PT Chevron Pasific Indonesia (CPI)
PT Chevron Pasific Indonesia (CPI)
RMOL. Kejagung mencekal para tersangka kasus dugaan korupsi proyek fiktif bioremediasi oleh PT Chevron Pasific Indonesia (CPI). Pencekalan dilaksanakan agar para tersangka tak bisa ngacir ke luar negeri.
Jaksa Agung Muda Pidana KhuÂsus (Jampidsus) Andhi NirÂwanto menyatakan, pencegahan terhadap para tersangka kasus Chevron dilaksanakan Jumat (30/3) petang. “Sejak kemarin (KaÂmis-red), penyidik memeriksa tersangka. Hari ini (Jumat-red)-masih dilanjutkan. Untuk proses cekalnya sudah kita proÂses,†ujarnya, Jumat (30/3).
Dikatakan, pihaknya sangat seÂrius mengusut kasus yang meÂrugikan negara Rp 200 miliar ini. Untuk menindaklanjuti kasus terÂsebut, dia mengaku, jaksa masih mengincar tersangka baru. Ia tak menyebutkan siapa pihak yang diincar jaksa. Dia bilang, apabila alat bukti sudah cukup, jajaÂranÂnya tak ragu-ragu menjadikan seÂseÂorang sebagai tersangka.
Sebelumnya, penyidik meÂmanggil dan memeriksa Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) berinisial RP. Pemeriksaan dilaÂkukan untuk mengungkap sejauh mana keterlibatan PT GPI dalam proÂyek fiktif yang merugikan neÂgara lebih Rp 200 miliar rupiah ini.
“Terkait kasus korupsi proyek fiktif bioremediasi, dipanggil dan diperiksa satu saksi dari GPI yakni RP,†ujar Kapuspenkum KeÂjagung Adi M Toegarisman.
Adi mengatakan, pihaknya berusaha menemukan siapa yang sengaja melakukan korupsi sekÂtor tambang dan migas ini. Dia mengharapkan, kasus yang sudah masuk tahap penyidikan ini bisa seÂgera dilimpahkan ke pengadilan.
Menambahkan keterangan terÂsebut, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Edwin PaÂmimÂpin Situmorang memastikan, jaksa sudah mengirim permoÂhoÂnan cekal terhadap para terÂsangÂka. Permohonan cekal diÂsamÂpaiÂkan ke Ditjen Imigrasi guna menÂcegah tersangka kabur ke luar negeri.
Dia memastikan, surat permoÂhoÂnan cekal yang dikirim maÂsing-masing bernomor Kep-067/D/DSP/3/03/2012 tanggal 30 MaÂret 2012 atas nama Ricksy Prematuri (RP). Lalu surat atas nama Kukuh (KK) bernomor Kep 068/D/DSP/3/03/2012. Berturut-turut setelah itu, surat atas nama terÂÂsangka lain seperti Widodo (WID), Bachtiar Abdul Fatah (BAF), Endah Rubiyanti (ER) dan Herlan (HO) juga dikirim ke Imigrasi.
“Surat permohonan cekal sudah diajukan ke pihak Imigrasi Jumat sore,†ujarnya, kemarin. SeÂbelumnya, Jaksa Agung BasÂrief Arief mengatakan, Kejagung sudah mengeluarkan surat cegah terhadap tersangka kasus ini.
“Surat pencekalan tersangka suÂdah dikeluarkan,†timpalnya. BasÂrief menjelaskan, pihaknya bekerja profesional dalam meÂnaÂngaÂni dugaan proyek fiktif tersebut.
Bukti keprofesionalan itu terliÂhat dari penetapan tujuh terÂsangÂka kasus ini. Para tersangka itu maÂsing-masing, lima orang adaÂlah pejabat unit bisnis PT CPI. Dua tersangka lainnya berasal dari perusahaan rekanan yang meÂlaksanakan proyek. Kelima terÂsangka dari CPI masing-masing adalah Manajer LingÂkuÂngan Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS), Endah Rumbiyanti, Team Leader SLN Duri-Riau Widodo, Team Leader SLS Migas Kukuh, General Manager SLN Operation Alexiat Tirtawidjaja, dan General Manager SLS Operation Bachtiar Abdul Fatah. Kemudian Direktur Utama Sumigita Jaya, Herlan dan Direktur PT Green Planet IndoÂneÂsia (GPI), Ricksy Prematuri.
Dugaan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan bioremediasi di PT Chevron Pasific Indonesia terjadi tahun 2003-2011. Saat meÂlaÂkukan kegiatan proyek BioÂreÂmeÂdiasi, PT GPI dan PT Sumigita Jaya (SJ) sebagai pihak ketiga tiÂdak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi dari pejabat berwenang.
KaÂpusÂpenkum Kejagung, Adi Toegarisman mÂeÂnamÂbahÂkan, hasil penyelidikan Kejagung menyebutkan, PT PT GPI dan PT SJ berperan melakukan bioremeÂdiÂaÂsi atau pemulihan kembali lahan bekas eksplorasi tambang.
“Proyek ini dikerjakan dahulu keÂmudian pembayaranya diajuÂkan ke BP Migas, kerjaan yang naÂmanya bioremediasi ini terÂnyata fiktif,†terangnya. Kerugian negara dalam kasus ini diduga mencapai Rp 200 miliar.
REKA ULANG
Proyek Pemulihan Lingkungan Tak Dikerjakan
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi NirÂwanto menegaskan, proyek bioÂremediasi yang dijalankan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) adalah fiktif. Akibatnya negara diÂrugikan hingga ratusan miliar.
“Itu proyeknya diduga fiktif kaÂlau fiktif kan merugikan keÂuangan negara,†ungkap Andhi usai menghadiri acara peluncuran laporan tahunan tahun 2011 di Kejaksaan Agung (Kejagung) JaÂkarta, Kamis (22/3).
Bioremediasi adalah proyek unÂtuk menormalkan kembali taÂnah-tanah yang kena limbah akiÂbat penambangan. Untuk inforÂmasi, dugaan tindak pidana koÂrupsi Dalam Pelaksanaan BioÂreÂmediasi di PT CPI terjadi antara tahun 2006 -2011.
Saat melaÂkuÂkan kegiatan peÂngaÂdaan proyek Bioremediasi, PT. Green Planet Indonesia (GPI) dan PT. Sumigita Jaya (SJ) sebaÂgai pihak ketiga tiÂdak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi dari pejabat berÂwenang sebagai peÂrusahaan yang bergerak di biÂdang pengolahan limbah.
Kedua perusahaan tersebut hanyalah kontraktor umum, seÂhingga dalam pelaksanaannya proyek tersebut adalah fiktif beÂlaÂka (tidak dikerjakan). Dugaan sementara, kerugian negara yang terjadi adalah sebesar 23 juta dolar Amerika atau Rp 200 miliar. Perkara dugaan koÂrupsi kasus proyek fiktif pemulihan lingÂkuÂngan ini, berawal dari perjanjian antara Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan PT CPI.
Salah satu poin perjanjian itu mengatur tenÂtang biaya untuk melakukan peÂmuÂlihan lingkuÂngan (cost reÂcoÂvery) dengan cara bioremediasi.
Akan tetapi, menurut KaÂpusÂpenkum Kejagung Adi ToeÂgaÂrisÂman, kegiatan bioremediasi yang seharusnya dilakukan selama perÂjanjian berlangsung, tidak diÂlakÂsanakan dua perusahaan swasta, yaitu PT GPI dan PT SJ.
Padahal, anggaran proyek bioremediasi itu sudah dicairkan BP Migas seÂbesar 23,361 juta dolar Amerika. “Akibat proÂyek fikÂtif ini, negara diÂruÂgiÂkan Rp 200 miliar,†ujarnya.
Menurut Adi, penyelidikan atas kasus proyek fiktif ini dimulai Oktober 2011. Penyidikan kasus ini didasari Surat Perintah PeÂnyiÂdikan (Sprindik) 12 Maret 2012.
Hasil pemeriksaan, Kejagung menetapkan tujuh tersangkan. Sprindiknya dibagi tiga. Untuk tersangka HL nomor 26/F.2/FD.1/03/2012, tersangka ER, WB dan KK Sprindik nomor 27. Sedangkan tersangka RT, AT, dan DAF Sprindik nomor 28.
Menanggapi hal tersebut, PT CPI menampik pernyataan KeÂjagung. CPI menyebut, anggaran proyek bioremediasi sebesar 270 juta dolar Amerika atau Rp 2,43 triliun. “Tidak ada itu angka 270 juta dolar Amerika. Total angÂgaÂran dari proyek bioremediasi PT Chevron adalah 23 juta dollar Amerika atau sekitar Rp 200 miÂliar,†kata Vice President Policy Government and Public Affair PT CPI Yanto Sianipar.
Lantaran itu, Yanto mengaku bingung dengan angka-angka yang dilansir Kejagung. Dia meÂnegaskan, pihaknya tetap akan mengikuti segala prosedur huÂkum yang berlaku.
“Kami meÂmiliki seluruh data terkait proyek bioremediasi dan akan kami jelaskan selama berÂjalannya pemeriksaan,†tanÂdaÂsÂnya.
Jangan Sampai Kecolongan Lagi
Syarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR SyaÂrifuddin Suding mengiÂngatÂkan, Kejagung tidak berlarut-larut dalam mengusut kasus koÂrupsi proyek fiktif bioÂreÂmeÂdiasi. Proses pencekalan dan peÂnahanan, hendaknya segera dilakukan. Hal itu ditujukan unÂtuk meminimkan upaya terÂsangka kabur atau mengÂhiÂlangÂkan barang bukti.
“Saya kira, saya harus minta KeÂjagung agar tidak keÂcoÂloÂngan dan tak main-main dalam meÂnangani kasus Chevron. JaÂngan sampai para tersangka meÂmiliki kesempatan kabur ke luar negeri, sehingga kasus ini manÂdek pengusutannya,†ujarnya.
Dia mengingatkan, kejaksaan harus belajar dari penanganan berbagai kasus yang terÂsangÂkaÂnya lari ke luar negeri. Menilai hal tersebut, dia menyatakan keÂgeramannya.
“Kesannya, para tersangka itu diberi kesempatan kabur, mengaÂburÂkan aset dan bukÂti-bukti penting,†katanya. Karena itu, Suding minta keÂjakÂsaan bekerja ekstra serius. LangÂkah pencekalan dan koorÂdinasi intensif dengan Imigrasi sangat diperlukan.
Dia menambahkan, intensitas kerja jajaran intelijen kejaksaan di sini harus ditingkatkan. LuÂputÂnya pengawasan para terÂsangka, membuat Kejagung seÂringkali kecolongan. Bukan haÂnya tersangkanya saja yang berÂhasil kabur ke luar negeri, baÂrang bukti pendukung sebuah kaÂsus pun terkadang ikut lenyap.
“Saya tidak mau Kejagung kecolongan lagi di sini.†Dia juga mengkritik kinerja jaksa yang kerap bermain dalam peÂnanganan kasus. Suding meÂngiÂngatkan agar hal seperti itu tidak terjadi lagi. Jadi tambah dia, seÂlain meningkatkan fungsi inteÂlijen, Kejagung juga diharapkan mampu meningkatkan kinerja jaksa bidang pengawasan.
Dengan begitu, kemungkinan adanya penyimpangan dalam penanganan sebuah perkara jadi kecil. Dia kembali meÂngingatÂkan, tindak-tanduk jaksa saat ini diawasi berbagai elemen maÂsyaÂrakat. Kesalahan sekecil apaÂpun, dipastikan akan terlihat dan diÂsanksi secara tegas. “Jadi jaÂngan coba-coba lagi menaÂngaÂÂni kasus seolah-seolah seÂrius, paÂdahal di balik itu semua peÂnuh peÂrÂmainan,†tegasnya.
Bisa Mengancam Martabat Hukum
Bambang Widodo Umar, Dosen PTIK
Pengamat Hukum BamÂbang Widodo Umar meÂngÂaÂtaÂkan, keseriusan aparat meÂnguÂsut perkara korupsi sering menÂjadi faktor menentukan dalam pemberantasan korupsi. Kinerja penyidik yang tidak serius, buÂkan tidak mungkin akan memÂbuat masyarakat muak dan meÂmunculkan ketidak percayaan.
“Masalah ini sudah lama berlangsung. Fungsi kejaksaan dan kepolisian dalam pemÂbeÂranÂtasan korupsi masih lemah,†ujarnya, kemarin. Karena ituÂlah, tambah dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu, diperlukan lembaga seperti KPK. Keberadaan KPK diÂtuÂjukan agar kejaksaan dan kepoÂliÂsian terbantu dalam menaÂngaÂni kasus korupsi. Dengan kata lain, keberadaan KPK diÂhaÂrapkan bisa merubah tampilan kepolisian dan kejaksaan ke araj yang lebih baik.
Dia menyatakan, untuk kasus proyek fiktif bioremediasi yang melibatkan PT Chevron, peÂnyiÂdik seharusnya bekerja cepat. Dia tak ingin adanya celah yang membuat para pelaku kejahatan ini bebas berkeliaran. Harusnya kata dia lagi, kejaksaan lebih serius mengusut kasus itu.
Dia mengharapkan, penyidik kejaksaan maupun kepolisian tidak pilih-pilih dalam meÂnguÂsut perkara korupsi. MeÂnuÂrutÂnya, walaupun jumlah kerugian negara kecil, kasus korupsi itu harus diselesaikan secara tuntas. Persoalannya, korupsi di Tanah Air, sudah mengakar luas. Jika tidak ada penindakan, hal ini justru membuat hukum tidak mempunyai martabat.
“Kalau ketidakseriusan ini teÂrus berjalan, masyarakat akan sulit percaya, dan tidak akan perÂcaya pada aparat penegak hukum. Makanya, kesungÂguÂhan, keberanian dan keseriusan aparat sangat diharapkan,†ujarÂnya. Untuk itu, perubahan sikap aparat kejaksaan maupun keÂpolisian saat ini, dinilai sangat diperlukan.
Jangan sampai, imbuh dia, muncul ketidakpercayaan maÂsyaÂrakat terhadap institusi peneÂgak hukum di sini. “Itu sangat membahayakan.†[Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52