Berita

Fahd A Rafiq

X-Files

KPK Dalami Kemungkinan Tetapkan Tersangka Baru

Fahd A Rafiq Heran Temannya Belum Tersangka
RABU, 11 APRIL 2012 | 09:57 WIB

RMOL. KPK belum menaikkan kasus suap pengalokasian Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2011, dengan tersangka bekas anggota Badan Anggaran DPR Wa Ode Nurhayati ke penuntutan.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo me­nyam­paikan, pihaknya masih men­dalami dan melengkapi buk­ti-bukti dan kelengkapan berkas lainnya. “Belum masuk ke tahap penuntutan, belum P21,” ujarnya, kemarin.

Johan menyampaikan, pihak­nya masih melakukan penyidikan lanjutan. KPK juga belum me­nemukan adanya bukti kuat untuk menetapkan tersangka baru da­lam kasus ini. “Belum ada te­r­sangka baru,” ujarnya.

Terkait kasus ini, kemarin KPK memanggil dan memeriksa pe­ngu­saha yang juga kader Partai Golkar Haris Surahman. Haris dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka Wa Ode Nur­ha­yati. “Yang bersangkutan di­min­tai keterangan sebagai saksi bagi WON,” kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha.

Dalam kasus ini, Haris diduga men­jadi perantara penyerahan uang Rp 6 miliar dari rekannya, Fahd A Rafiq, kepada Wa Ode se­laku anggota Badan Anggaran DPR. Uang tersebut diduga ber­kaitan dengan pengalokasian dana PPID untuk tiga kabupaten di Aceh.

Sehari sebelumnya, pada Senin malam (9/4), Fahd A Rafiq juga di­periksa di KPK. Fahd heran me­ngapa KPK belum mene­tap­kan Haris Surahman sebagai ter­sangka dalam kasus ini. Ia me­nu­ding ada keterlibatan Haris dalam pemberian suap alokasi dana PPID untuk Aceh tahun 2011.

“Haris sangat dekat dengan saya, dan saya tidak ada uru­san­nya dengan Wa Ode. Saya kaget ke­tika Haris belum ditetapkan se­bagai tersangka,” kata Fahd.

Fahd menyebut Haris sebagai bro­ker proyek di DPR. Haris dicegah bepergian ke luar negeri oleh KPK. Beberapa waktu lalu Haris melapor kepada KPK mengenai ancaman yang diterima dirinya dan keluarganya terkait kasus PPID.

Seusai pemeriksaan, Haris me­ngatakan, dirinya hanya mem­be­ri­kan keterangan terkait Wa Ode dan Fahd. “Intinya saya meme­nu­hi panggilan KPK untuk me­lengkapi keterangan saya se­be­lumnya. Saya sebagai saksi da­lam kasus Wa Ode atas tersangka Fahd Arafiq,” kata Haris di Ge­dung KPK.

Menurut Haris, dalam peme­rik­saan selama lima jam, dia dita­nya penyidik KPK mengenai kro­nologi pengalokasian dana PPID. “Seperti kronologi tempat dan waktu kejadian. Seputar itu saja yang ditanyakan,” kata Haris.

Selain itu, Haris juga ditanya me­ngenai penyerahan uang kepa­da anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi PAN, Wa Ode Nur­ha­yati. Namun Haris tak mau me­rinci pemberian fee tersebut. “Saya hanya menjelaskan kete­ra­ngan tambahan. Seperti kete­ra­ngan-keterangan terdahulu. Un­tuk melengkapi saja,” ujarnya.

Dalam kasus ini KPK telah me­netapkan Wa Ode dan pengusaha sekaligus kader Golkar, Fahd A Rafiq sebagai tersangka. Kedua­nya dicegah ke luar negeri oleh KPK bersama Haris dan staf Wa Ode bernama Sefa Yolanda. Dua nama terakhir berstatus sebagai saksi. Wa Ode diduga menerima suap sebesar Rp 6,9 miliar dari Haris Surahman, kader Partai Golkar lainnya.

Uang itu disebut milik Fadh yang diberikan oleh Haris kepada Wa Ode melalui staf Wa Ode, Sefa Yolanda, serta seorang lagi ber­nama Syarif Achmad. Uang ter­sebut dikirim ke rekening Bank Mandiri sebanyak sembilan kali transfer pada 13 Oktober sampai 1 November 2010.

Uang ditrans­fer sekali sebesar Rp 1,5 miliar, dua kali sebanyak Rp 1 miliar, empat kali transfer Rp 500 juta, dan dua kali sebesar Rp 250 juta.

Pemberian uang tersebut di­du­ga agar Fadh dan Haris men­da­pat­kan proyek pada tiga kabu­pa­ten di Aceh, yaitu Aceh Besar, Pi­die Jaya dan Bener Meriah, serta Kabupaten Minahasa di Sulawesi Utara. Wa Ode disangka mengu­pa­yakan kabupaten-kabupaten itu agar masing-masing mendapat­kan alokasi anggaran DPID se­besar Rp 40 miliar.

Namun belakangan, pada pe­ne­tapan daerah penerima DPID, hanya dua kabupaten yang di­ako­modasi, Aceh Besar sebesar Rp 19,8 miliar dan Bener Me­riah Rp 24,75 miliar. Fadh dan Haris k­emudian menagih Wa Ode agar mengembalikan uang itu.

Untuk tersangka Fahd, KPK belum melakukan penahanan sampai kemarin. Sedangkan Wa Ode yang sudah ditahan, telah membantah menerima suap.  Ter­kait penyidikan kasus ini, KPK melakukan pengembangan, men­cari kemungkinan keterlibatan pihak lain selain Wa Ode dan Fahd. “Kami masih me­ngem­bang­­kan penyidikan,” ujar Ka­humas KPK.

REKA ULANG

Ketua Banggar DPR Diperiksa KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi kembali memeriksa Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Melc­hias Markus Mekeng dan wa­kil­nya, Mirwan Amir pada Kamis lalu (5/4). Keduanya diperiksa se­bagai saksi kasus suap terhadap anggota DPR yang pernah duduk di Banggar, Wa Ode Nurhayati.

Namun, Mekeng tidak mau ba­nyak bicara. Dia memilih ber­ge­gas meninggalkan Gedung KPK seusai dimintai keterangan oleh penyidik. “Saya hanya meleng­ka­pi berkas soal Wa Ode,” kata po­litisi Golkar itu.

Sedangkan Mir­wan Amir me­nga­takan, pemerik­sa­an kali ini ma­sih terkait me­ka­nisme pem­ba­hasan anggaran untuk daerah di APBN. “Masalah pembahasan APBN belanja daerahnya gima­na, itu saja,” ucap Mirwan.

Namun, saat ditanya tentang Fadh A Rafiq yang menjadi salah satu tersangka dalam kasus suap itu, Mirwan mengaku tidak me­ngenalnya. “Saya tidak tahu,” kata politisi Partai Demokrat itu. Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo mengata­kan, kedua politisi DPR itu di­periksa untuk keperluan klar­if­i­kasi tentang kasus yang menyeret Wa Ode.

Hanya saja dengan ala­san un­tuk kepentingan penyi­di­kan, Jo­han tidak bersedia merinci lebih lanjut. “Ada beberapa infor­masi dan data yang perlu kami klari­fi­kasi dari Pak Mekeng dan Mir­wan, dan keduanya sudah dimin­tai keterangan pagi sampai siang,” katanya.

Seperti diketahui, awal De­sem­­ber tahun lalu Wa Ode Nur­hayati ditetapkan sebagai ter­sangka ka­sus suap dana PPID tahun ang­ga­ran 2011. Politisi Par­tai Ama­nat Nasional (PAN) itu diduga me­nerima “hadiah” se­besar Rp 6 miliar dari seorang pe­ngu­sa­ha. Uang itu diduga se­bagai syarat agar Banggar me­lo­loskan proyek PPID 2011 se­be­sar Rp 40 miliar untuk 3 ka­bu­paten di NAD, yakni Aceh Be­sar, Bener Meriah dan Pidie.

Dalam beberapa kali kesem­pa­tan Wa Ode menyatakan bah­wa dirinya tak mungkin sendiri­an meloloskan usulan dana PPID. Wa Ode menyebut adanya ke­ter­li­batan para pimpinan Banggar DPR. Dalam kasus ini, KPK juga telah menetapkan sa­lah satu ketua ormas Musya­wa­rah Keke­lu­ar­ga­an Gotong Ro­yong (MKGR), Fadh A Rafiq se­bagai tersangka.

Tak Perlu Sungkan Pada Anggota DPR

Marthin Hutabarat, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Marthin Hutabarat mengingat­kan, idealnya DPR menjadi con­toh bagi masyarakat. Jangan sampai mencuat stigma di ma­syarakat bahwa anggota DPR menghalang-halangi pengu­sutan perkara korupsi yang me­nyeng­gol anggota Dewan sendiri.

Jadi, jika ada dugaan keter­li­batan anggota DPR dalam ka­sus korupsi, hendaknya semua tunduk dengan aturan hukum yang ada. “Anggota DPR harus menjadi panutan buat ma­sy­a­rakat,” katanya.

Menilik penanganan dugaan korupsi di Badan Anggaran DPR, Marthin meminta KPK tidak sungkan menindak tiap ko­leganya yang terlibat. Soal­nya, siapa pun dia, baik ma­sya­rakat biasa, politisi atau penye­lenggara negara, semua sama kedudukannya dalam hukum. Lantaran itu, tidak boleh ada perbedaan perlakuan terhadap siapa pun.

Dia khawatir, perilaku buruk yang dilakukan oknum-oknum DPR membawa dampak negatif pada konstiuen. “Rakyat kece­wa dan tersakiti melihat peri­la­ku korupsi di DPR. Seharusnya ja­ngan sampai menyia-nyiakan ke­percayaan rakyat,” tandasnya.

Martin menggarisbawahi, ja­ngan sampai DPR teriak-teriak anti korupsi, tapi yang terjadi se­baliknya. Citra DPR secara ke­se­luruhan, tentu akan jatuh jadi­nya. “Padahal, berapa per­sen sih anggota yang tersangkut ma­sa­lah hukum. Prosentasenya lebih kecil dibanding dengan yang be­bas masalah hukum,” katanya.

Dia meminta, masyarakat hen­daknya bisa memilah-milah. Jangan lantas, semua anggota DPR yang ada saat ini dicap bu­ruk alias terlibat kasus korupsi. Karenanya lagi-lagi dia me­min­ta KPK tegas mengambil tin­dakan. Selesaikan segera kasus-kasus yang diduga melibatkan anggota DPR. “Supaya jelas dan clear. Citra DPR pun tidak ikut-ikutan hancur lebur,” harapnya.

Tidak Boleh Ragu-ragu

Anhar Nasution, Ketua LBH Fakta

Ketua LBH Fakta Anhar Nasution berpendapat, komit­men KPK menuntaskan dugaan korupsi di Badan Anggaran DPR hendaknya didorong se­mua pihak. 

KPK juga tidak boleh ragu-ragu mengambil tindakan hu­kum kepada siapa pun yang terlibat. “Adanya dugaan mafia anggaran yang dibongkar KPK menunjukkan adanya terobosan hukum,” kata bekas anggota Komisi III DPR ini.

­Soalnya, selama ini dugaan ko­rupsi elit ataupun politisi ja­rang disentuh penegak hukum. Karena itu, komitmen dan ek­sistensi KPK harus tetap ter­jaga. Jangan sampai start atau awal yang baik tersebut, me­ro­sot di tengah jalan.

Pasalnya, sebut dia, tidak se­di­kit kasus besar yang pe­na­ngan­nya heboh pada awalnya saja. Setelah kasusnya bergulir, justru nyaris tak terdengar endingnya.

Anhar pun mengingatkan agar KPK tidak pandang bulu dalam menindak setiap anggota DPR yang diduga korupsi. “Ini juga momentum untuk menun­jukkan kepada rakyat tentang kinerja wakil-wakilnya di DPR,” tandasnya.

Dia pun meminta agar pe­ngu­sutan kasus ini mengedepankan aspek transparansi. “Jangan ha­nya saat ada dugaan pelang­ga­ran oleh politisi, KPK mengu­mumkannya kepada publik. Idealnya, jika tak menemukan unsur pelanggaran tindak pi­dana oleh politisi-politisi yang diduga terkait kasus ini, KPK hendaknya juga bersikap adil dengan mengumumkan hal itu kepada masyarakat.”

Dengan upaya tersebut, kata­nya, nama baik seseorang bisa tetap terjaga. Karena adanya ja­minan tersebut, setiap individu menjadi tidak alergi ketika di­mintai kesaksiannnya dalam se­buah perkara.

Atau bahkan, ter­cipta kesa­daran mewujudkan penegakan hu­kum di ma­sya­ra­kat. Bukan ma­lah sebaliknya, lari dari tang­gungjawab hukum seperti yang banyak terjadi saat ini. [Harian Rakyat Merdeka]


Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya