Bambang Soesatyo
Bambang Soesatyo
RMOL.Kenapa Anda mendukung inÂterplasi pengetatan remisi koÂruptor?
Kebijakan pengetatan remisi bagi terpidana korupsi sudah cacat sejak awal. Semula, judul keÂbijakannya ‘Moratorium ReÂmisi’. Karena dihujani kecaman dari masyarakat, beberapa jam keÂmudian judul kebijakan itu beruÂbah menjadi ‘Pengetatan Remisi’. Tetap saja kebijakan ini illegal karena melanggar UnÂdang UnÂdang Nomor 12 TaÂhun 1995 tenÂtang PemasyaraÂkatan, dan meÂlanggar Peraturan PemeÂrintah Nomor 28 Tahun 2006 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan hak Warga Binaan PemasyaÂraÂkatan, termaÂsuk pemÂberian remisi.
Mekanisme apa yang diÂlanggar?
Mekanisme penetapan kebijaÂkan ini sangat amatiran. KebijaÂkan ini ditetapkan melalui telepon oleh Denny Indrayana (WamenÂkumham) pada 30 Oktober 2011. Keesokan harinya, 31 Oktober 2011, perintah lisan itu langsung dijadikan surat edaran Plt Dirjen Pemasyarakatan. Tampak serba buru-buru, karena surat edaran itu bertujuan segera membatalkan pelaksanaan surat keputusan (SK) Remisi Menkumham yang diterbitkan Menkumham sebeÂlumÂnya. SK Remisi Menkumham itu akan diterbitkan Menkumham sebelumnya.
Surat keputusan (SK) remisi Menkumham itukan diberlakuÂkan bagi 102 terpidana koruptor dan narkotika, untuk periode 28 hingga 30 oktober 2011. Agar pembatalan itu sah, diterbitkanlah surat keputusan Menkumham yang membatalkan remisi para terpidana. Tetapi tanggal penerÂbitan SK pembatalan itu dua minggu kemudian, tepatnya 16 November 2011. Tetap saja tamÂpak konyol Kepmen (Keputusan Menteri) pembatalan itu merujuk ke PP No. 32/1999, tetapi PP ini sudah usang, sebab telah diganti dengan PP No.28/2006.
Akibat penetapan kebijakkan yang demikian amatiran itu, 102 narapidana merasa dizolimi oleh Menkumham dan wakilnya.
Apa ada dasar lain yang memÂbuat Anda yakin ada atuÂran yang dilanggar dalam kebiÂjakÂkan tersebut?
Fakta tentang penzoliman itu sudah diperkuat PTUN. SetidakÂnya kebijakkan pengetatan remisi itu sudah diuji pengadilan. KeÂbijakkan itu nyata-nyata bertenÂtangan dengan undang-undang yang berlaku. Wajarlah jika sisÂtem hukum juga memberi ruang kepada 102 narapidana yang dizolimi itu untuk mengajukan tunÂtutan kepada pihak yang meÂlakukan penzoliman.
Menkumham Amir SyamÂsuddin kan ajukan banding...
Kita menduga, Langkah Amir Syamsudin dan Denny Indrayana menjilat ludahnya sendiri dengan mengajukan banding, patut diÂduga untuk menghindari tangÂgung jawab hukum perbuatan mereka yang mengarah pada pelanggaran Pasal 421 KUHP Buku ke II Bab 27 tentang kejaÂhatan jabatan yang bunyinya: “Seorang pejabat yang menyaÂlahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarÂkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan†dan atau pasal 333 KUHP dengan ancaman maksimal 8 tahun penjara. Adapun isi pasal 333 ayat 1: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseoÂrang atau meneruskan peramÂpasan kemerdekaan yang demiÂkian, diancam dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.â€
Terkait dengan pasal 421 patut diduga Denny dengan keweÂnanganÂnya mengeluarkan surat edaran yang kemudian disusul oleh SK menteri yang kemudian dilaksanakan oleh jajarannya yang berakibat dirampasnya hak-hak orang lain, dalam hal ini terpidana yang seharusnya sudah memenuhi syarat untuk menÂdapat kebebasan bersyarat.
Argumen Menkumham, peÂngetatan tersebut dilakukan berdasarkan Undang-Undang 12/1995, UU 32/1999. PP 28/2006 dan sesuai dengan keseÂpaÂkatan UNAC (United Nation Against Corruption)...
Yang dipersoalkan DPR bukan pengetatannya. Kita setuju remisi dihapuskan. Tapi tidak boleh dengan melanggar aturan dan undang-undang. Katanya ahli hukum, masa tidak mengerti baÂgaimana untuk merubah ketenÂtuan peraturan dan Undang-undang. Dan itu terkonfirmasi daÂlam keputusan PTUN bahwa kebijakkan abal-abal itu salah.
Ada yang menilai interplasi daÂlam kasus ini tidak tepat...
Yang bilang tidak tepat itu tiÂdak mengerti hukum, tapi meÂnyaÂlahgunakan kekuasaan. Ini neÂgara hukum, bukan negara suka-suka.
Untuk kepentingan siapa inÂterplasi itu? Apakah bela koÂrupÂÂtor?
Kepentingan hukum. Sebab, kita setuju koruptor dihukum mati.
Kami tantang pemerintahan hari ini untuk memasukkan huÂkuman mati pada koruptor pada RUU Tipikor yang masih di tangan pemerintah. [Harian Rakyat Merdeka]
Populer
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33
Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13
UPDATE
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12
Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15
Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35
Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30