan dalam kasus ini? Ini tidak boleh ter­jadi, Kejagung harus ambil langkah tegas. Kalau tidak, ke­percayaan masyarakat akan se­makin turun karena kasus-kasus begini melempem pena­nga­nan­nya,” ujar Dasrul. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya