ilustrasi
ilustrasi
RMOL. Kasus surat palsu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditangani Bareskrim Polri tampaknya tak bakal tuntas secara utuh. Otak pemalsuan itu sepertinya tak bakal menjadi tersangka, apalagi terpidana. Tanda-tanda itu sudah tampak dari pernyataan Kepala Bareskrim Komjen Sutarman, bukti yang dicari kepolisian sebagian sudah hilang.
Akan tetapi, Ketua Panja Mafia Pemilu DPR Chairuman Harahap mengingatkan, kepolisian tidak bisa begitu saja menghentikan kasus ini. Soalnya, alur persiÂdaÂngan kasus itu sudah sangat jelas.
Lantaran ada yang divonis berÂsalah sebagai pembuat surat, tenÂtu ada pihak lain yang berperan seÂbagai pengguna surat. PerÂsoaÂlanÂnya, baru pihak pembuat surat yang menjadi tersangka dan terÂdakwa perkara tersebut. “Aneh, pengguna surat yang sudah terÂbuka di pengadilan, tidak segera dijadikan tersangka,†katanya, kemarin.
Semestinya, lanjut Chairuman, kepolisian cermat membaca fakÂta-fakta hukum yang sudah terÂpapar di persidangan. Hal itulah yang seharusnya menjadi peÂdoÂman kepolisian menentukan arah penyelidikan dan penyidikan. “Fakta hukum yang terungkap di pengadilan itu bersifat mutlak. Tidak bisa ditawar-tawar.
Jadi, tak ada alasan bagi keÂpoÂlisian untuk tidak melanjutkan proÂses kasus ini. Dalih bukti-bukti ada yang hilang, tidak bisa menÂjadi alasan untuk mengÂhenÂtiÂkan perkara,†tegasnya.
Selaku pelapor, Ketua MahÂkaÂmah Konstitusi Mahfud MD meÂnyerahkan penanganan kasus terÂsebut ke kepolisian. WeÂwenang melanjutkan atau menghentikan perkara surat palsu itu, lanjutnya, ada di tangan kepolisian.
“Terserah polisi. Kewajiban kami melaporkan, dan itu sudah kami lakukan,†ujar bekas MenÂteri Pertahanan ini.
Kepala Bareskrim Komjen SuÂtarman mengaku, Polri kesulitan menemukan bukti kasus surat palsu putusan MK. Soalnya, bukti yang dicari kepolisian sebagian sudah hilang. Bahkan, bukti yang hilang adalah bukti vital.
Yaitu, bukti elektronik berupa data percakapan telepon. Di situ terekam pembicaraan para pihak, yang dicurigai sebagai peranÂcang, pembuat dan pengguna suÂrat palsu tersebut.
Dia menduga, bukti elektronik tersebut hilang akibat tenggat waktu penyimpanannya sudah dua tahun lebih. Sutarman meÂnamÂbahkan, jajarannnya sudah beruÂsaÂha melacak bukti dengan mengÂkopi salinan data telepon dari serÂver operator. “Servernya sudah kami angkat, kami taping. Tapi bukti-buktinya sudah hilang,†kata bekas KÂaÂpolda Metro Jaya ini.
Kendati begitu, Sutarman meÂngaku belum memastikan apakah akan menghentikan perkara ini atau tidak. Yang jelas, polisi beÂlum menetapkan tersangka baru kasus surat palsu putusan MK, terkait sengketa perolehan suara calon anggota DPR pada Pemilu Legislatif 2009 di Daerah PeÂmiÂlihan (Dapil) Sulawesi Selatan I. “Jika buktinya cukup, kepolisian tidak ragu mengambil langkah hukum,†katanya.
Seperti diketahui, surat palsu MK itu berisi penjelasan tentang sengketa penghitungan suara Pileg untuk Dapil Sulsel I. Surat palsu itu diduga dijadikan dasar rapat pleno KPU, sehingga meÂmuÂtuskan caleg dari Partai HaÂnura, Dewie Yasin Limpo sebagai peraih kursi anggota DPR pada Pileg 2009 dari Dapil Sulsel I. Namun, setelah MK mengungkap surat yang dipakai palsu, KPU mengubah keputusannya.
Gara-gara kasus itu, bekas angÂgota KPU yang kini pengurus DPP Partai Demokrat Andi NurÂpati, bekas hakim MK Arsyad SaÂnusi dan anaknya, Nesyawati semÂpat diperiksa penyidik Mabes Polri seÂbagai saksi. Arsyad dan Nesyawati belakangan diketahui saling kenal dengan Dewi Yasin Limpo.
Pentingnya bukti berupa reÂkaÂman telepon ini dilatari pengaÂkuan terpidana Masyhuri Hasan. Di persidangan, bekas juru pangÂgil MK ini menyatakan, beberapa kali menerima telepon dari seÂjumÂlah orang seperti Andi NurÂpati yang meminta surat segera diÂkirim. Sedangkan kontak teleÂpon dengan Dewi Yasin Limpo, seÂbutnya, berisi agar salinan surat MK segera disampaikan ke KPU.
Sejauh ini, Polri baru sebatas menjerat dua tersangka pembuat suÂrat palsu MK, yakni bekas PaÂniÂtera MK Zaenal Arifin Hoesein dan Masyhuri. Masyhuri telah diÂvonis terbukti bersalah dan diÂpiÂdana penjara selama satu tahun.
Padahal, Polri mengakui, daÂlam kaÂsus surat palsu ini terjadi peÂlangÂÂgaran pidana dari pihak pemÂbuat, pengguna dan pemberi peÂrinÂtah atau aktor intelektual.
REKA ULANG
Terbukti Palsukan Surat Bersama-sama
Dalam persidangan kasus surat palsu putusan Mahkamah KonsÂtitusi, juru panggil MK Masyhuri Hasan menyebut nama caleg ParÂtai Hanura Dewi Yasin Limpo, haÂkim MK Arsyad Sanusi dan anakÂnya Nesyawati, serta anggota KPU Andi Nurpati.
Majelis Hakim yang menaÂngaÂni perkara ini, kemudian meÂmuÂtus Masyhuri terbukti terlibat pemalsuan tersebut, sehingga diÂjatuhi vonis satu tahun penjara.
“Menyatakan terdakwa telah terÂbukti secara sah dan meyaÂkinÂkan memalsukan surat secara berÂsama-sama,†kata Ketua Majelis Hakim Herdi Agusten dalam siÂdang di Pengadilan Negeri JaÂkarÂta Pusat, Selasa (3/1).
Kendati begitu, yang kemudian menÂjadi tersangka setelah MasyÂhuri, baru sebatas bekas panitera MK Zaenal Arifin Hoesein. SamÂpai saat ini, berkas perÂkaÂra Zaenal pun belum lengkap. Belum bisa dibawa ke pengadilan.
Menurut Kepala Bareskrim Polri Sutarman, jajarannya masih perlu menambah bukti untuk menguatkan sangkaan seperti yang diminta kejaksaan. Dengan begitu, berkas perkara Zaenal baru bisa naik ke penuntutan.
Sutarman menjelaskan, belum lengkapnya berkas perkara (P-19) tersangka Zainal terkait pada masalah pembuktian. Sehingga, kejaksaan mengembalikan berkas tersebut ke Bareskrim.
Jaksa peneliti kasus ini menilai, berkas kurang lengkap karena tidak menyertakan bukti berupa rekaman telepon dan data koÂmunikasi tersangka dengan pihak lain yang dicurigai terlibat perÂkara tersebut.
Petunjuk jaksa, kata SutarÂman, tengah dilengkapi penyidik Polri. Persoalannya, yang diminÂta jaksa masuk kategori bukti yang sulit. Pasalnya, bukti beÂrupa rekaman pembicaraan teleÂpon tersangka dengan pihak lainÂnya telah hilang.
Namun, katanya, kepolisian tetap berupaya optiÂmal meÂlengÂkaÂpi berkas perkara tersangka ZaiÂnal. Apalagi, lengkapnya berÂkas perkara tersebut akan memÂbantu kepolisian menenÂtuÂkan siapa tersangka baru kasus ini. “BuÂkti ini sangat penting dan sulit,†katanya.
Cari Siapa Yang Sengaja Hilangkan Barang Bukti
Andi Rio Padjalangi, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi meÂnilai, kepolisian kurang optimal menindaklanjuti kasus surat putusan palsu Mahkamah KonsÂtitusi (MK).
Jika bukti-bukti pembicaraan telepon hilang, menurut dia, seÂharusnya polisi mencari siapa pihak yang diduga mengÂhiÂlangkan bukti tersebut. “Jangan berhenti sampai di situ saja,†katanya, kemarin.
Dia mengakui, penelusuran kaÂsus ini membutuhkan keÂcerÂmatan. Akan tetapi, hilangnya barang bukti tak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan perkara ini.
Malah, ia berpendapat, kasus ini bisa dikembangkan ke berÂbagai arah, asalkan para pimÂpiÂnan dan penyidik Bareskrim teÂliti dan tekun.
Andi juga yakin, kasus yang relatif rumit ini melibatkan baÂnyak kalangan. Artinya, keÂjaÂhaÂtan seperti ini bukan kejaÂhaÂtan individual. “Ada kelompok terorganisir yang meÂlaÂksÂanÂaÂkan kejahatan secara konsÂpiÂratif,†tuturnya.
Lantaran itu, dia meÂnyaÂyangÂkan jika fakta persidangan yang sudah terpapar gamblang, tak direspon kepolisian. MeÂnuÂrutÂnya, banyak pintu masuk yang bisa digunakan kepolisian untuk mengungkap kasus ini.
Keterangan pelapor, saksi-saksi dan terdakwa dinilai cuÂkup untuk mengembangkan peÂnyeliidkan. Jadi, sambung dia, kepolisian tidak bisa berpatokan pada metode penyelidikan yang baku.
“Harus inovatif dalam meÂnenÂtukan langkah. Dengan beÂgitu, kasus ini bisa diungkap seÂcara gamblang. Tidak meÂnyiÂsaÂkan tanda tanya lagi bagi maÂsyaÂÂrakat,†ujarnya.
Terkesan Ada Rasa Sungkan
Neta S Pane, Ketua Presidium IPW
Ketua Presidium LSM IndoÂnesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, pola penyeÂlidiÂkan dan penyidikan kasus surat putusan palsu MK meÂnunÂjukÂkan, kepolisian ragu-ragu meÂnunÂtaskan perkara itu.
Bisa jadi, katanya, keragu-raguan itu muncul karena ada peÂrasaan sungkan untuk meÂninÂdak oknum yang punya kedeÂkatan dengan kekuasaan. “Apa pun posisinya, hendaknya prinÂsip penegakan hukum tidak boÂleh surut,†katanya.
Siapa pun pada dasarnya memÂpunyai kedudukan hukum yang sama. Dengan begitu, tiÂdak boleh ada tebang pilih daÂlam penanganan kasus ini.
Menurut dia, kepolisian henÂdaknya tidak bisa diintervensi siapa pun. Posisinya sebagai penegak hukum, harus bebas kepentingan. Dengan asumsi itu, maka kasus seberat apa pun pasti dapat dituntaskan sampai akar-akarnya.
Dia sangat menyayangkan, kasus ini berjalan lambat. ApaÂlagi, kasus ini merupakan kasus yang dilaporkan Ketua MahÂkaÂmah Konstitusi Mahfud MD. Menurutnya, laporan ketua lembaga tinggi negara tersebut memiliki bobot yang tinggi alias penting.
Dia yakin, jika tak punya boÂbot yang sangat penting, MahÂfud MD tak akan rela lembaga dan anak buahnya diobok-obok oleh kepolisian. Jadi, kata dia, sayang jika pengusutan kasus ini hanya berjalan setengah-setengah.
Apalagi, tambahnya, kasus ini juga direspon Komisi II DPR dengan membentuk Panja MaÂfia Pemilu. Artinya, kepolisian hendaknya mampu menafsirkan dan menjawab rekomendasi politik yang telah disampaikan. “Ini sangat penting untuk diÂjawab kepolisian dengan sikap dan cara yang profesional. BuÂkan sebalikÂnya,†tutur Neta. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39
Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36
Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32
Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15
Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52